Saturday, September 06, 2008

Rp 45 Juta untuk Kampung Zero Waste di Surabaya



Tamu dari Pemda NTT sedang melihat-lihat hasil karya kerajinan dari kemasan-kemasan bekas yang dibuat warga RT 3, RW 14, Rungkut Lor Surabaya





Akhirnya, jadi juga kampung RT 3, RW 14 Rungkut Lor Surabaya memenangi festival kampung bersih, hijau, dan sehat di Surabaya Green and Clean untuk kategori kampung maju. Itu artinya, dari seluruh RT yang masuk dalam kategori kampung maju di Surabaya, tahun ini, RT 3 yang paling unggul. Best of The Best, bagitu tulisan yang tertera di piagam penghargaan dan piala buat mereka. Penyelenggara lomba adalah PT Unilever Tbk didukung Jawa Pos.

Keharuan menyergapku saat beberapa hari lalu mereka, sekampung melakukan kirab piala dan berhenti di kantorku Pusdakota. Sebagian besar peserta kirab adalah para ibu. Tua muda tumplek blek jadi satu. Melampiaskan kebahagiaan lewat menari. Yang tua-tua kulihat lebih hot tariannya. Sepertinya nggak ingat suami, anak, dan cucu. Hmmm, biarlah begitu. Mereka berhak menikmati hasil kekompakan itu. Mereka berhak menikmati kemenangan. Kami sekantor memberi ucapan selamat pada mereka satu per satu. Kami memotret kemenangan mereka.
Kami juga merekamnya untuk jadi film.

Kampung itu, warganya memang luar biasa kompaknya. Mereka terilhami RT sebelah yang sudah memilah dan mengolah sampah sejak tahun 2000. Mereka akhirnya ikut melakukan kerja-kerja di bidang lingkungan. Tahun 2005 baru mulai, hasilnya sudah sedemikian fantastis dalam kurun hanya tiga tahun.

Banyak kampung yang baru berbenah bila ada lomba-lomba kebersihan. Seperti sulapan rasanya. Infrastruktur yang berhubungan dengan kebersihan dan penghijauan tiba-tiba ada pas juri datang. Dan ketika nggak ada lomba, ya kembali ke perilaku asal. Tapi kulihat warga kampung ini tidak seperti itu perilakunya. Ada atau nggak ada lomba mereka tetap melakukan perawatan lingkungan hidup.

Aku ingat, tahun 2004, saat aku masih jadi staf baru di Pusdakota, kampung yang menjadi tetangga kantor Pusdakota ini – penghuninya rata-rata berstrata menengah ke bawah -- kulihat nggak sedap dipandang mata. Rumah-rumah berdempetan. Tempat-tempat kos yang kecil-kecil berserakan. Selokan bau. CD dan BH usang bahkan tak malu-malu ditaruh di bagian depan jemuran di depan rumah. Tanaman pun cuma sebiji dua biji. Alasannya, mereka nggak punya lahan buat menanam. Wong gangnya saja, cuma bisa dilalui motor. Warga kost yang jumlahnya sampai 70 persen dari penduduk kampung menghuni kamar-kamar sempit.

Namun warga kampung mau berbenah. Mereka punya Rencana Strategis (Renstra Kampung), yakni perencanaan kampung untuk jangka panjang. Mereka taat dengan apa yang mereka rencanakan. Bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda dan pemudi, anak-anak, semuanya kompak bergotong royong melipatgandakan modal sosial kampung.

Aku sangat respek pada stamina mereka untuk membuat inovasi buat kampung. Sekarang nggak ada lagi BH dan CD yang nyantol di jemuran depan rumah atau kos-kosan. Kampung sempit itu membenahi tata ruangnya. Mural-mural yang berisi pesan lingkungan selalu hadir di tembok-tembok kosong.

