Meski rumahku belum kemasukan rayap, namun tiga pohon di halaman rumahku mulai jadi tempat persembunyian rayap. Aku tahu karena di beberapa batang pohon mangga, jambu, dan kelor ditempeli tanah. Di situlah rayap mulai bermukim dan beranak pinak.
Untuk membersihkan rayap-rayap yang menempel di pepohonan, biasanya kami cuma menyapunya, lantas menyiram batang pohon tersebut dengan air sehingga tanah-tanah beserta rayap tersebut longsor ke tanah. Saat longsor ke tanah itulah, sepasang ayam yang kami pelihara, memakan mereka dengan lahap.
Kawan, dulu sewaktu di sekolah dasar, dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, ada pelajaran tentang keseimbangan ekologis. Alam memiliki sekumpulan hubungan antarmanusia yang unik, berkelanjutan, yang menjaga keseimbangan keberadaan tanaman dan semua makhluk hidup. Mereka saling tergantung satu sama lain. Bila semuanya seimbang, lingkungan hidup menjadi tempat yang aman dan sehat. Proses rantai makanan menjaga keseimbangan hubungan mangsa – predator yang mempertahankan spesies dominan dan agresif tidak bertambah.
Dulu, alam dalam kondisi seimbang. Namun, sekarang, seringkali kita dengar petani gagal panen karena padinya tertubi-tubi diserang serangga dan tikus. Resistensi serangga bertambah dengan adanya pertanian non organik. Tidak ada lagi keseimbangan di alam ini.
Masyarakat perkotaan seperti kami pun harus waspada karena kini, misalnya, serangan rayap sungguh lebih bertubi-tubi dalam dekade-dekade terakhir ini. Rayap membuat keropos, tidak saja buku-buku, namun juga kayu-kayu rumah, bahkan yang sudah dilapisi. Seakan rayap pada decade ini sangat resisten dan susah dibasmi. Maka, kini kita lihat, banyak perusahaan yang bergerak di bidang pembasmian rayap panen hasil.
Kawan, seringkali aku merasa harus mendidik diri ini untuk senantiasa menampilkan perilaku organik sekecil apa pun dalam keseharian, Termasuk untuk menangani sampah, rayap, ayam-ayamku.
Kalau ada rayap di pohon-pohonku, sebagaimana yang kuceritakan di awal tulisan ini, tinggal kuserahkan saja pada kedua ayamku. Ya, ayam-ayamku dalam rantai makanan di ala ini adalah predator bagi bangsa rayap. Kulihat ayam-ayamku sangat menikmati pesta kecil ini. (alpha savitri)
Monday, July 27, 2009
Soto Madura Atau Bukan Sih?
Hal yang kusuka saat melakukan perjalanan di daerah yang jarang atau belum pernah kukunjungi adalah mencicipi citarasa masakan lokal. Di bidang kuliner, Madura terkenal dengan sotonya. Maka, saat menginjakkan kaki di Pulau Madura, hal yang terpikir selalu memang mencicipi Soto Madura.
Beberapa tahun lalu, aku pernah mencicipi soto di wilayah Sumenep, Madura. Namun ternyata soto di situ tidak sama dengan soto yang umumnya kita sebut soto Madura. Rasanya asing di lidahku. Di mangkokku tidak hanya ada campuran daging dan kuah, namun juga kacang hijau. Waktu itu sesungguhnya aku penasaran. Benarkah Soto Madura yang asli memang sebagaimana Soto Madura yang aku cicipi tersebut? Itu berarti soto yang ada di luar Madura, dengan citarasa yang sangat berbeda, sesungguhnya bukan Soto Madura?
