Deniek menjelajah berbagai kota di Indonesia untuk berburu pohon-pohon tua usia, macam Pohon Baobab Adansonia Digitata) di Subang, Jawa Barat yang berusia 700-an tahun. Pohon Baobab merupakan pohon Afrika yang berusia 2000 – 5000 tahun. Bibitnya datang bersama saudagar Islam pada abad ke-14. Ada pula pohon Kepuh (Sterculia foetida) tua dan lain-lain.
Sudah lama saya ingin membagikan kesan saya membaca dan melihat photo story ini, namun baru bisa terealisasi saat ini. Saya terkesan tidak hanya oleh foto yang indah-indah, namun juga puisi-puisi yang ada. Puisi-puisi tersebut ditulis, baik oleh seniman, anak jalanan, pengusaha, maupun pejabat negeri ini seperti Menteri M. Nuh, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir semua, tentu saja, bercerita tentang pohon atau pepohonan lewat perspektif dan olah rasa masing-masing. Ini salah satu puisi di situ.
Selembar Daun Kuning
Selembar daun kuning
Rontok di musim kering
Matahari merah melintas
Meninggalkan jejak di punggungnya
Yang letih dan rapuh
Ia lalu mengembara
Disapu angin ke mana suka
Diam dan hanya bisa pasrah
Padahal ia ingin dikubur
Dipeluk hangat jemari tanah
Selembar daun kuning
Yang rontok di musim kering
Ia telah kehilangan pohon silsilah
Tempat dulu melantunkan doa
Dengan hijau hatinya. (HUSNUL KHULUQI 2006)
Memang benar. Bahkan, daun pun bisa bersedih manakala kering, kehilangan “pohon silsilah” dan tidak lekas jatuh ke bumi untuk berkontribusi bagi perawatan kehidupan selanjutnya. Bagaimana dengan kita, ya?
Pohon hadir di bumi, sesungguhnya tidak sekadar menjadi penyalur oksigen. Ia juga busa menjadi penutur sejati kisah-kisah kearifan. Pandang ia. Resapi kediamannya. Dan kita pun bisa memungut jutaan makna.
Roy Genggam yang menulis puisi bahwa beberapa waktu mendatang, bahkan bukan untuk air saja kita harus mengeluarkan uang, oksigen pun dalam kemasan. Bumi kita yang subur makmur di mana harum aroma surga begitu dekat dengan napas, tinggal kenangan.
Eka Budianta menulis tentang Bonsai:
Di Negeri Bonsai
(untuk Bung Hatta)
Di negeri bonsai,
Pohon yang terlalu subur
Harus ditebang.
Dahan yang terlalu panjang
Harus dipotong.
Dan akar yang terlalu kuat
Harus dibabat.
Di negeri bonsai
Semua pertumbuhan
Harus dikendalikan.
Umur harus diulur
Bukan dengan menjadi perkasa
Tapi semakin kerdil
Semakin berhasil.
Di negeri bonsai,
Engkau membela cemara
Yang tumbuh ke langit
Dan menggapai matahari,
Menjadi meja menjadi almari
Menjadi monument
Di tengah hutan
Berjuta pohon-pohon mini…
Indonesia!
Ini ada puisi lain yang berjudul AKAR oleh Iwan Abdulrachman. Belakangan, puisi ini sudah ditulis syair lagunya.
Orang bersenandung tentang bunga yang harum
Atau cerita betapa indah warnanya
Ataupun tentang daun-daun berjatuhan
Yang bahkan bisa membuat gadis menangis
Namun saya akan cerita tentang akar…
Akar pohon-pohon yang banyak dilupakan.
Diam-diam masuk merunduk ke dalam tanah
Tersembunyi dari cerita atau lagu…
Jangankan lagu, bahkan tiada orang peduli
Diam-diam semakin merunduk ke dalam tanah
Akar… akar…
Bahkan tiada orang peduli…
Akar… akar…
Akar…
Ya, sangat banyak memang, yang bisa kita pelajari dari pohon. Apa pun jenisnya. Dari akar-akar yang perlahan-lahan menembus bumi. Dari batang, ranting, dan daun yang tergantung selaras, dari pucuk-pucuk pohon yang menengadah ke langit. Dari bunga yang disuka banyak orang dan dari buah-buah pepohonan. Semua punya makna. (Alpha Savitri)
No comments:
Post a Comment