Friday, December 03, 2010

Sejarah Kota Gresik Abad Kolonial dalam Arsip Keluarga Kemasan

Oemar Zainuddin

Beberapa waktu lalu, saat singgah di Kampung Kemasan Gresik, 3 km dari alun-alun Gresik, aku mengenal seorang tokoh kampung tersebut yang juga peminat masalah budaya, yakni Oemar Zainuddin. Pak Oemar, begitu aku memanggilnya, seorang lelaki paruh baya yang juga berprofesi sebagai pendidik.

Ia cerita tentang visi dan idealismenya yang antara lain ingin merevitalisasi kejayaan Kampung Kemasan Gresik, kampung yang dicintainya. Kampung Kemasan Gresik memang pernah berjaya pada sekitar abad ke 19-an. Kini sisa-sisa kejayaannya masih tampak lewat bangunan-bangunan megah di kampung ini, yang merupakan campuran antara citarasa kolonial Belanda dan Cina.

"Banyak wisatawan yang ke Gresik datang ke kampung ini, melihat bangunan-bangunan di sini. Baik sejarah maupun bukti-bukti peninggalan Kampung Kemasan ini merupakan aset bagi Gresik, ujarnya.

Sebagai orang yang cinta kampung halaman yang membesarkannya, kini ia terus berupaya mengumpulkan bukti-bukti kesejarahan kampung tersebut. Ia mengumpulkan satu demi satu arsip-arsip kuno keluarganya.Ya, bukankah arsip pun bisa bicara. Bisa cerita tentang sebuah masa. Ternyata arsip tersebut sungguh berharga, tidak hanya untuk Kampung Kemasan Gresik, namun juga  secara luas juga untuk Kota Gresik.  Dari arsip itulah, kita tahu bagaimana perkembangan Kota Gresik di masa kolonial Belanda. Kita juga tahu, ternyata pribumi Gresik sangat tangguh saat itu, dan bisa dijadikan teladan untuk generasi muda kota Gresik saat ini.

sejarah gresik, buku oemar zainuddin
Kini arsip-arsip tersebut dibukukan oleh Oemar Zainuddin lewat buku: Kota Gresik 1896-1916, Sejarah Sosial, Budaya, dan Ekonomi. Buku tersebut diterbitkan penerbit Ruas, Depok, tahun 2010. Oemar Zainuddin menuangkan pokok-pokok pikirannya dalam buku tentang Gresik pergantian abad ke-20 tersebut, bertolak dari arsip-arsip kuno, sepanjang tahun 1896-1916.
Arsip-arsip yang ditampilkan dalam buku tersebut banyak berbicara tentang sebuah keluarga di Gresik, yang sampai kini lazim disebut “Keluarga Kemasan”, dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya Kota Gresik masa itu. 

Arsip tersebut berupa surat-surat niaga, laporan keuangan, foto-foto, dan formulir pajak. Tidak hanya ditulis dalam huruf latin berbahasa Indonesia, namun juga beberapa ditulis dalam bahasa Arab Pegon. Ada pula formulir berhuruf Jawa. Sebagai pelengkap, wawancara dengan sumber terkait juga dilakukan penulis. Tak lupa data-data sekunder dari berbagai buku dan penelitian tentang Gresik juga disertakan. 

Oemar Zainuddin merupakan Generasi keempat dari H. Oemar Akhmad, saudagar yang memiliki usaha sarang burung wallet dan  toko kulit  yang kemudian jadi cikal bakal industri kulit di Gresik. H. Oemar Akhmad memiliki lima putra yang kemudian mewarisi bisnisnya di bidang perkulitan, yakni Asnar, H. Djaelan, H. Achmad Djaenoeddin, H. Moeksin, dan H. Abdul Gaffar. Penulis buku ini yakni Oemar Zainuddin merupakan cucu H. Achmad Djaenoeddin, putra ketiga.

Ketenaran keluarga ini sampai ke luar Gresik bahkan sampai ke Batavia, antara lain bisa dibuktikan dari arsip-arsip surat pos yang datang dari berbagai kota di Indonesia yang rata-rata hanya mencantumkan nama salah satu dari lima bersaudara tersebut tanpa alamat, kecuali pencantuman Kota Grissee, namun selalu sampai. Kejayaan keluarga ini juga masih bisa dilihat kini dari rumah-rumah megah campuran gaya Kolonial dan Cina di Kampung Kemasan Gresik, yang usianya lebih dari satu abad. Rumah-rumah tersebut dibangun dengan tukang pilihan yang berasal dari, imigran dari Cina yang sangat ahli membuat bangunan. Meski bangunan di Kampung Kemasan Gresik tidak sedikit yang juga megah, namun dominasipilar-pilar  Eropa, warna merah, dan ornamen Cina merupakan ciri khas bangunan milik keluarga ini.    

