Sunday, April 04, 2010

Multicultural Green Camp, Ranu Klakah dan Laskar Hijau, Sebuah Refleksi


Pergi dan temui masyarakatmu. Hidup dan tinggallah bersama mereka. Cintai dan berkaryalah bersama. Mulailah dari apa yang mereka miliki dan dari apa yang ada. Buat rencana lalu bangunlah rencana itu dari apa yang mereka ketahui. Sampai akhirnya, ketika pekerjaan usai, mereka akan berkata: “KAMILAH YANG TELAH MENGERJAKANNYA” (lao Tze)

**

Matahari masih bersembunyi di balik Gunung Lemongan, Lumajang. Tapi sinar kuningnya telah muncul sebersit. Di Danau (Ranu) Klakah yang ada di bawah gunung itu, air nyaris tanpa gejolak. Rakit-rakit beserta pelayarnya yang menjala tampak seperti noktah di tengah danau.

Di tepian danau, seorang bapak mengumpulkan udang-udang yang terperangkap di plastik-plastik bekas botol air mineral dalam kemasan yang dibelah dan dijajar sedemikian rupa. Anak-anak yang mandi di tepian danau menjerit-jerit riang. Tak lama kemudian matahari muncul. Beberapa bagian danau yang terkena sinarnya berwarna keperakan. Burung-burung aneka rupa terbang di atasku.

**

Aku beruntung bisa hadir dalam Multicultural Green Camp 2010 yang dimotori kawan-kawan dari Forum NGO di Jawa Timur, Pusham Universitas Airlangga, bekerjasama dengan Laskar Hijau, 20-21 Maret 2010. Kemasan acara dan sambutan hangat tuan rumah demikian inspiratif. Namun di atas semua itu, sesungguhnya kami, partisipan juga mendapat pengalaman berharga. Yakni sebuah ironi. Kendati musim hujan tiba, air adalah barang mewah di sekitar danau yang indah dan seakan memiliki danau kecukupan sumberdaya air ini. Bahkan tuan rumah harus bersusah payah mendatangkan air dari lokasi lain untuk acara Multicultural Green Camp 2010 ini.

Aku jadi ingat buku-buku petunjuk wisata, majalah dan brosur wisata yang selalu dipenuhi foto-fotonya menawan dan eksotik. Aku juga ingat lebih dari satu kali melihat foto-foto dan membaca artikel tentang Ranu Klakah di sebuah situs di internet. Foto dan artikel dikemas seolah dengan tidak ada cacat dan cela. Bagai seseorang yang didandani dengan make-up untuk menonjolkan kecantikannya dan menyembunyikan kekurangannya.

Nggak papa sih, namanya saja jualan tempat, pastinya yang ditonjolkan adalah yang bermutu. Tapi kadang aku merasa, ada buku-buku atau informasi wisata, nggombalnya sering kebablasan.

Maka aku selalu skeptis, benarkah info-info yang kuterima mencerminkan hal sesungguhnya? Dan sepanjang pengalamanku, meskipun sebuah tempat sudah diulas banyak oleh media massa dan brosur, aku sering dihadapkan pada area gelap yang harus kutelusuri lebih jauh untuk mendapatkan keutuhan informasi.

Seperti Ranu Klakah dan Gunung Lemongan ini. Tak hanya memiliki sisi baik, yakni pemandangan, sejarah, dan, modal sosial, namun juga itu tadi, yang menurutku mendasar, yakni kelangkaan air yang harus dirunut sumbernya.

*

Reformasi negeri ini tahun 1990-an, di samping membawa berkah juga menyisakan masalah. Salah satunya adalah penebangan liar besar-besaran yang diskenariokan penguasa lama negeri ini yang tak ingin kekuasaannya diambil alih pemimpin baru.

Huru-hara bikinan terjadi di mana-mana. Semua hutan di negeri ini digunduli termasuk hutan Gunung Lemongan seluas 6000 hektar yang habis dalam kurun tahun 1998 – 2002.

Dulu, 30 danau berhasil dihidupi Gunung Lemongan. Kini tinggal sembilan danau yang berair. Dulu, ada 32 mata air di sekitar Ranu Klakah, kini tinggal empat. yang tersisa. Padahal 47 persen warga Ranu Klakah berprofesi sebagai petani. Sawah-sawah yang harus diairi sebanyak 500 ha. Petani mana yang mampu bertahan dalam situasi kelangkaan air? Bayangkan kalau semua petani kita mengalami hal yang sama. Akan seperti apa dunia pertanian di negeri ini. Pastilah semakin terpuruk. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, tangganya dari baja pula.

Aku jadi ingat sebuah tempat ****o*i*o, kira-kira 30 km jauhnya dari Ranu Klakah. Kegiatan yang paling kusukai bila aku ke tempat ini adalah mandi dan berenang-renang di sumber-sumber air di tempat yang letaknya tersembunyi di dekat kebun-kebun salak penduduk. Di tempat yang tinggi ini sumberdaya air demikian melimpah. Sumber-sumber air dialirkan ke rumah-rumah warga lewat pipa paralon. Saban bulan warga bekerja bakti melihat kebocoran-kebocoran. Saban bulan warga membayar iuran. Air dikelola oleh warga dengan damai. Mudah-mudahan lokasi yang kaya sumber air ini tak diambil pemodal air minum dalam kemasan, sebagaimana di lokasi-lokasi yang kaya sumber air. (makanya dalam tulisan ini, wilayah ini kupassword. He he). Sungguh tidak menyenangkan bila suatu saat aku mendengar warga harus membeli air di wilayahnya sendiri yang kaya air.

