Hasil karya Alfan (Gambar Kiri). Alfan (berbaju biru) dan kawan-kawan bersenang-senang di sekitar rumah (Gambar Kanan).
Ia Alfan. Usianya tujuh tahun. Kalau sekolah, pasti sudah kelas dua SD. Namun bocah berkulit putih ini tidak bisa mengenyam pendidikan formal sebagaimana anak seusianya. Ia memiliki pendengaran yang menurut ukuran banyak orang disebut tidak “normal” sehingga dianggap tidak pantas sekolah bersama anak-anak seusianya. Bagiku ini potret nyata perilaku diskriminasi atas kaum difabel. Kasus ini tidak sengaja kutemukan di Pasuruan pada saat aku terlibat dalam sebuah riset.
”Saya sudah berusaha untuk menyekolahkan Alfan. Saya datang ke banyak sekolah di sini. Tapi tidak ada yang mau menerima meskipun anak saya cerdas.,” kata Maryati, warga Pasuruan. Alfan yang duduk di sebelahku kini dipangkunya. Maryati pun mengusap dan mencium kepala si buah hati. Matanya berkaca-kaca.
Alfan seperti merasakan kesedihan Maryati. Matanya ikut berkaca-kaca.
Alfan seperti merasakan kesedihan Maryati. Matanya ikut berkaca-kaca.
Ya, Alfan bersedih. Padahal ia tak mendengar kata-kata kami. Ia tuna rungu. Karena tuna rungu, ia pun tidak pernah belajar berbicara. Kata-kata yang keluar tidak punya makna. Tapi, entahlah, mungkin perasaan Alfan sangat tajam sehingga tahu apa yang kami bicarakan.
Anak ini, kata Maryati, nasibnya selalu malang. ”Bahkan sejak dalam kandungan, ia selalu berusaha digugurkan ibunya. Ibunya minum jamu pahit-pahitan. Tidak berhasil, karena kandungannya terus membesar,” kata Maryati.
”Oh, jadi Alfan bukan anak ibu sendiri?” tanyaku.
”Ibu Alfan itu famili saya. Jadi bukan saya yang melahirkannya. Tapi Alfan buah hati saya.”
Maryati melanjutkan,”Saya kasihan nasib janin itu. Karunia Tuhan kok disia-siakan. Padahal alasannya sepele. Ibunya bilang, anaknya sudah dua. Repot kalau melahirkan lagi,” kata Maryati.
Maryati pun meminta si jabang bayi. Sejak dalam kandungan jadi tanggungannya. Padahal Maryati dan suaminya berkekurangan. Tapi mereka rela menanggung anak yang tidak diinginkan orangtuanya itu.
Maryati tidak berpikir, dengan hadirnya Alfan, ia dan Atim, suaminya harus bekerja semakin keras demi kelangsungan hidup bayi itu. Atim kerjanya hanya serabutan. Maryati sendiri juga sebagai pemungut sisa-sisa padi di sawah (ngasah). ”Tuhan maha besar. Kami tak takut miskin.”
Suami istri itu mengasuh bayi yang dinamainya Alfan itu dengan penuh kasih sayang. ”Alfan, saya tidak tahu arti nama itu, tapi nama itu enak didengar. Makanya, kami namai dia begitu,” ujar Maryati.
Kenapa Alfan tidak bisa mendengar, baik Maryati maupun Atim tidak tahu sebab persisnya. Atim memperkirakan, Alfan demikian karena dalam kandungan berusaha digugurkan dengan ramuan yang pahit-pahit.
Namun Maryati tidak sepakat. ”Sebelum usia setahun, responnya terhadap bunyi masih ada. ”Alfan begitu karena disuntik dokter pada usia setahun.Waktu itu ia demam,” ujar Maryati yang kini juga berprofesi sebagai tukang pijat.
Aku tidak tahu siapa yang benar. Tapi yang jelas, pendengaran Alfan memang tidak normal.
Siang itu juga, aku mengetes pendengarannya. Aku sengaja menjatuhkan buku tebal di lantai saat Alfan tidak melihat ke arahku. Ia menoleh ke arah buku yang dijatuhkan. Beberapa kali kuulangi, responnya sama. Aku merasa, Alfan sesungguhnya masih bisa disembuhkan.
”Dokter THT memang bilang, Alfan bisa sembuh. Tapi saya harus membeli alat bantu dengar senilai Rp 4 juta. Dari mana saya mendapatkannya?”
Karena merasa tidak mampu mendapatkan Rp 4 juta, pasangan ini berkonsultasi ke orang-orang pintar. ”Saya sudah ke mana-mana. Setiap Jumat legi, lidahnya juga saya kerok dengan emas seperti saran salah satu orang pintar. Tapi tidak ada hasil,” ujar Maryati Airmatanya hampir berlinang. Sepertinya ia malu kulihat demikian. Ia mengusap matanya dengan tangan.
Kata dokter pula, kemungkinan ada salah satu syaraf Alfan yang tidak normal. Yakni di bagian belakang leher. Saat Alfan tidur, Maryati sering berusaha memijat titik syaraf tersebut. Namun Alfan selalu kaget dan merasa kesakitan Maryati yang tidak tega lantas melepaskan pijatannya.
”Kami ingin anak lekas sembuh, tapi dengan cara apa?” katanya.
Kulit Alfan putih bersih. Rambutnya lurus hitam. Perawakannya sehat. ”Alfan suka minum susu. Biar mahal, saya berusaha agar ia tidak kurang gizi. Siapa tahu kalau gizinya bagus ia bisa mendengar,” kata Maryati.
Alfan dinyatakan lulus dari TK di Malang (sebelum pindah ke Pasuruan dua tahun lalu, Maryati dan keluarganya tinggal di Malang) dua tahun lalu. Menurut Maryati, anaknya bisa mengikuti semua mata pelajaran di TK. Kalau diminta menggambar oleh guru, Alfan selalu menjadi yang tercepat untuk menyelesaikan.
Alfan juga memiliki banyak kawan bermain. Tidak saja saat masih di Malang, namun juga di Sejo. Bukan Alfan yang mendatangi mereka, namun merekalah yang selalu bermain di rumahnya. Alfan seolah mengerti bahasa kawan-kawannya dan kawan-kawan pun memaklumi Alfan yang punya keterbatasan bicara dan mendengar.
Anak ini piawai menggambar. Ia menggambar apa saja. Mobil, rumah, robot, dan lain-lain. Imajinasinya lumayan tinggi. Kawan-kawan sebayanya bahkan banyak yang minta digambarkan sesuatu oleh Alfan. Alfan juga bisa menulis. Tapi membaca ia tidak bisa.
Sang ibu bertindak sebagai guru bagi Alfan. Ia menciptakan gerakan-gerakan yang mudah dipahami anaknya. Setiap malam sang ibu mendongeng. Macam-macam yang didongengkan. Komik-komik juga diceritakan. Alfan, meski tidak mendengar, tapi ibunya yakin, paham akan kisah-kisah itu. ”Karena Alfan itu cerdas. Hanya tidak punya alat bantu dengar,” kata sang ibu.
Kenapa Alfan tidak masuk SLB?
”Anak saya normal. Entah kapan saya bisa membelikan alat bantu dengar, tapi saya pasti bisa. Alfan akan kembali normal,” tegas Maryati. (Alpha Savitri)
No comments:
Post a Comment