Wednesday, November 12, 2008

Kuntul di Beringin Alun-alun Kota Blitar

Kota Blitar yang sering kukunjungi masih menyisakan banyak situs hijau yang tidak dimiliki kota-kota lain di Jawa, seperti Surabaya dan Jakarta. Di antara situs hijau di kota ini yang kusukai di Kota ini adalah pohon-pohon beringin masih dibiarkan tumbuh, berkembang, dan menjadi dewasa, di jalan-jalan utama di kota ini. Pohon-pohon itu penuh akar-akar yang di mataku sangat eksotik. Lokasi pohon beringin yang kusukai adalah di Alun-alun Kota Blitar. Di lingkungan ini, tidak cuma ada satu beringin, namun lebih dari sepuluh. Empat di antaranya berdiam di pinggir jalan utama, tidak di dalam pagar alun-alun.

Aku benar-benar merasa homey bila melintasi pohon-pohon beringin di alun-alun. Menurutku, seharusnya, begitulah sebuah kota dikelola. Tetap memperhitungkan keberadaan pohon-pohon. Tidak mengalahkannya demi kepentingan manusia yang seringkali tidak berpikir secara berkelanjutan.

Pohon-pohon beringin di alun-alun merupakan rumah yang nyaman bagi para burung. Yang sangat banyak berteduh di sini adalah para serangga. Banyak pula burung yang kata orang Jawa adalah kuntul (burung bangau). Kuntul-kuntul ini, dengan jumlah, mungkin ribuan, menjelang maghrib pulang berbondong-bondong. Yang terbanyak dari arah barat. Sungguh pemandangan yang elok. Saking banyaknya burung-burung yang bermukim di pohon beringin dekat alun-alun, hidung kita akan merespon bau alami burung dan kotorannya. Aku tidak terganggu dengan bau burung dan kotorannya. Di Surabaya, aku justru jarang mencium karunia Allah berupa bau burung. Yang kucium di jalanan di kota pahlawan adalah sisa asap kendaraan yang sangat menyesakkan.

Maka, bila aku melintasi pohon-pohon beringin dan mencium bau khas burung dan kotorannya, seringkali aku disekap perasaan takjub. Oh ya, bila kita melongok ke atas, ke arah daun-daun beringin, sebagian daun itu tampak berwarna pucat. Tidak hijau. Ya, daun yang pucat tersebut pastinya pernah atau sering menjadi tempat kotoran burung-burung. Kotoran-kotoran itu bahkan tidak saja hinggap di daun yang lebat, ranting, atau batang dan sulur-sulur beringin, namun juga sampai ke jalan-jalan. Untungnya, jalan-jalan yang terkena tai burung tersebut selalu lekas dibersihkan oleh petugas sehingga tidak sampai terkesan jorok.

Pohon-pohon beringin itu, entah berapa kini usianya, kuharap tetap berdiam di situ, tidak ditebangi atas nama pembangunan. Kuharap beringin-beringin itu tetap jadi tempat yang nyaman bagi para burung. Para burung tidak risau karena tempat tinggal mereka hilang ataupun mereka terancam bedil-bedil perusak lingkungan.

Sungguh, sekali lagi aku katakan, aku nyaman berada di Kota Blitar, salah satunya karena beringin-beringinnya yang melindungi hewan-hewan yang kini semakin langka, seperti burung kuntul. Di seputaran Surabaya, burung kuntul ditembaki. Malahan, pernah ada restoran burung kuntul yang kini, entah kenapa telah tutup.

Apa Kota Blitar masih senyaman sekarang bila nantinya pohon-pohon besarnya telah tiada (Alpha Savitri)*

Kelelawar Buah Pesaingku

Ini masih cerita tentang pohon buahku. Demi memetik buah mangga gadung di halaman rumah, aku sering kalah bersaing dengan kelelawar. Bukan main senangnya mereka dengan mangga dan bukan main pintar mereka. Buah yang telah besar dan matang yang telah kuincar, pada pagi hari seringkali tergolek di tanah. Kelelawar-kelelawar tersebut tidak menghabiskan semua daging buah, melainkan mencicipi sedikit saja dan buah tersebut dibiarkan saja mubazir di tanah. Aku memang jarang membungkus buah-buahan tersebut saat di pohon sehingga kelelawar bisa mencicipinya dengan bebas.