Semula, H. Oemar Akhmad, ayah lima bersaudara tersebut, sekalipun sukses berdagang kulit, namun ia belum punya pabrik kulit. Karena usia, ia mengundurkan diri dari dunia bisnis tahun 1896. Sebuah pabrik penyamakan kulit, yakni Pabrik Kulit Kemasan dibangun lima bersaudara anak H. Oemar Akhmad selang dua tahunan berkiprah meneruskan usaha sang ayah. Modalnya, selain dari keuntungan toko kulit, juga dari hasil usaha wallet yang juga dirintis H. Oemar Akhmad.

Ditangangi serius, Pabrik Kulit Kamasan sangat maju. Kliennya dari berbagai kota. Tidak hanya kota-kota di Jawa Timur, namun juga berbagai wilayah di berbagai penjuru Indonesia. Ada pula perusahaan asal Jepang yang menjadi klien Pabrik Penyamakan Kulit Kemasan. Yang menarik, Raja Solo juga menjadi klien fanatik perusahaan kulit ini, dalam salah satu arsip foto yang disertakan dalam buku, mengunjungi rumah Haji Djaelan dan berfoto bersama Keluarga Kemasan.    

Kesuksesan lima bersaudara ini di samping menjadi kebanggaan bagi warga Kota Gresik, juga berpengaruh luas pada kondisi ekonomi, sosial, dan budaya Kota Gresik pada umumnya. Di bidang ekonomi, berdirinya pabrik penyamakan kulit yang besar mampu mendorong kewirausahaan masyarakat lokal. Perajin-perajin kulit bermunculan di sekitar Gresik karena pasokan kulit yang telah disamak melimpah. Kerajinan kulit dari Gresik sangat terkenal, di samping karena desainnya memikat, juga karena bahan kulit dari Gresik memiliki kualitas baik. Tidak hanya itu, keluarga ini juga berkontribusi memberikan semacam kredit bagi pengusaha-pengusaha yang menjadi klien-kliennya.


Tidak hanya di bidang ekonomi keluarga ini berkontribusi bagi Gresik. Dalam bidang kebudayaan, keluarga ini berkiprah menggali dan melestarikan seni tradisional dengan mendukung even-even budaya masa itu. Dalam bidang pendidikan keluarga ini mendirikan kursus setingkat sekolah rakyat untuk anak-anak boemiputra secara gratis. Waktu itu, memang, sekolah Belanda (HIS) hanya menerima murid anak-anak orang Belanda, Cina, dan Bangsawan Kaya. Pelajaran yang ditekankan dalam sekolah gratis ini adalah membaca, menulis, berhitung dan membuat jajanan. Setelah menamatkan sekolahnya, diharapkan lulusan bisa mandiri mempraktikkan apa yang diajarkan di sekolah.  

Buku ini, menurutku sangat berharga bagi siapa pun yang menaruh minat pada sejarah Gresik, terutama sejarah kewirausahaan dan dunia usaha di Gresik. Sampai sekarang, Gresik antara lain terkenal pula memiliki banyak pengusaha kecil dan menengah yang tangguh dengan etos wirausaha yang kokoh.  Buku ini juga meruntuhkan anggapan bahwa perdagangan masa itu pastilah dikuasai etnis Cina dan Arab. Di Gresik, Pribumi pun sangat tangguh. *

Thursday, October 21, 2010

Berandai-andai Gresik Jadi Kota Pariwisata, Penuh Turis


Pariwisata memang seringkali mendongkrak kinerja ekonomi suatu wilayah, namun apakah juga berbanding lurus dengan pertumbuhan moral dan spiritual warga di wilayah tersebut?

Lumrah memang, di negara mana pun, khususnya negara miskin, pariwisata dianggap primadona. Sebuah wilayah yang banyak dikunjungi wisatawan, terutama wisatawan asing, akan banyak memperoleh keuntungan finansial bagi warganya.

Bahkan di negara ini, kini banyak wilayah bersolek sebersolek-bersoleknya agar tamu betah tinggal. Banyak buku-buku, majalah dan web wisata berlomba menampilkan keunikan suatu objek dan kawasan. Seringkali aku merasa, banyak yang kebablasan dalam promosi. Saat aku tertarik dan berkunjung, ternyata apa yang senyatanya tidak sesuai dengan promosinya.   

Ini, aku pengen berkisah tentang sebuah wilayah yang menurutku masih “asli” dan tampil apa adanya, tidak dibuat-buat. Warganya ramah, bersahaja, dan terbuka.  

Kami bertiga, aku, Isabel Gonzalez Rojo, dan Made Wirya dipertemukan dalam minat yang sama. Sama-sama menyukai lingkungan hidup, sejarah dan budaya. Isabel yang Warga Negara Spanyol ini pernah melanglang buana di berbagai negara sebelum akhirnya jatuh cinta pada Surabaya yang katanya memberi keramahan batin padanya. Made Wirya, waktu senggang ia pakai untuk berburu barang antik dan membuat film. Aku sendiri suka mendokumentasikan perjalanan dalam bentuk tulisan.

Pernah kami bertiga melewatkan waktu seharian, khusus untuk merasakan “aura” Kota yang berbatasan dengan Surabaya bagian Utara, yakni Gresik, April lalu. Aku dan Isabel bukan warga Gresik. Made yang warga Gresik lebih banyak bertindak sebagai “pemandu” kami.

Selama beberapa jam kami putar-putar: ngobrol bareng warga, mengunjungi Kota Lama Gresik yang penuh bangunan bersejarah. Kami juga mengunjungi kompleks makam yang mulia Sunan Giri. Lantas melihat-lihat industri kecil, juga ngopi di sebuah warung kecil yang kopinya terkenal enak.

Oh ya, kami kunjungi juga Kampung nelayan Lumpur yang tampak sangat berjiwa. Sangat hidup. Semua tubuh lelakinya liat. Perempuannya pun pekerja keras. Hingga seolah tak satu menit pun mereka lewati dengan berpangku tangan. Di Lumpur pula kami juga mengunjungi kediaman Nur Hasyim, pembaca macapat pesisiran, yang bersahaja dan membuat kami nyaman di rumahnya.

Hanya berkeliling sehari saja, namun kami punya pendapat sama. Gresik – yang sebelum ini juga nggak masuk dalam referensi minatku untuk berkunjung – ternyata menyimpan pesona luar biasa. Inilah yang kami cari.  

“I’ll be back here,” janji Isabel sore itu saat meninggalkan kota santri tersebut.

Sejak kunjungan itu, kami bertiga tenggelam dalam kesibukan rutin. Isabel terbang ke Kamboja. Made dengan pekerjaannya. Namun sesekali Made dan warga Gresik yang kukenal saat kunjungan singkat April itu senantiasa menghubungiku bila ada even-even budaya di Gresik. Aku sempat mendatangi Kaul Sindujoyo, Macapatan, kembali sharing dengan Nur Hasyim dan keluarga, juga ngobrol dengan Oemar Zainuddin, penulis buku Kota Gresik 1896-1916, Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi.

Ya, kunjungan April itu memang titik tolak kami – khususnya aku dan Isabel –dalam memandang Gresik. Bahwa kota pelabuhan ini tidak lagi kami anggap sebagai nothing, namun something unique. Sebuah kota kecil yang menginspirasi. Panas terik wilayah ini tak berarti dibandingkan dengan kejernihannya yang bagai air zamzam, pelepas dahaga hati.  

Diskusi Bareng Komunitas

Isabel kembali mengunjungi Surabaya Oktober ini. Ia memenuhi janjinya untuk kembali ke Gresik.

Aku, Isabel, dan Made Wirya kembali bertemu dalam even diskusi informal di rumah Oemar Zainuddin di Kampung Kemasan. Gresik Lovers yang hadir tak hanya dari Gresik. Mereka terdiri dari wakil komunitas, guru, budayawan, pemerintah, wakil dari kawasan Malik Ibrahim, dll. Ada juga partisipan dari kalangan perguruan tinggi di Surabaya, ITS dan Untag. Kami semua sharing perkembangan Gresik.  

Sharing yang cukup mengemuka dalam diskusi informal sepanjang 3 jam itu antara lain:
-         Mungkinkah Gresik ditetapkan Unesco menjadi Warisan Budaya Dunia?
-         Bagaimana meningkatkan kecintaan masyarakat Gresik terhadap budayanya?
-         Action apa yang harus dilakukan untuk memprkenalkan Gresik?

Isabel menjadi semacam guest star. Maklum saja, dia nggak hanya cantik, namun smart. Lebih-lebih lagi, ia pernah menjadi staf Unesco Kamboja. Sangat klop bila menjadi narasumber tepercaya malam itu. Kawan baikku ini cukup jernih mengungkapkan buah-buah pikirannya dalam sharing tersebut. Ia merinci syarat apa saja yang harus dipenuhi demi gelar “Warisan Sejarah Dunia”. Ada istilah man heritage, underwater heritage, tangible heritage, dan intangible heritage. Di mata Isabel, Gresik berkemungkinan besar memenuhi kriteria untuk menjadi warisan sejarah dunia.  

Namun, Isabel mengajak para partisipan diskusi untuk merenung. Apakah gelar Warisan Sejarah Dunia benar-benar diinginkan? Sudah siapkah masyarakat Gresik? “Masalahnya, saya banyak melihat, wilayah-wilayah Warisan Sejarah Dunia mengalami banyak perubahan, baik sosial, kultur, maupun spiritual,” katanya.

“Misalnya di Macau, Cina, sejak ditetapkan menjadi Warisan Sejarah Dunia, saya melihat di mana-mana turis. Perubahan begitu drastis di sana,” kata master humanitarian dari universitas terkemuka di Australia.  

Namun Isabel menyatakan, bila memang menginginkan Gresik didaftarkan sebagai warisan sejarah dunia, biarlah administrasi untuk hal tersebut tetap dipenuhi. Tapi tanpa gelar itu pun semua yang hadir dalam diskusi memiliki tanggung jawab untuk mempertinggi kesadaran warga Gresik agar lebih mencintai kultur baik yang dibangun di Gresik selama berabad-abad.