Beberapa pekan lalu, aku menjajal jembatan Suramadu. Akhirnya kendaraanku sampai di wilayah Burneh yang berjarak hanya beberapa kilometer sebelum Bangkalan. Di bundaran Burneh, kulihat pedagang kaki lima dikerubungi pembeli. Aku penasaran dan saat mendatanginya, ternyata ia menjual soto. “Ayo, Mbak, beli Soto Madura di sini. Dijamin enak,” katanya sembari melihat pelat nomor “W” pada kendaraanku.
Penjual soto tersebut menyebut namanya Hajjah Fatimah. Sudah bertahun-tahun ia berdagang soto di Bundaran Burneh. Aku pun memesan soto dan kopi tubruk, sebagaimana kebanyakan orang yang singgah di kedai kakilimanya yang laris.
Tidak ada kursi dan meja di kedai itu. Yang ada di situ hanya amben dari kayu lebar. Di pinggiran amben itu pembeli duduk.
Kopi dengan gelas sangat kecil terhidang. Disusul nasi soto dalam mangkok yang juga kecil. Kulihat soto itu berisikan daging sapi jeroan, kecambah, kentang goreng. Warna kuahnya tidak kuning pekat sebagaimana biasa kusaksikan, melainkan bening kemerahan. Tapi tidak sebagaimana di Sumenep, yang ini tidak berisi kacang hijau.
Meski lumayan enak, tapi aku sulit menggolongkannya ke dalam soto. Yang kutahu, soto pasti berbumbu kunyit. Sedangkan soto yang kumakan ini tidak terasa sama sekali kunyitnya.
“Tidak pakai kunyit. Ini baru soto asli. Yang pakai kunyit itu nggak asli,” terang Hajjah satu ini.
Bumbu Soto Madura ala Burneh dan Bangkalan, katanya adalah bawang putih, bawang merah, terasi, lengkuas, merica, ditumbuk lantas ditumis. Setelah itu daging dimasukkan, demikian pula air. Ditunggu sampai mendidih. Tidak pakai kunyit maupun sereh seperti umumnya soto Madura yang dijual di Jawa. Kalau mau dihidangkan tinggal ditambahi cabe iris, kentang goreng, dan kecambah.
Soto Madura memang terkenal di mana-mana, sebagaimana Soto Lamongan. Namun herannya, soto ini rasanya di masing-masing daerah tidak serupa. Di wilayah Surabaya dan sekitarnya, Soto Madura tampil dengan kuah kuning pekat namun tanpa santan. Kalaupun ada pedagang yang memberi santan, itu diberikan dengan jumlah tidak banyak. Tapi cobalah berkunjung ke Blitar dan sekitarnya. Soto Madura yang ditampilkan santannya begitu terasa. Bahkan bila kita berkunjung ke depot yang menjual soto dengan tidak mencantumkan label madura, rasanya sama saja. Di wilayah Yogyakarta, Soto Madura tampil dengan rasa lebih manis.
Soto Madura memang mengalami modifikasi, baik tampilan maupun rasa, sesuai daerah tempat penjual menggelar dagangannya. Bahkan di Madura sendiri pun antara wilayah satu dengan yang lain, rasa dan bahan sotonya berlainan sebagaimana yang kualami.
Maka, tidaklah aneh bila di Surabaya yang jaraknya relatif tidak jauh dari Madura, modifikasi soto Madura juga luar biasa. Orang Surabaya, saat mencicipi soto di Bangkalan susah menyebut apakah yang dia makan benar-benar soto seperti kata penjualnya. Sebaliknya, orang Madura “Menuduh” yang dijual di Surabaya dan berbagai wilayah lain itu bukan soto asli. Dengan kata lain, nama besar Soto Madura itulah yang dimanfaatkan. Pada akhirnya pasti akan sangat sulit buat kita mencari rasa asli dari Soto Madura.
Mungkin itu kelebihan dari Soto Madura. Beragam rasa dari wilayah ke wilayah. Ia mampu beradaptasi dengan situasi setempat. Jadi sampai kapan pun tetap bisa eksis. (Alpha Savitri)
Subscribe to:
Posts (Atom)