Di bidang penghijauan, kampung ini memiliki jadwal pembibitan kolektif untuk tanaman obat keluarga (toga) dan tanaman hias. Tak heran kampung jadi hijau, semua rumah memiliki puluhan jenis tanaman dalam pot, kini mereka bahkan punya unit usaha kolektif di bidang tanaman dan pupuk. Siapa yang beli? Para pemilik stan bunga di pasar bunga Bratang. Juga, tamu-tamu yang datang ke kampung ini. Ya, banyak sekali tamu yang berkunjung ke kampung ini untuk studi banding. Mereka tak cuma dari Surabaya, namun juga kota-kota lain termasuk mancanegara. Para mitra kantorku Pusdakota, dari mana pun kalau datang ke Pusdakota, juga ingin datang pula ke kampung ini. Dan, rata-rata mereka beli tanaman.

Selain tanaman, para tamu juga seringkali membeli hasil karya daur ulang plastik bekas pakai ibu-ibu. Bisa tas, dompet, taplak dan sebagainya. Sekali waktu ada pula tamu yang berdonasi.

Sejak dua bulan lalu, RT 3 sudah zero waste. Mereka memang tidak biasa melafalkan slogan reduce, reuse, dan recycle karena lidah tak terbiasa berbahasa Inggris. Namun mereka menjalankan prinsip-prinsipnya. Tidak ada lagi sampah yang dibuang, baik di TPS apalagi di TPA. Bagi yang punya keranjang takakura, sampah dapur diolah di keranjang takakura. Untuk yang tidak memiliki keranjang takakura – terutama warga kos-kosan – memilah sampah organik dan anorganik. Semua sampah anorganik dikelola karangtaruna setempat. Sampah organik diolah di Graha Kompos Pusdakota.

Kampung ini memiliki peraturan tak tertulis yang ditaati warga: sampah harus dipilah. Monitoring kader lingkungan atas kesempurnaan hasil pilahan sampah pada warga, berjalan dengan baik. Ember-ember tempat sampah memiliki nomor. Siapa yang tidak sempurna memilah sampah akan ketahuan. Tukang sampah mencatat dan laporannya masuk ketua RT. Bila ada yang bandel tidak memilah meski telah diperingatkan, ia akan sulit mengurus surat-surat. Untunglah nggak sampai ada kasus seperti itu.

Di bidang sanitasi pun warga kampung ini lumayan bagus kerjaannya. Sejak dua tahun lalu, ibu-ibu di kampung ini membuat bakteri cair, mikroorganisme lokal (MOL) dengan bahan-bahan murah dan sederhana. Semua rumah di kampung ini menuangkan bakteri cair tersebut, di tempat cuci piring, WC, wastafel, dan sebagainya sehingga bau nggak enak di tempat-tempat pembuangan air rumah tangga bisa diselesaikan. Got-got pun sekali waktu dituangi bakteri cair mereka.

Kampung ini memiliki model water treatment berupa pengelolaan air sumur yang tercemar (berbau bangir dan berwarna kuning kecoklatan). Sumur dikelola sedemikian rupa dengan bahan-bahan sederhana macam ijuk dan arang sehingga air sumur tersebut jadi ”siap pakai”.

Sementara mereka juga memiliki model water treatment untuk selokan yang berbatasan dengan kampung lain lewat sekat-sekat sederhana dan pemberian bakteri cair.

Ya, kurasa, mereka pantas menjadi juara. Berapa hadiahnya? Rp 45 juta. Bisa dibayangkan, kampung itu memperoleh Rp 45 juta. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, apa yang mereka perbuat dengan uang yang relatif banyak itu, nantinya? Lain orang sudah pasti lain usulannya. Aku berharap mereka bisa memaknai hasil kerja keras mereka secara bijak dan menggunakan dana itu dengan cara bijak pula untuk pengembangan kampung. Ini saatnya, kampung itu diuji lewat hadiah uang yang relatif besar. Semoga kampung itu lulus ujian: Menggunakan secara bijak dana yang diperoleh dan semakin solid. (Alpha Savitri)

1 comment:

sarioktafiana said...

wah kampung makin hebat niH! salut tuk perjuangan semua nih....mbak guru yang kuceritakan di blog-ku pak wondo ato soewondo temennya mas marlin....salamku tuk semua mbak!