Tuesday, October 11, 2011

Bahaya di Balik Buah Impor

foto: antara
Buah impor semakin membanjiri pasaran negeri kita. Durian Bangkok, Apel Fuji dan Australia, Jeruk Lokam, wah, pokoknya banyak benar. Tidak saja supermarket atau hipermarket saja yang menjualnya, namun juga pasar-pasar tradisional, pedagang buah pinggir jalan, sampai pedagang asongan. Tentu saja ini sesuai hukum permintaan dan penawaran. Kalau ada permintaan, pasti ada penawaran.

Masyarakat negeri ini, seringkali lebih suka yang visual daripada yang esensial. Buah impor jelas saja secara visual lebih baik daripada buah lokal. Secara rasa pun, durian Bangkok, misalnya, lebih ampuh ketimbang durian lokal. Tapi dari segi kesehatan dan kemanfaatannya bagi tubuh, benarkah buah impor lebih baik? Benarkah tidak berbahaya dikonsumsi?

Meski bukan peneliti dan tidak aksesibel terhadap data-data Badan Penelitian Obat dan Makanan negeri ini, tapi kita harusnya bertanya-tanya, kenapa jeruk impor yang sudah berbulan-bulan usianya masih tetap segar? Kenapa tampilannya halus dan sungguh menarik secara visual? Sedangkan buah-buahan lokal negeri ini kelihatan ndeso dan tidak menarik kalau dipajang di dekat buah-buahan impor itu. Tapi coba lihat, buah-buahan itu busuk secara alami. Tidak sampai berbulan-bulan.

Banyak kabar yang menyebutkan, buah-buahan impor bisa mengkilap karena ditambahi zat lilin. Buah-buahan impor juga memiliki kandungan-kandungan zat kimia berbahaya. Dan buah-buahan impor yang secara visual bagus dan secara rasa lebih sip itu adalah tanaman transgenik. Tanaman transgenik diduga berbahaya bagi tubuh. Silakan browsing sendiri di internet soal ini.  Di antaranya di sini.

Buat Anda yang menyukai buah-buahan impor, ini saya sempat browsing di internet tentang kandungan berbahayanya. Penelitian ini cukuplah untuk membuktikan bahwa buah-buahan yang masuk di Indonesia sangat berisiko bagi kesehatan. (Herannya, kok bisa masuk ya ke Indonesia?). Untuk kawan-kawan yang memiliki penelitian seperti ini, yuk kita sharingkan. 

Setelah baca hasil-hasil penelitian seperti ini, harusnya kita sama sekali tidak berminat membeli atau mengonsumsi buah impor. Dan kita pun harusnya mencoba mempersuasi lingkungan sekitar kita untuk tidak mengonsumsi buah impor.

Ayo kita dukung gerakan makan buah lokal yang alami dan menyehatkan tubuh. Dan sekali lagi, jangan terjebak yang visual. Kembalilah pada yang esensial.

Monday, October 10, 2011

Blonceng Liar di Kantor Milik Banyak Orang


Siapa yang tahu nama Latinnya Blonceng alias bligo alias labu air alias buah kundur? Saya biasa searching di google untuk masalah-masalah yang tidak saya ketahui. Namun untuk yang satu ini, saya belum menemukan.

Saya tidak tahu apakah Anda tahu apa itu blonceng atau tidak? Blonceng itu labu, kulitnya berwarna hijau keras, dan berbentuk lonjong. Di pasar dekat rumah saya di Sidoarjo, sayur (atau buah?) ini mudah ditemukan. Harganya murah. Seperti harga pepaya. Saya biasa menambahkannya di rawon bikinan saya. Menurut saya, rawon yang ditambahi blonceng, jadi semakin sedap. Di samping tentu saja lebih sehat. Atau, saya juga biasa menumisnya, ditambahi daging.

Blonceng yang saya sukai ini ternyata tumbuh di dekat ruangan tempat kerja saya di kantor. Sebelumnya saya belum pernah tahu, seperti apa rupa tumbuhan blonceng, meskipun suka mengonsumsinya. Tumbuhan ini menjalar subur di pagar kawat, di dekat bak penampungan air. Semula saya mengira, tumbuhan ini hanyalah semak-semak liar, jadi saya tak memperhatikannya lebih jauh. Namun, pada suatu pagi mata saya melihat melihat buah-buahnya menjadi besar, serupa dengan sayur (buah) yang biasa saya beli di pasar. Saya segera mengamati dan langsunng tanya salah satu staf lapangan di kantor saya, Pak Suroso, apakah tumbuhan itu blonceng? Pak Suroso langsung mengiyakan dan menceritakan segala hal yang berkaitan dengan tanaman yang saya sebut itu.

Menurut Pak Suroso, tanaman itu tumbuh dengan sendirinya sehingga kepemilikannya jadi kolektif. Buah blonceng itu ditunggu-tunggu kematangannya oleh beberapa kawan dan mereka bergantian memanen. "Meskipun harga di pasar murah, tapi kalau memanen sendiri kepuasannya lebih besar," ujar Pak Suroso.

Blonceng  liar yang buahnya lumayan lebat itu, kini oleh teman-teman juga dikembangbiakkan di tempat-tempat lain di sekitar kantor. 


Menurut pak Suroso yang asal Malang Selatan dan suka bercocok tanam ini, Surabaya potensial untuk ditanami Blonceng karna tumbuhan menjalar ini bisa tumbuh di udara kering maupun basah. Tapi toh orang-orang kota yang punya halaman (taman) luas sekalipun, jarang mau memanfaatkan tanahnya untuk menanam sayuran di rumah, apalagi blonceng. "Mana ada orang kota mau menanam sayuran di halaman rumah? Lombok pun jarang ada yang menanam. Mungkin orang-orang kota merasa bisa membeli sehingga kalau bisa beli, kenapa susah-susah nanam?" kata Pak Suroso.  

Memang benar kata-kata Pak Suroso yang bersahaja ini. Jarang ada orang kota yang mau memanfaatkan lahannya untuk bertanam sayuran. Apa pun itu, apalagi blonceng. Orang baru ramai-ramai nanam cabe saat harga cabe naik. Dan saat harga cabe turun lagi, tanaman ini hilang dari halaman rumah.

Padahal menanam sayuran di halaman rumah banyak manfaatnya. Dari segi kesehatan, jelas kita ingin mengonsumsi makanan sehat. Karena kita tahu bahaya zat kimia sintetes berbahaya, jelas sayuran yang kita tanam bebas dari bahan-bahan tersebut.

Sayuran di pasar tradisional, apalagi di supermarket ataupun hypermarket, tak ada jaminan  bebas dari bahan kimia berbahaya itu, bukan?

Nah, ayo mulai kita tanam sayur di rumah sendiri. Bisa di dalam pot kok, nanamnya.