Sesungguhnya April lalu, kami bertiga di sebuah warung kopi di Gresik sudah mendiskusikan masalah ini. Isabel secara pribadi, lebih suka sebuah wilayah tetap asli. Tanpa disulap-sulap, apalagi demi pariwisata. “Saya nggak tahu, apakah Vitri masih senang ke Gresik bila kota ini dipenuhi turis?” tanyanya padaku sambil menyeruput kopinya di warung di pusat kota Gresik siang itu. *alpha savitri

Friday, October 15, 2010

Apa Itu: Reduce, Reuse, Recycle

Foto: Dok. Pusdakota Ubaya
Banyak cara dilakukan untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan. Di antaranya Reduce, Reuse, dan Recycle. Mungkin kita sudah kenal istilah ini. Namun apakah dalam praktik keseharian kita menjalankannya? Karena, sayang bila kita hanya mengenalnya di tataran pikiran, namun tidak sampai pada perbuatan. Ini sama halnya dengan pegiat lingkungan yang melakukan demo akan kerusakan lingkungan, namun membuang sampah plastik di tempat demo, seolah semua tempat di dunia ini keranjang sampah.
Di sini saya menampilkan foto dokumentasi Pusdakota Ubaya. Bagaimana surat kabar yang sudah tidak dibaca masih bermanfaat untuk kostum pada sebuah pertunjukan tari. Pusdakota Ubaya yang juga memiliki sanggar tari berupaya mempraktikkan perilaku hijau, bahkan sampai pada kostum tarinya. Simpel dan nggak mahal, bukan?  

Sesungguhnya, apa arti Reduce, Reuse, dan Recycle? Ini uraiannya.

Reduce (Mengurangi)
Sebagai manusia kita pasti memiliki sampah, apa pun bentuknya. Kita memiliki kertas, baju, tas, dan berbagai barang yang potensial memperbanyak sampah di bumi. Belilah barang yang penting-penting saja. Jangan mengoleksi secara berlebihan bila barang-barang tersebut nantinya harus berakhir di tempat sampah.

Reuse (Memakai Kembali)
Toko dan department store banyak menawarkan barang-barang baru yang cantik dan menggiurkan hati. Kalau kita semua terbuai dengan bujuk rayu iklan di televisi ataupun surat kabar, bumi ini dalam kurun dekat akan dipenuhi sampah. Bila kita peduli pada nasib anak cucu, mulailah dengan “gaya hidup hijau”. Perpanjang masa pakai barang-barang kita. Jangan segan memakai barang-barang lama yang masih berfungsi. Jangan cemas bila kita dibilang ketinggalan zaman karena suka memperpanjang masa pakai suatu barang.

Recycle (Mendaur Ulang)
Tidak semua barang bisa didaur ulang. Namun bila barang di rumah yang sudah tidak terpakai bisa didaur ulang menjadi barang lain yang bermanfaat, akan sangat berguna bagi alam ini. Contoh: plastik kemasan minyak goreng yang sudah tidak terpakai bisa dimanfaatkan sebagai pot untuk membibit tanaman. Sachet-sachet bungkus mie instan dijahit untuk tas belanja, dsb.

Sunday, April 04, 2010

Multicultural Green Camp, Ranu Klakah dan Laskar Hijau, Sebuah Refleksi


Pergi dan temui masyarakatmu. Hidup dan tinggallah bersama mereka. Cintai dan berkaryalah bersama. Mulailah dari apa yang mereka miliki dan dari apa yang ada. Buat rencana lalu bangunlah rencana itu dari apa yang mereka ketahui. Sampai akhirnya, ketika pekerjaan usai, mereka akan berkata: “KAMILAH YANG TELAH MENGERJAKANNYA” (lao Tze)

**

Matahari masih bersembunyi di balik Gunung Lemongan, Lumajang. Tapi sinar kuningnya telah muncul sebersit. Di Danau (Ranu) Klakah yang ada di bawah gunung itu, air nyaris tanpa gejolak. Rakit-rakit beserta pelayarnya yang menjala tampak seperti noktah di tengah danau.

Di tepian danau, seorang bapak mengumpulkan udang-udang yang terperangkap di plastik-plastik bekas botol air mineral dalam kemasan yang dibelah dan dijajar sedemikian rupa. Anak-anak yang mandi di tepian danau menjerit-jerit riang. Tak lama kemudian matahari muncul. Beberapa bagian danau yang terkena sinarnya berwarna keperakan. Burung-burung aneka rupa terbang di atasku.

**

Aku beruntung bisa hadir dalam Multicultural Green Camp 2010 yang dimotori kawan-kawan dari Forum NGO di Jawa Timur, Pusham Universitas Airlangga, bekerjasama dengan Laskar Hijau, 20-21 Maret 2010. Kemasan acara dan sambutan hangat tuan rumah demikian inspiratif. Namun di atas semua itu, sesungguhnya kami, partisipan juga mendapat pengalaman berharga. Yakni sebuah ironi. Kendati musim hujan tiba, air adalah barang mewah di sekitar danau yang indah dan seakan memiliki danau kecukupan sumberdaya air ini. Bahkan tuan rumah harus bersusah payah mendatangkan air dari lokasi lain untuk acara Multicultural Green Camp 2010 ini.

Aku jadi ingat buku-buku petunjuk wisata, majalah dan brosur wisata yang selalu dipenuhi foto-fotonya menawan dan eksotik. Aku juga ingat lebih dari satu kali melihat foto-foto dan membaca artikel tentang Ranu Klakah di sebuah situs di internet. Foto dan artikel dikemas seolah dengan tidak ada cacat dan cela. Bagai seseorang yang didandani dengan make-up untuk menonjolkan kecantikannya dan menyembunyikan kekurangannya.

Nggak papa sih, namanya saja jualan tempat, pastinya yang ditonjolkan adalah yang bermutu. Tapi kadang aku merasa, ada buku-buku atau informasi wisata, nggombalnya sering kebablasan.

Maka aku selalu skeptis, benarkah info-info yang kuterima mencerminkan hal sesungguhnya? Dan sepanjang pengalamanku, meskipun sebuah tempat sudah diulas banyak oleh media massa dan brosur, aku sering dihadapkan pada area gelap yang harus kutelusuri lebih jauh untuk mendapatkan keutuhan informasi.

Seperti Ranu Klakah dan Gunung Lemongan ini. Tak hanya memiliki sisi baik, yakni pemandangan, sejarah, dan, modal sosial, namun juga itu tadi, yang menurutku mendasar, yakni kelangkaan air yang harus dirunut sumbernya.

*

Reformasi negeri ini tahun 1990-an, di samping membawa berkah juga menyisakan masalah. Salah satunya adalah penebangan liar besar-besaran yang diskenariokan penguasa lama negeri ini yang tak ingin kekuasaannya diambil alih pemimpin baru.

Huru-hara bikinan terjadi di mana-mana. Semua hutan di negeri ini digunduli termasuk hutan Gunung Lemongan seluas 6000 hektar yang habis dalam kurun tahun 1998 – 2002.

Dulu, 30 danau berhasil dihidupi Gunung Lemongan. Kini tinggal sembilan danau yang berair. Dulu, ada 32 mata air di sekitar Ranu Klakah, kini tinggal empat. yang tersisa. Padahal 47 persen warga Ranu Klakah berprofesi sebagai petani. Sawah-sawah yang harus diairi sebanyak 500 ha. Petani mana yang mampu bertahan dalam situasi kelangkaan air? Bayangkan kalau semua petani kita mengalami hal yang sama. Akan seperti apa dunia pertanian di negeri ini. Pastilah semakin terpuruk. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, tangganya dari baja pula.

Aku jadi ingat sebuah tempat ****o*i*o, kira-kira 30 km jauhnya dari Ranu Klakah. Kegiatan yang paling kusukai bila aku ke tempat ini adalah mandi dan berenang-renang di sumber-sumber air di tempat yang letaknya tersembunyi di dekat kebun-kebun salak penduduk. Di tempat yang tinggi ini sumberdaya air demikian melimpah. Sumber-sumber air dialirkan ke rumah-rumah warga lewat pipa paralon. Saban bulan warga bekerja bakti melihat kebocoran-kebocoran. Saban bulan warga membayar iuran. Air dikelola oleh warga dengan damai. Mudah-mudahan lokasi yang kaya sumber air ini tak diambil pemodal air minum dalam kemasan, sebagaimana di lokasi-lokasi yang kaya sumber air. (makanya dalam tulisan ini, wilayah ini kupassword. He he). Sungguh tidak menyenangkan bila suatu saat aku mendengar warga harus membeli air di wilayahnya sendiri yang kaya air.

****o*i*o dan Ranu Klakah. Dua lokasi di kabupaten yang sama, yakni Lumajang namun memiliki ketimpangan sumberdaya air.

Hebatnya, warga Ranu Klakah bisa berdamai dengan kondisi kelangkaan air. Beberapa pemancing, warga lokal yang kutanya di danau menganggap kelangkaan air sebagai situasi yang memang harus diterima sedangkan beberapa menganggap ini harus dipecahkan.

*

Dua hari di Ranu Klakah sangat menginspirasi karena aku melihat aksi-aksi nyata warga setempat yang dilakukan bersama pegiat lingkungan Laskar Hijau untuk mengembalikan kejayaan Gunung Lemongan.

Laskar hijau bukanlah organisasi yang datang untuk menawarkan program-program dengan cara pandang Laskar Hijau yang berusaha disuntikkan ke warga. Namun Laskar hijau kulihat hidup dan tinggal bersama masyarakat setempat, berkarya bersama mereka, membikin rencana bersama dari apa yang diketahui warga.
Organisasi kerelawanan untuk konservasi ini dibentuk tahun 2008. Keanggotaan bersifat sukarela. Organisasi yang tidak berbadan hukum ini lebih menekankan partisipasi bersama, juga dalam hal pendanaan konservasi. Sudah setahun ini, masyarakat setempat bersama Laskar Hijau telah menghijaukan 300 ha bukit Gunung Lemongan.

”Ini berarti, untuk mengembalikan ekosistem Gunung Lemongan yang 6000 ha, kami perlu waktu 20 tahun. Kami akan terus fokus untuk membantu penghijauan Gunung Lemongan selama 20 tahun,” kata A’ak Abdullah Al Kudus, relawan Laskar Hijau.

Gunung Lemongan disentuh dengan tetap memperhatikan kearifan lokal melalui konsep hutan setaman. Bibit pohon yang dikembangkan adalah buah-buahan lokal, tanaman konservasi, tanaman langka, dan aneka jenis bambu, khususnya bambu petung (Dendrocalamus Asper), Jajang Hitam (Gigantochloa Atroviolacea Wijaya), dan Bambu Andong Besar (Gidantochloa Pseudoarundinacae). Siswa-siswi SD setempat pun diajak bekerjasama untuk membibit untuk membuka kesadaran pentingnya pemeliharaan alam ini.

Kenapa dipilih buah-buahan untuk ditanam di hutan-hutan Gunung Lemongan yang gundul? ”Ini semua untuk masyarakat, agar mereka tak lagi menebangi kayu untuk memenuhi kebutuhan. Mereka cukup memetik buah yang ada di hutan Gunung Lemongan,” kata A’ak.

Darimana bibit tanaman buah berasal? Ternyata dari biji-bijian yang diupayakan warga dan dari biji-bijian yang diambil dari pasar. Warga mengumpulkan biji buah-buahan untuk disumbangkan dalam gerakan penghijauan Biji-biji juga dikumpulkan lewat pengobatan akupuntur gratis. Pasien hanya diminta membayar dengan biji-bijian di sekitar mereka. Jumlahnya terserah. Biji-bijian tersebut dibibit untuk setiap minggu ditanam relawan di bukit-bukit gundul Gunung Lemongan.

Baru setahun melakukan upaya penanaman kawasan lereng Gunung Lamongan, di samping beberapa tanaman sudah berbuah, aneka satwa yang sempat menghilang, terutama burung kini perlahan-lahan kembali. Agar tetap lestari, warga bersama laskar Hijau berharap agar Gunung Lemongan dikukuhkan sebagai kawasan hutan lindung atau taman nasional sesuai undang-undang yang berlaku.

Seruan konservasi dilakukan lewat berbagai cara oleh masyarakat. Antara lain lewat kegiatan rutin Maulid Hijau (Maulid Nabi dan Penghijauan) yang diselenggarakan sejak tahun 2006. Beragam kegiatan lingkungan hidup dan seni budaya maupun bersih desa yang telah turun-temurun, diselenggarakan dalam bulan dilahirkannya Nabi Muhammad SAW. Tahun 2010, Maulid Hijau rencananya diselenggarakan 14-16 Mei 2010.

*

Laskar hijau dan sedikit organisasi kerelawanan lain yang rela memilih jalan sunyi, apalagi yang tegas memilih untuk tidak memiliki badan hukum dan funding (yang seringkali sarat kepentingan) harusnya kita dukung dengan segenap potensi yang kita miliki, karena sungguh berjuang demi hal-hal yang prinsip demi semesta. Bukan demi kepentingan-kepentingan lain.

Kuharap mereka tetap konsisten dengan visi dan misi yang mereka pilih, tetap utuh dengan masyarakatnya bagai sapu lidi, dan semakin matang berefleksi atas roh kekaryaan mereka.

Selamat menebar karya, kawan.

Nyadran Nelayan dan Makam Dewi Sekardadu, Ibunda Sunan Giri


Makam Ibunda Sunan Giri, Dewi Sekardadu, jauh dari keramaian. Di sekelilingnya cuma ada laut dan empang. Mungkin sang dewi ingin mengabarkan pada kita bahwa sahabatnya yang abadi adalah ikan, pasir, bakau dan angin laut.

Desa Kepetingan alias Ketingan, Sidoarjo, Jawa Timur, pada hari-hari biasa begitu sunyi. Cuma ada sedikit rumah dengan sedikit orang. Hampir semua wilayah dihuni tambak, pohon dan satwa pantai.

Jika tak hujan, jajaran bakau yang hadir di tepi pantai tampak sangat indah. Burung-burung langka pun, pagi itu sekali-sekali melintas-lintas sambil berkicau. Serangga tak kalah banyak jenisnya, hinggap dan terbang di antara tanaman-tanaman. Angin lumayan kencang, membawa air laut sampai ke wajahku.

Cuma, yang mengganggu setiap kunjunganku adalah tumbuhan enceng gondok yang mulai jenak berdiam dan berkelompok-kelompok di berbagai sudut tepian pantai. Aku ingat, satu kawanku yang pecinta lingkungan pernah bilang kalau hadirnya enceng gondok bisa merupakan ciri telah hadirnya limbah yang mengganggu kesehatan. Oh, tak lama lagi, bila tak ditangani, kelompok-kelompok enceng gondok tersebut akan bersatu. Tidak itu saja, sebenarnya. Aku juga melihat banyak sampah plastik dari bungkus snack dan air mineral tersangkut di antara sulur-sulur enceng gondok. Siapa pun yang membuang sampah tersebut mungkin menyangka semua tempat di bumi ini adalah tong sampah.