****o*i*o dan Ranu Klakah. Dua lokasi di kabupaten yang sama, yakni Lumajang namun memiliki ketimpangan sumberdaya air.

Hebatnya, warga Ranu Klakah bisa berdamai dengan kondisi kelangkaan air. Beberapa pemancing, warga lokal yang kutanya di danau menganggap kelangkaan air sebagai situasi yang memang harus diterima sedangkan beberapa menganggap ini harus dipecahkan.

*

Dua hari di Ranu Klakah sangat menginspirasi karena aku melihat aksi-aksi nyata warga setempat yang dilakukan bersama pegiat lingkungan Laskar Hijau untuk mengembalikan kejayaan Gunung Lemongan.

Laskar hijau bukanlah organisasi yang datang untuk menawarkan program-program dengan cara pandang Laskar Hijau yang berusaha disuntikkan ke warga. Namun Laskar hijau kulihat hidup dan tinggal bersama masyarakat setempat, berkarya bersama mereka, membikin rencana bersama dari apa yang diketahui warga.
Organisasi kerelawanan untuk konservasi ini dibentuk tahun 2008. Keanggotaan bersifat sukarela. Organisasi yang tidak berbadan hukum ini lebih menekankan partisipasi bersama, juga dalam hal pendanaan konservasi. Sudah setahun ini, masyarakat setempat bersama Laskar Hijau telah menghijaukan 300 ha bukit Gunung Lemongan.

”Ini berarti, untuk mengembalikan ekosistem Gunung Lemongan yang 6000 ha, kami perlu waktu 20 tahun. Kami akan terus fokus untuk membantu penghijauan Gunung Lemongan selama 20 tahun,” kata A’ak Abdullah Al Kudus, relawan Laskar Hijau.

Gunung Lemongan disentuh dengan tetap memperhatikan kearifan lokal melalui konsep hutan setaman. Bibit pohon yang dikembangkan adalah buah-buahan lokal, tanaman konservasi, tanaman langka, dan aneka jenis bambu, khususnya bambu petung (Dendrocalamus Asper), Jajang Hitam (Gigantochloa Atroviolacea Wijaya), dan Bambu Andong Besar (Gidantochloa Pseudoarundinacae). Siswa-siswi SD setempat pun diajak bekerjasama untuk membibit untuk membuka kesadaran pentingnya pemeliharaan alam ini.

Kenapa dipilih buah-buahan untuk ditanam di hutan-hutan Gunung Lemongan yang gundul? ”Ini semua untuk masyarakat, agar mereka tak lagi menebangi kayu untuk memenuhi kebutuhan. Mereka cukup memetik buah yang ada di hutan Gunung Lemongan,” kata A’ak.

Darimana bibit tanaman buah berasal? Ternyata dari biji-bijian yang diupayakan warga dan dari biji-bijian yang diambil dari pasar. Warga mengumpulkan biji buah-buahan untuk disumbangkan dalam gerakan penghijauan Biji-biji juga dikumpulkan lewat pengobatan akupuntur gratis. Pasien hanya diminta membayar dengan biji-bijian di sekitar mereka. Jumlahnya terserah. Biji-bijian tersebut dibibit untuk setiap minggu ditanam relawan di bukit-bukit gundul Gunung Lemongan.

Baru setahun melakukan upaya penanaman kawasan lereng Gunung Lamongan, di samping beberapa tanaman sudah berbuah, aneka satwa yang sempat menghilang, terutama burung kini perlahan-lahan kembali. Agar tetap lestari, warga bersama laskar Hijau berharap agar Gunung Lemongan dikukuhkan sebagai kawasan hutan lindung atau taman nasional sesuai undang-undang yang berlaku.

Seruan konservasi dilakukan lewat berbagai cara oleh masyarakat. Antara lain lewat kegiatan rutin Maulid Hijau (Maulid Nabi dan Penghijauan) yang diselenggarakan sejak tahun 2006. Beragam kegiatan lingkungan hidup dan seni budaya maupun bersih desa yang telah turun-temurun, diselenggarakan dalam bulan dilahirkannya Nabi Muhammad SAW. Tahun 2010, Maulid Hijau rencananya diselenggarakan 14-16 Mei 2010.

*

Laskar hijau dan sedikit organisasi kerelawanan lain yang rela memilih jalan sunyi, apalagi yang tegas memilih untuk tidak memiliki badan hukum dan funding (yang seringkali sarat kepentingan) harusnya kita dukung dengan segenap potensi yang kita miliki, karena sungguh berjuang demi hal-hal yang prinsip demi semesta. Bukan demi kepentingan-kepentingan lain.

Kuharap mereka tetap konsisten dengan visi dan misi yang mereka pilih, tetap utuh dengan masyarakatnya bagai sapu lidi, dan semakin matang berefleksi atas roh kekaryaan mereka.

Selamat menebar karya, kawan.

No comments: