Monday, October 20, 2008

Kendi Depan Rumah, Spirit Berbagi Tempo Dulu

Masa kecil kuhabiskan di Surabaya. Di beberapa rumah, sering kulihat pemiliknya meletakkan kendi air di depan rumah. Orang-orang yang lewat dan kebetulan haus akan minum air tersebut secara gratis. Kalau air kendi habis, tuan rumah mengisinya.

Tapi kini, kulihat kebiasaan meletakkan kendi di depan rumah sudah tak populer di Surabaya. Bahkan, aku pun tak punya kebiasaan itu karena aku tinggal di perumahan yang jarang dilalui umum.

Aku nggak tahu, sejak kapan kebiasaan meletakkan kendi air di depan rumah jarang dilakukan tuan rumah. Aku juga nggak tahu apa sebabnya. Apakah gara-gara maraknya privatisasi air sehingga air menjadi barang yang diperjualbelikan dan orang akan merasa sayang membeli air untuk kepentingan umum.

Kebiasaan meletakkan air di depan rumah yang berasal dari tradisi Hindu tersebut sesungguhnya mengandung banyak makna. Bagiku sendiri, maknanya sangat dalam. Air itu ya kehidupan itu sendiri. Maka, siapa pun berbagi air, ia akan melestarikan kehidupan.

Kalau dirasakan, orang-orang dulu memang punya semangat berbagi dengan tulus. Sungguh mengharukan. Salah satunya, yang sempat kurekam adalah, ada pemilik rumah yang menaruh pompa sepeda di depan pagar rumahnya. Anak-anak sekolah yang ban sepedanya kempis akan memompa di situ secara gratis. Bertahun-tahun pompa itu tetap mangkal di depan rumah sebagai milik publik. Tidak ada yang mengganggu sampai pompa itu rusak.

Mungkinkah hal serupa terjadi saat ini? Mungkinkah tak ada yang tergoda memilikinya secara privat?

Ada pula peristiwa macam begini. Ada yang sengaja memiliki beberapa sepeda kayuh agar anak-anak di sekitar rumah bisa meminjam sepeda-sepeda tersebut untuk ke sekolah. Siapa yang datang paling pagi, dialah yang berhak atas sepeda tersebut.

Nyatanya sepeda-sepeda itu tetap kembali kendati tuan rumah tidak tahu dengan detil, siapa yang pinjam sepeda-sepeda itu. Pernah juga sepeda tersebut menghilang. Tapi lima hari kemudian kembali dalam keadaan utuh. Salah satu orang yang pernah menikmati sepeda gratis tersebut cerita padaku, senantiasa terkenang kebaikan pemilik sepeda tersebut. ”Sekolahku dulu 7 km jauhnya. Rasanya sangat mewah membawa sepeda itu,” ujar dia yang kini bekerja di sebuah perusahaan besar di Surabaya.

Pemberian-pemberian semacam itu, kalau dimaterialkan tidaklah berarti. Tapi sungguh tepat sasaran dan memiliki arti tak terkira untuk orang-orang yang membutuhkan. Aku sering bertanya dalam hati, benarkah diriku punya spirit berbagi sebagaimana orang-orang tempo dulu yang iklas hati memberikan miliknya, bahkan untuk orang yang tidak dikenal sekalipun? (Alpha Savitri)

Saturday, October 18, 2008

Kisah Bijak dari Kaki Semeru

Kisah Bijak dari Kaki Semeru

Bila ingin sekadar refreshing beberapa hari, kadang aku ke Pronojiwo, perbatasan Malang dan Lumajang. Ada dua keluarga yang kukenal, yakni keluarga Ratih dan keluarga Heri. Keduanya kawanku.


Saat bertandang ke rumah keluarga Heri belum lama ini, ayah Heri menuturkan padaku kisah menarik, tentang misteri Gunung Semeru. “Gunung Semeru itu tidak hanya perkasa, tapi juga menyimpan misteri,”ujar ayah Heri.


Dikisahkan, dua tahun lalu ada serombongan peneliti asing yang hendak meneliti tanaman-tanaman langka di Gunung Semeru. Dalam penjelajahan di Semeru, tiba-tiba mereka berada di satu lokasi yang penuh anggrek langka. Sejauh mata memandang, hanya anggrek itu yang ada. ”Indahnya tidak terlukiskan,” ujar sang guide yang kemudian menuturkannya pada ayah Heri.


Para peneliti itu hanya bisa menangis, terharu, dan berseru, menyebut nama Tuhan menyaksikan keindahan yang kata mereka belum pernah mereka temui tersebut. Yang membuat sang guide kagum, di antara mereka tidak ada satu pun yang ingin membawa tanaman langka satu pun yang ada di situ meskipun jumlahnya, amat sangat banyak sekali. Para peneliti itu cuma bilang, biarlah anggrek-anggrek itu berumah dengan nyaman di Semeru.


Kisah tentang anggrek-anggrek Semeru seketika tersiar dari mulut ke mulut di desa-desa sekitar Semeru. Kata penduduk, mereka tak pernah menjumpai pemandangan itu. Beberapa dari mereka ingin mencarinya. ”Hanya saja, tidak ada satu pun yang berhasil menemukan,” kata sang penutur padaku.


Ada lagi kisah begini. Tetangga Heri pas lewat di Hutan Semeru melihat bunga yang sangat bagus. Namun karena ia ke hutan tersebut tidak untuk keperluan mengambil bunga, kendati bagus bunga tersebut dibiarkannya. Namun di tengah perjalanan, ia ingat akan bunga bagus itu dan ingin mengambilnya untuk ditanam di rumah. Ia sengaja pulang lewat rute yang dilaluinya tadi. Namun, bunga itu sudah tidak lagi ada. Menurutnya sungguh aneh karena jarang ada orang yang lewat di rute tempat bunga itu tumbuh. Sampai sekarang, kabarnya, peristiwa itu begitu membekas.


Kisah-kisah yang dituturkan dari mulut ke mulut sebagaimana di atas, tentu menyisakan pertanyaan pada diri kita. Apakah kisah itu benar-benar terjadi sebagaimana yang dituturkan? Atau sudah ada bumbu-bumbu yang masuk? Apakah para peneliti itu memotret kebun anggrek berhektar-hektar tersebut? Entahlah.


Bagiku, apa pun kisah yang sampai, bisa dimaknai. Aku menduga-duga, hati yang bersih dari para peneliti itu membuat semesta membuka diri. Akan lain kejadiannya bila sebelum penelitian mereka sudah dipenuhi motif tertentu.


Saat kita nihil pretensi ingin memiliki dan nihil nafsu menguasai, saat kita membiarkan sesuatu alami terjadi di bawah lindungan semesta, Tuhan memberikan petunjuk. Mata hati kita dibuka lebar-lebar. Pencerahan yang tidak kita sangka-sangka datang bertubi-tubi, sebagaimana yang dialami para peneliti, juga tetangga Heri saat pertama kali melihat bunga itu.


Tapi saat diri kita punya pretensi berkuasa, pintu hati dan pintu pencerahan semesta akan tertutup rapat-rapat. (Alpha Savitri)






The Poetry of Nature

Belajar dari PohonPas mengantar Mbak Hilda dari Ashoka ke Yayasan Semen Gresik, beberapa waktu lalu, aku dan Mbak Hilda mendapat bingkisan beberapa buku. Di antaranya adalah The Poetry of Nature, terbitan PT Semen Gresik tahun 2007. Buku ini merupakan sebuah photo story karya seorang seniman foto asal Jembrana, Bali Deniek G Sukarya. Sebanyak lebih dari 125 foto pohon ataupun pepohonan semuanya disajikan secara hitam putih.

Deniek menjelajah berbagai kota di Indonesia untuk berburu pohon-pohon tua usia, macam Pohon Baobab Adansonia Digitata) di Subang, Jawa Barat yang berusia 700-an tahun. Pohon Baobab merupakan pohon Afrika yang berusia 2000 – 5000 tahun. Bibitnya datang bersama saudagar Islam pada abad ke-14. Ada pula pohon Kepuh (Sterculia foetida) tua dan lain-lain.

Sudah lama saya ingin membagikan kesan saya membaca dan melihat photo story ini, namun baru bisa terealisasi saat ini. Saya terkesan tidak hanya oleh foto yang indah-indah, namun juga puisi-puisi yang ada. Puisi-puisi tersebut ditulis, baik oleh seniman, anak jalanan, pengusaha, maupun pejabat negeri ini seperti Menteri M. Nuh, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir semua, tentu saja, bercerita tentang pohon atau pepohonan lewat perspektif dan olah rasa masing-masing. Ini salah satu puisi di situ.


Selembar Daun Kuning

Selembar daun kuning

Rontok di musim kering

Matahari merah melintas

Meninggalkan jejak di punggungnya

Yang letih dan rapuh


Ia lalu mengembara

Disapu angin ke mana suka

Diam dan hanya bisa pasrah

Padahal ia ingin dikubur

Dipeluk hangat jemari tanah


Selembar daun kuning

Yang rontok di musim kering

Ia telah kehilangan pohon silsilah

Tempat dulu melantunkan doa

Dengan hijau hatinya. (HUSNUL KHULUQI 2006)


Memang benar. Bahkan, daun pun bisa bersedih manakala kering, kehilangan “pohon silsilah” dan tidak lekas jatuh ke bumi untuk berkontribusi bagi perawatan kehidupan selanjutnya. Bagaimana dengan kita, ya?

Pohon hadir di bumi, sesungguhnya tidak sekadar menjadi penyalur oksigen. Ia juga busa menjadi penutur sejati kisah-kisah kearifan. Pandang ia. Resapi kediamannya. Dan kita pun bisa memungut jutaan makna.

Roy Genggam yang menulis puisi bahwa beberapa waktu mendatang, bahkan bukan untuk air saja kita harus mengeluarkan uang, oksigen pun dalam kemasan. Bumi kita yang subur makmur di mana harum aroma surga begitu dekat dengan napas, tinggal kenangan.


Eka Budianta menulis tentang Bonsai:

Di Negeri Bonsai

(untuk Bung Hatta)


Di negeri bonsai,

Pohon yang terlalu subur

Harus ditebang.

Dahan yang terlalu panjang

Harus dipotong.

Dan akar yang terlalu kuat

Harus dibabat.


Di negeri bonsai

Semua pertumbuhan

Harus dikendalikan.

Umur harus diulur

Bukan dengan menjadi perkasa

Tapi semakin kerdil

Semakin berhasil.


Di negeri bonsai,

Engkau membela cemara

Yang tumbuh ke langit

Dan menggapai matahari,

Menjadi meja menjadi almari

Menjadi monument

Di tengah hutan

Berjuta pohon-pohon mini…

Indonesia!


Ini ada puisi lain yang berjudul AKAR oleh Iwan Abdulrachman. Belakangan, puisi ini sudah ditulis syair lagunya.

Orang bersenandung tentang bunga yang harum

Atau cerita betapa indah warnanya

Ataupun tentang daun-daun berjatuhan

Yang bahkan bisa membuat gadis menangis

Namun saya akan cerita tentang akar…

Akar pohon-pohon yang banyak dilupakan.

Diam-diam masuk merunduk ke dalam tanah

Tersembunyi dari cerita atau lagu…

Jangankan lagu, bahkan tiada orang peduli

Diam-diam semakin merunduk ke dalam tanah

Akar… akar…

Bahkan tiada orang peduli…

Akar… akar…

Akar…

Ya, sangat banyak memang, yang bisa kita pelajari dari pohon. Apa pun jenisnya. Dari akar-akar yang perlahan-lahan menembus bumi. Dari batang, ranting, dan daun yang tergantung selaras, dari pucuk-pucuk pohon yang menengadah ke langit. Dari bunga yang disuka banyak orang dan dari buah-buah pepohonan. Semua punya makna. (Alpha Savitri)

Thursday, October 16, 2008

Kemladean (Benalu) di Pohon-pohonku

Beberapa hari ini aku dan suamiku disibukkan memotong kemladean (benalu) yang menempel pada dahan-dahan di pohon-pohon jambu, belimbing, dan mangga di halaman rumah. Entah sudah berapa lama kemladean itu hadir. Yang jelas, banyak sekali jumlahnya. Mereka mencengkeram dahan-dahan pohon bebuahan yang kami sukai.

Dahan-dahan yang penuh bunga dan buah bahkan harus dipotong agar aksi kemladean tersebut berhenti. Biarlah untuk musim buah saat ini kami tidak banyak menikmatinya. Melihat pohon-pohon yang kini kurus tersebut sehat kembali jauh lebih baik.

Potongan-potongan batang cukup menggunung. Aku melihat akar kemladean banyak yang telah menggelembung besar menyerupai umbi, tumbuh menjalar sampai jauh ke batang-batang yang lain. Mereka tampil mengerikan.

Kemungkinan besar kemladean itu dibawa burung-burung yang setiap pagi menyambangi halaman rumahku. Memang banyak burung yang singgah di tiga pohon di halaman rumahku. Burungnya bisa berjenis apa saja, termasuk yang belum pernah kulihat.

Sebelumnya, kami tidak menyadari hadirnya kemladean tersebut. Maklum, kemladean berwarna hijau, persis dengan warna daun-daun pada umumnya. Sehingga, kalau tidak jeli, mata kita tidak bisa menangkapnya.

Perasaan akan adanya penyakit di pohon-pohonku sudah kurasakan sekitar dua bulan ini. Aku melihat buah-buahan hasil panenan dari rumah kami menurun kualitasnya, terutama belimbing. Tidak besar-besar sebagaimana biasanya. Daunnya pun kurasa tampak menyempit. Hal yang sama juga terjadi pada mangga. Meskipun berbuah dan rasanya manis, namun daun-daunnya kulihat mengerut dan tidak segar. Semula aku menangkap, masalahnya adalah kekurangan air karena ini musim kemarau.

Tapi rasaku, pasti ada sesuatu yang lain. Mataku mulai meneliti pohon belimbing tersebut. Ternyata kemladean tumbuh subur di batang-batangnya, terutama di bagian atas. Setelah itu aku meneliti pohon mangga. Hal serupa terjadi. Demikian pula untuk pohon jambu. Akhirnya, terjadi aksi penebangan batang-batang sebagaimana kuceritakan di atas. Dan ketika kami merasa kerja sudah selesai, ternyata setelah kami teliti betul-betul, masih ada yang tersisa. Kami menebang dan menebang lagi, sampai kami benar-benar yakin tidak ada lagi yang tersisa.

Suamiku cerita tentang adanya pepatah Kemladean Ngajak Sempal. Buatku, itu sangat benar. Benalu sifatnya mengisap sampai yang diisapnya menjadi kerdil dan mati perlahan-lahan. Dalam keseharian, kita pun mengenal orang-orang yang memiliki sifat sebagaimana kemladean. Mau menerima, tak mau berbagi, tanpa rasa terima kasih malah membunuh pelan-pelan.

Kisah berburu kemladean ini mengingatkanku untuk tidak menjadi benalu yang membuat orang lain kita isap habis-habisan sampai orang tersebut mati. Aku juga diingatkan untuk
senantiasa menjaga kemurnian diri. Kendati sulit, kita harus terus-menerus menjaga agar tidak sehelai benalu pun hinggap dalam diri ini. Karena, bila kita membiarkannya satu saja hadir dan merasa nyaman, ia akan beranak-pinak dari generasi ke generasi, sampai kita pun ”mati” perlahan-lahan. (Alpha Savitri)