Oh ya, untuk mencapai wilayah ini relatif rumit. Aku dan kawan nunut perahu nelayan. Satu setengah jam dari kampung nelayan di Bluru Kidul, Sidoarjo. Nggak bisa lewat jalur darat. Jalan-jalan setapak di kanan kiri berliku dan licin, lebih-lebih bila musim hujan.

Di desa inilah Ibunda Sunan Giri Dewi Sekardadu konon beristirahat sejak abad ke-14. Makamnya cukup megah karena beberapa tahun lalu dipugar Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Ada joglo untuk peristirahatan pengunjung segala. Namun tetap saja, di tengah deru angin kencang yang sesekali membawa air laut, kesan kesunyian dan keterpencilan makam ini kurasakan.

Beberapa penduduk bercerita padaku bahwa kunjungan ke makam ini relatif jarang. “Yang datang biasanya adalah peminat ziarah wali. Atau kalau tidak ya peneliti, atau peminat masalah supranatural,” ujar Haji Waras, pemuka masyarakat.

Angka kunjungan meningkat menjelang upacara nyadran alias petik laut yang diselenggarakan setahun dua kali. Menjelang Ramadan dan Bulan Maulud.

Ternyata beberapa penduduk desa ini yang ngobrol siang itu denganku hapal sejarah makam Dewi Sekardadu, dengan pakem seragam. Bahwa perempuan ini bernasib malang. Dia mencari-cari bayinya di tengah laut namun tidak menemukan. Yang terjadi, dia tewas, lantas digotong ikan-ikan keting (entah apa nama ilmiahnya), untuk didamparkan di tempat ini, yang kini dinamai Desa Ketingan atau Kepetingan.

Putri Blambangan yang Malang

Sekadar mengingatkan, Dewi Sekardadu sesungguhnya adalah putri dari Prabu Menak Sembuyu, Penguasa Kerajaan Blambangan, Banyuwangi pada abad ke-14.

Samadi, juru kunci makam menjelaskan, Blambangan suatu ketika didera wabah penyakit. Dewi Sekardadu sendiri pun sakit. Tabib-tabib terkenal didatangkan namun tak satu pun yang bisa menyembuhkan penyakit, baik Dewi Sekardadu maupun warga desa.

“Raja pun membuat sayembara, barangsiapa bisa menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu, ia berhak menjadi suami sang dewi jelita itu. Namun lagi-lagi tidak ada yang
bisa menyembuhkan. Hingga akhirnya, Prabu Menak Sembuyu bermimpi bahwa yang bisa menyembuhkan putrinya adalah ulama Muslim bernama Syeh Maulana Iskak yang berdiam di sekitar Gresik, Jawa Timur, “beber Samadi.

Maka diutuslah patih kerajaan untuk menemui Syeh Maulana Iskak. Syeh Maulana Iskak pun berangkat ke Tanah Blambangan. “Singkat cerita, Dewi Sekardadu berhasil disembuhkan. Maka, dinikahkanlah Syeh Maulana Iskak dengan Dewi Sekardadu.

Setelah menikah mereka tinggal di Blambangan. Syeh Maulana Iskak sangat disayangi penduduk Blambangan.

Orang-orang kepercayaan raja mengail di air keruh. Mereka juga tidak rela rakyat demikian menyayangi Syeh Maulana Iskak. Intrik demi intrik dilakukan, hingga raja semakin membenci Syeh Maulana Iskak. Bahkan Dewi Sekardadu pun tidak lagi akur dengan suaminya. Syeh Maulana Iskak akhirnya meninggalkan istana untuk berdakwah di tempat lain. Saat itu Dewi Sekardadu hamil tua.

Bayi yang dikandung Dewi Sekardadu lahir tahun 1365 M. Namun bayi tersebut tidak diinginkan para petinggi kerajaan yang haus kekuasaan. Bayi tersebut diculik, ditempatkan di sebuah peti yang kemudian dipaku dan dibuang ke laut. Itu sebabnya bayi tersebut juga dinamai Raden Paku.

Mengetahui anaknya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri, mengejar-ngejar anaknya di laut. Dewi Sekardadu tak bisa mengejar peti yang terapung-apung di laut, lantas meninggal.

Di wilayah Balongdowo Sidoarjo, pada tahun 1365 tersebut, para nelayan sedang mencari ikan dan kerang di laut. Mereka dikejutkan dengan serombongan ikan keting yang ramai-ramai menggotong jasad seorang wanita cantik, yang diyakini Dewi Sekardadu. Jasad yang akhirnya didamparkan ikan-ikan keting di pantai, lantas dikubur secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya dinamakan KETINGAN alias KEPETINGAN.

Bagaimana dengan bayi Dewi Sekardadu yang terapung-apung itu? Selamatkah dia? Ternyata bayi tersebut selamat. Seorang penguasaha kapal ikan perempuan mengambil bayi yang kemudian dinamai Raden Paku dan dikenal dengan sebutan Sunan Giri tersebut.

Namun kisah Dewi Sekardadu ini punya banyak versi. Beberapa tempat seperti Gresik dan Lamongan, konon juga diakui sebagai makam Dewi Sekardadu. Entah versi mana yang benar, namun nelayan-nelayan di sini sangat yakin, makam Dewi Sekardadu yang asli ya yang di kampung mereka.


Upacara Nyadran
Makam Ibunda Sunan Giri tersebut, sangat dimuliakan masyarakat nelayan Sidoarjo. Setiap tahun, saat bulan Maulud dan menjelang Ramadhan, upacara terbesar nelayan pesisir Sidoarjo Nyadran atau petik laut dipusatkan di makam ini.

Sekali waktu aku mengikuti Nyadran nelayan Bluru Kidul Sidoarjo, yang terjadi di awal Maret 2010. Sejak pagi para penduduk kampung Bluru Kidul yang sebagian besar kaum nelayan, telah berkumpul di tempat yang biasa mereka pakai sebagai dermaga. Sebagaimana hari raya Idul Fitri, kali ini penduduk pun kulihat berpakaian serba baru. Mereka satu per satu, juga anak-anak naik perahu. Jumlah perahu sekitar 30-an dan beberapa di antaranya berhiaskan hasil bumi seperti sayur dan buah-buahan. Di dalam perahu-perahu itu telah ada tumpeng.

Makam Dewi Sekardadu dipenuhi penduduk yang bergantian untuk nyekar. Puluhan tumpeng dan sesajen dibawa ke dalam masjid. Ayat-ayat Al Quran juga dikumandangkan. Setelah itu, tumpeng pun dibagikan untuk siapa saja yang memerlukan. Beberapa tumpeng memang disediakan untuk dilarung ke laut, dan ini tentu saja dibawa kembali ke dermaga. Penduduk pun kembali naik perahu, beriring-iring menuju tengah laut, tempat melarung tumpeng.

Kebersamaan benar-benar tampak di sini. Even ini ternyata sanggup mempererat tali persaudaraan antarmereka.

Sejak dulu aku senang menjadi saksi upacara-upacara adat, entah itu bersih desa ataupun nyadran. Kegiatan semacam ini memang ada di mana pun di Nusantara kita. Hanya versinya yang beda karena selalu kontekstual dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Kegiatan semacam ini, sepanjang filosofinya diketahui dan pesan-pesan moral terbaiknya diamalkan, bukankah akan membuat dunia kita yang carut marut ini jadi lebih baik? Bukankah Nyadran yang erat kaitannya dengan bersih-bersih ini merupakan kegiatan untuk semakin mendekatkan kita kepada jagat kecil, yakni diri kita, dan jagat besar, yakni semesta ini? Semestinya, kegiatan yang sarat pesan moral dan pastinya ramah lingkungan tersebut tak ada alasan buat ditampik, dicurigai, atau dihujat.

Dalam hati aku juga berharap, makam ini beserta ritual-ritual yang digelar tidak dikomersialisasikan atas nama apa pun, bila itu berpotensi merusak modal sosial, modal spiritual dan budaya masyarakat setempat.

Tuesday, January 19, 2010

Monsanto's GMO Corn Linked To Organ Failure, Study Reveals

In a study released by the International Journal of Biological Sciences, analyzing the effects of genetically modified foods on mammalian health, researchers found that agricultural giant Monsanto's GM corn is linked to organ damage in rats.

According to the study, which was summarized by Rady Ananda at Food Freedom, "Three varieties of Monsanto's GM corn - Mon 863, insecticide-producing Mon 810, and Roundup® herbicide-absorbing NK 603 - were approved for consumption by US, European and several other national food safety authorities."

Monsanto gathered its own crude statistical data after conducting a 90-day study, even though chronic problems can rarely be found after 90 days, and concluded that the corn was safe for consumption. The stamp of approval may have been premature, however.

In the conclusion of the IJBS study, researchers wrote:

"Effects were mostly concentrated in kidney and liver function, the two major diet detoxification organs, but in detail differed with each GM type. In addition, some effects on heart, adrenal, spleen and blood cells were also frequently noted. As there normally exists sex differences in liver and kidney metabolism, the highly statistically significant disturbances in the function of these organs, seen between male and female rats, cannot be dismissed as biologically insignificant as has been proposed by others. We therefore conclude that our data strongly suggests that these GM maize varieties induce a state of hepatorenal toxicity....These substances have never before been an integral part of the human or animal diet and therefore their health consequences for those who consume them, especially over long time periods are currently unknown."

Monsanto has immediately responded to the study, stating that the research is "based on faulty analytical methods and reasoning and do not call into question the safety findings for these products."

The IJBS study's author Gilles-Eric Séralini responded to the Monsanto statement on the blog, Food Freedom, "Our study contradicts Monsanto conclusions because Monsanto systematically neglects significant health effects in mammals that are different in males and females eating GMOs, or not proportional to the dose. This is a very serious mistake, dramatic for public health. This is the major conclusion revealed by our work, the only careful reanalysis of Monsanto crude statistical data."