Dulu, buah-buahan bekas kelelawar pasti kubuang. Namun sejak suamiku membawa berita bahwa buah-buahan bekas tersebut adalah buah pilihan, aku tidak membuang mangga itu. Yang kubuang paling daging bekas gigitan kelelawar. Selebihnya kumakan dan memang manis sekali. Menurutku pada akhirnya, nggak ada salahnya aku berbagi makanan dengan kelelawar.

Kelelawar-kelelawar memang selalu beraksi malam-malam. Aku sama sekali belum pernah tahu rupa kelelawar di rumahku. Satu-satunya yang aku mengerti adalah, buah-buahan yang ranum tergeletak di tanah pagi hari. Tidak ada satu pun dari binatang-binatang itu yang sudi berumah di salah satu ranting pohonku.

Aku ingat, di rumah belajar kearifan lingkungan, Wana Patria Blitar, tidak jarang, aku mendapati kelelawar sedang tidur nyenyak di ranting pohon.

Oh ya, kelelawar sering terlupakan sisi baiknya bagi manusia. Hampir setiap malam binatang ini mencari buah-buahan untuk makanannya lantas menyebarkan biji-biji buah tersebut ke berbagai wilayah yang jaraknya bisa berkilo-kilo meter. Ya, kelelawar adalah penyerbuk yang baik dari berbagai tanaman.

Tidak hanya itu manfaat kelelawar. Kotoran kelelawar pun merupakan pupuk yang sangat baik. Menurut literatur, kelelawar yang hidup di gua-gua, misalnya, kotorannya sangat bermanfaat untuk pupuk yang ramah lingkungan. Pupuk kelelawar disebut pula pupuk guano mengandung nitrogen, fosfor dan potassium sangat bagus untuk tanaman. (Alpha Savitri)

Air Cucian Beras dan Daging


Pohon jambu dan mangga di rumah berbuah sangat lebat pada awal-awal musim penghujan seperti sekarang. Untuk jambu saja, kami sudah memanennya dalam ember-ember untuk kemudian kami konsumsi, kami bagikan kepada kawan-kawan dan para tetangga. Kata mereka jambu kami manis dan segar. Demikian pula pohon mangga gadung. Lebat dan manis sekali buahnya. Sebetulnya kami masih punya satu pohon buah lagi yakni belimbing. Namun kali ini buahnya tidak sememuaskan yang lalu-lalu. Sebabnya adalah benalu-benalu yang sudah beranak-pinak dan baru saja kami ketahui. Saat ini kami sedang memulihkannya.

Para tetangga seringkali bertanya padaku, apa resepnya sehingga 3 pohon buah-buahan di rumahku selalu berbuah sangat lebat. Jawabanku sederhana saja, yakni pemupukan secara rutin.

Di rumah, kami tidak memakai pupuk sintetis atau kimia untuk menyuburkan tanaman. Pupuk sintetis pada mulanya memang bisa membuat buah tumbuh dengan baik. Namun dalam jangka panjang sangat tidak baik untuk tanah. Nantinya tanah jadi keras. Sari-sari makanan yang diperlukan tumbuhan akan hilang.

Pupuk yang kupakai adalah kompos yang berasal dari rumah sendiri, hasil panenan dari keranjang pengomposan takakura yang kumiliki. Namun mungkin tidak saja karena kompos. Pohon-pohonku kuberi vitamin juga secara rutin berupa air cucian beras dan sisa cucian daging. Setiap hari itu tidak kubuang, melainkan kutampung dalam wadah, lantas sore hari kusiramkan ke pohon-pohon tersebut. Resep itu kuperoleh dari ibuku. Aku ingat, sewaktu kecil dulu kami sekeluarga punya tanaman-tanaman yang sangat subur. Padahal ibuku jarang memberi pupuk kecuali air cucian beras dan sisa cucian daging. Kini resep tersebut juga kupakai untuk pohon buah-buahan di rumah. Ternyata berhasil juga.(Alpha Savitri)