Lumrah memang, di negara mana pun, khususnya negara miskin, pariwisata dianggap primadona. Sebuah wilayah yang banyak dikunjungi wisatawan, terutama wisatawan asing, akan banyak memperoleh keuntungan finansial bagi warganya.
Bahkan di negara ini, kini banyak wilayah bersolek sebersolek-bersoleknya agar tamu betah tinggal. Banyak buku-buku, majalah dan web wisata berlomba menampilkan keunikan suatu objek dan kawasan. Seringkali aku merasa, banyak yang kebablasan dalam promosi. Saat aku tertarik dan berkunjung, ternyata apa yang senyatanya tidak sesuai dengan promosinya.
Ini, aku pengen berkisah tentang sebuah wilayah yang menurutku masih “asli” dan tampil apa adanya, tidak dibuat-buat. Warganya ramah, bersahaja, dan terbuka.
Kami bertiga, aku, Isabel Gonzalez Rojo, dan Made Wirya dipertemukan dalam minat yang sama. Sama-sama menyukai lingkungan hidup, sejarah dan budaya. Isabel yang Warga Negara Spanyol ini pernah melanglang buana di berbagai negara sebelum akhirnya jatuh cinta pada Surabaya yang katanya memberi keramahan batin padanya. Made Wirya, waktu senggang ia pakai untuk berburu barang antik dan membuat film. Aku sendiri suka mendokumentasikan perjalanan dalam bentuk tulisan.
Pernah kami bertiga melewatkan waktu seharian, khusus untuk merasakan “aura” Kota yang berbatasan dengan Surabaya bagian Utara, yakni Gresik, April lalu. Aku dan Isabel bukan warga Gresik. Made yang warga Gresik lebih banyak bertindak sebagai “pemandu” kami.
Selama beberapa jam kami putar-putar: ngobrol bareng warga, mengunjungi Kota Lama Gresik yang penuh bangunan bersejarah. Kami juga mengunjungi kompleks makam yang mulia Sunan Giri. Lantas melihat-lihat industri kecil, juga ngopi di sebuah warung kecil yang kopinya terkenal enak.
Oh ya, kami kunjungi juga Kampung nelayan Lumpur yang tampak sangat berjiwa. Sangat hidup. Semua tubuh lelakinya liat. Perempuannya pun pekerja keras. Hingga seolah tak satu menit pun mereka lewati dengan berpangku tangan. Di Lumpur pula kami juga mengunjungi kediaman Nur Hasyim, pembaca macapat pesisiran, yang bersahaja dan membuat kami nyaman di rumahnya.
Hanya berkeliling sehari saja, namun kami punya pendapat sama. Gresik – yang sebelum ini juga nggak masuk dalam referensi minatku untuk berkunjung – ternyata menyimpan pesona luar biasa. Inilah yang kami cari.
“I’ll be back here,” janji Isabel sore itu saat meninggalkan kota santri tersebut.
Sejak kunjungan itu, kami bertiga tenggelam dalam kesibukan rutin. Isabel terbang ke Kamboja. Made dengan pekerjaannya. Namun sesekali Made dan warga Gresik yang kukenal saat kunjungan singkat April itu senantiasa menghubungiku bila ada even-even budaya di Gresik. Aku sempat mendatangi Kaul Sindujoyo, Macapatan, kembali sharing dengan Nur Hasyim dan keluarga, juga ngobrol dengan Oemar Zainuddin, penulis buku Kota Gresik 1896-1916, Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi.
Ya, kunjungan April itu memang titik tolak kami – khususnya aku dan Isabel –dalam memandang Gresik. Bahwa kota pelabuhan ini tidak lagi kami anggap sebagai nothing, namun something unique. Sebuah kota kecil yang menginspirasi. Panas terik wilayah ini tak berarti dibandingkan dengan kejernihannya yang bagai air zamzam, pelepas dahaga hati.
Diskusi Bareng Komunitas
Isabel kembali mengunjungi Surabaya Oktober ini. Ia memenuhi janjinya untuk kembali ke Gresik.
Aku, Isabel, dan Made Wirya kembali bertemu dalam even diskusi informal di rumah Oemar Zainuddin di Kampung Kemasan. Gresik Lovers yang hadir tak hanya dari Gresik. Mereka terdiri dari wakil komunitas, guru, budayawan, pemerintah, wakil dari kawasan Malik Ibrahim, dll. Ada juga partisipan dari kalangan perguruan tinggi di Surabaya, ITS dan Untag. Kami semua sharing perkembangan Gresik.
Sharing yang cukup mengemuka dalam diskusi informal sepanjang 3 jam itu antara lain:
- Mungkinkah Gresik ditetapkan Unesco menjadi Warisan Budaya Dunia?
- Bagaimana meningkatkan kecintaan masyarakat Gresik terhadap budayanya?
- Action apa yang harus dilakukan untuk memprkenalkan Gresik?
Isabel menjadi semacam guest star. Maklum saja, dia nggak hanya cantik, namun smart. Lebih-lebih lagi, ia pernah menjadi staf Unesco Kamboja. Sangat klop bila menjadi narasumber tepercaya malam itu. Kawan baikku ini cukup jernih mengungkapkan buah-buah pikirannya dalam sharing tersebut. Ia merinci syarat apa saja yang harus dipenuhi demi gelar “Warisan Sejarah Dunia”. Ada istilah man heritage, underwater heritage, tangible heritage, dan intangible heritage. Di mata Isabel, Gresik berkemungkinan besar memenuhi kriteria untuk menjadi warisan sejarah dunia.
Namun, Isabel mengajak para partisipan diskusi untuk merenung. Apakah gelar Warisan Sejarah Dunia benar-benar diinginkan? Sudah siapkah masyarakat Gresik? “Masalahnya, saya banyak melihat, wilayah-wilayah Warisan Sejarah Dunia mengalami banyak perubahan, baik sosial, kultur, maupun spiritual,” katanya.
“Misalnya di Macau, Cina, sejak ditetapkan menjadi Warisan Sejarah Dunia, saya melihat di mana-mana turis. Perubahan begitu drastis di sana,” kata master humanitarian dari universitas terkemuka di Australia.
Namun Isabel menyatakan, bila memang menginginkan Gresik didaftarkan sebagai warisan sejarah dunia, biarlah administrasi untuk hal tersebut tetap dipenuhi. Tapi tanpa gelar itu pun semua yang hadir dalam diskusi memiliki tanggung jawab untuk mempertinggi kesadaran warga Gresik agar lebih mencintai kultur baik yang dibangun di Gresik selama berabad-abad.
Sesungguhnya April lalu, kami bertiga di sebuah warung kopi di Gresik sudah mendiskusikan masalah ini. Isabel secara pribadi, lebih suka sebuah wilayah tetap asli. Tanpa disulap-sulap, apalagi demi pariwisata. “Saya nggak tahu, apakah Vitri masih senang ke Gresik bila kota ini dipenuhi turis?” tanyanya padaku sambil menyeruput kopinya di warung di pusat kota Gresik siang itu. *alpha savitri
No comments:
Post a Comment