Saturday, October 18, 2008

The Poetry of Nature

Belajar dari PohonPas mengantar Mbak Hilda dari Ashoka ke Yayasan Semen Gresik, beberapa waktu lalu, aku dan Mbak Hilda mendapat bingkisan beberapa buku. Di antaranya adalah The Poetry of Nature, terbitan PT Semen Gresik tahun 2007. Buku ini merupakan sebuah photo story karya seorang seniman foto asal Jembrana, Bali Deniek G Sukarya. Sebanyak lebih dari 125 foto pohon ataupun pepohonan semuanya disajikan secara hitam putih.

Deniek menjelajah berbagai kota di Indonesia untuk berburu pohon-pohon tua usia, macam Pohon Baobab Adansonia Digitata) di Subang, Jawa Barat yang berusia 700-an tahun. Pohon Baobab merupakan pohon Afrika yang berusia 2000 – 5000 tahun. Bibitnya datang bersama saudagar Islam pada abad ke-14. Ada pula pohon Kepuh (Sterculia foetida) tua dan lain-lain.

Sudah lama saya ingin membagikan kesan saya membaca dan melihat photo story ini, namun baru bisa terealisasi saat ini. Saya terkesan tidak hanya oleh foto yang indah-indah, namun juga puisi-puisi yang ada. Puisi-puisi tersebut ditulis, baik oleh seniman, anak jalanan, pengusaha, maupun pejabat negeri ini seperti Menteri M. Nuh, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir semua, tentu saja, bercerita tentang pohon atau pepohonan lewat perspektif dan olah rasa masing-masing. Ini salah satu puisi di situ.


Selembar Daun Kuning

Selembar daun kuning

Rontok di musim kering

Matahari merah melintas

Meninggalkan jejak di punggungnya

Yang letih dan rapuh


Ia lalu mengembara

Disapu angin ke mana suka

Diam dan hanya bisa pasrah

Padahal ia ingin dikubur

Dipeluk hangat jemari tanah


Selembar daun kuning

Yang rontok di musim kering

Ia telah kehilangan pohon silsilah

Tempat dulu melantunkan doa

Dengan hijau hatinya. (HUSNUL KHULUQI 2006)


Memang benar. Bahkan, daun pun bisa bersedih manakala kering, kehilangan “pohon silsilah” dan tidak lekas jatuh ke bumi untuk berkontribusi bagi perawatan kehidupan selanjutnya. Bagaimana dengan kita, ya?

Pohon hadir di bumi, sesungguhnya tidak sekadar menjadi penyalur oksigen. Ia juga busa menjadi penutur sejati kisah-kisah kearifan. Pandang ia. Resapi kediamannya. Dan kita pun bisa memungut jutaan makna.

Roy Genggam yang menulis puisi bahwa beberapa waktu mendatang, bahkan bukan untuk air saja kita harus mengeluarkan uang, oksigen pun dalam kemasan. Bumi kita yang subur makmur di mana harum aroma surga begitu dekat dengan napas, tinggal kenangan.


Eka Budianta menulis tentang Bonsai:

Di Negeri Bonsai

(untuk Bung Hatta)


Di negeri bonsai,

Pohon yang terlalu subur

Harus ditebang.

Dahan yang terlalu panjang

Harus dipotong.

Dan akar yang terlalu kuat

Harus dibabat.


Di negeri bonsai

Semua pertumbuhan

Harus dikendalikan.

Umur harus diulur

Bukan dengan menjadi perkasa

Tapi semakin kerdil

Semakin berhasil.


Di negeri bonsai,

Engkau membela cemara

Yang tumbuh ke langit

Dan menggapai matahari,

Menjadi meja menjadi almari

Menjadi monument

Di tengah hutan

Berjuta pohon-pohon mini…

Indonesia!


Ini ada puisi lain yang berjudul AKAR oleh Iwan Abdulrachman. Belakangan, puisi ini sudah ditulis syair lagunya.

Orang bersenandung tentang bunga yang harum

Atau cerita betapa indah warnanya

Ataupun tentang daun-daun berjatuhan

Yang bahkan bisa membuat gadis menangis

Namun saya akan cerita tentang akar…

Akar pohon-pohon yang banyak dilupakan.

Diam-diam masuk merunduk ke dalam tanah

Tersembunyi dari cerita atau lagu…

Jangankan lagu, bahkan tiada orang peduli

Diam-diam semakin merunduk ke dalam tanah

Akar… akar…

Bahkan tiada orang peduli…

Akar… akar…

Akar…

Ya, sangat banyak memang, yang bisa kita pelajari dari pohon. Apa pun jenisnya. Dari akar-akar yang perlahan-lahan menembus bumi. Dari batang, ranting, dan daun yang tergantung selaras, dari pucuk-pucuk pohon yang menengadah ke langit. Dari bunga yang disuka banyak orang dan dari buah-buah pepohonan. Semua punya makna. (Alpha Savitri)

No comments: