selama manusia tidak rakus.
(Mahatma Gandhi)
Mata air dewa-dewi. Itu sebutanku. Sumber itu letaknya tersembunyi, di sebuah wilayah di Lumajang, di kaki Gunung Semeru. Untuk sampai ke tempat yang memiliki beragam rupa air terjun menawan tersebut, aku mesti menuruni jalan setapak, melewati deretan kebun salak yang sangat rimbun. Air di situ melimpah, menyegarkan, dan bisa diminum langsung. Kalau berenang di kolam-kolam alami di situ, badan ini jadi sangat bugar. Ikan-ikan, udang, dan spesies air lainnya masih sangat melimpah. Serangga-serangga dan tanaman di sekitarnya, terutama pakis sangat beraneka.
Aku mengenal sumber mata air itu dari seorang kawan mainku, Ratih Anggrahesti yang memiliki rumah di wilayah itu. Sejak kenal pertama beberapa waktu lalu, aku pasti menyempatkan diri ke sana, beberapa bulan sekali. Sehari dua hari cuti hanya untuk mandi, berenang, minum, dan meditasi, pikiran ini jernih kembali. Kalau nggak ke sana agak lama, rasanya mata air itu memanggil-manggilku. Sudah terlanjur cinta sih. Di sini, aku juga menyertakan fotoku pas berenang. Dipotret Ratih pake kamera yang ada di HP.
Selalu, Tak ada yang menggangguku saat berenang dan mandi. Tak ada yang memelototi tubuhku. Orang yang lewat pastilah penduduk setempat dan mereka satu dua saja. Itu pun kalau pagi sekali. Bahkan kini mereka mengenalku. Bila aku turun ke mata air agak siang sedikit, sekitar pukul 7.30, misalnya, tidak ada seorang pun di situ.
Keluarga Ratih dan para tetangganya beruntung memiliki kekayaan alam kolektif yang melimpah. Tanah subur, hewan-hewan liar termasuk kera, aneka spesies tanaman, juga sumber air yang melimpah. Ini luar biasa dan warga setempat mestinya bisa menghargai dan melakukan konservasi atas potensi yang luar biasa ini demi kemaslahatan mereka bersama.
Saat berenang-renang di kolam-kolam alami tersebut, saat berada di bawah air terjun kecil-kecil, saat memandikan kepalaku di pancuran di atasku, aku bertanya-tanya, apakah sepuluh, dua puluh, atau empat puluh tahun ke depan mata air ini masih alami? Apakah penduduk setempat masih menjadi tuan dan nyonya atas mata airnya sendiri? Dalam hati aku diliputi kekhawatiran, mata air ini akan jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha air minum. Jangan-jangan mereka nanti harus bayar ke pengusaha air, bahkan untuk air minum yang diambil dari desa mereka ini.
Ya, sumber-sumber air di negeri ini dari tahun ke tahun memang terus menyusut dan kotor kena limbah. Tak cuma itu, warga di sekitar sumber air seringkali telah kehilangan hak kolektif untuk mengelolanya.
Wilayah ini masih tersembunyi dan belum disentuh iklim pariwisata sekalipun potensi untuk ini sangat besar. Namun aku bisa memastikan, tak lama lagi banyak orang terkesan dengan wilayah yang indah dengan penduduk ramah dan memiliki beraneka budaya dan agama ini. Sebagaimana aku yang sudah jatuh cinta sejak pandangan pertama. Dalam hati aku berkata, kalau nantinya iklim pariwisata menghampiri tempat ini, semoga pariwisatanya bersifat budaya dan spiritual. Sehingga, sumber alam dan budaya yang melimpah di wilayah ini tetap terjaga utuh. Dan semua mata air di situ pun akan selamat.
Kini aku mulai ngompori Ratih untuk lebih dalam berpikir tentang desanya, kendati ia sehari-hari hidup di Surabaya. Dari mata air dewa dewi itu Ratih dan moyangnya berasal.
”Kamu harus bangga dengan desamu yang punya mata air dewa-dewi. Jangan lupakan sejarahmu, Tih. ,” ujarku terus-menerus. Sampai sekarang aku terus ngompori agar ia beraksi demi desanya. (Alpha Savitri)
Mata air dewa-dewi. Itu sebutanku. Sumber itu letaknya tersembunyi, di sebuah wilayah di Lumajang, di kaki Gunung Semeru. Untuk sampai ke tempat yang memiliki beragam rupa air terjun menawan tersebut, aku mesti menuruni jalan setapak, melewati deretan kebun salak yang sangat rimbun. Air di situ melimpah, menyegarkan, dan bisa diminum langsung. Kalau berenang di kolam-kolam alami di situ, badan ini jadi sangat bugar. Ikan-ikan, udang, dan spesies air lainnya masih sangat melimpah. Serangga-serangga dan tanaman di sekitarnya, terutama pakis sangat beraneka.
Aku mengenal sumber mata air itu dari seorang kawan mainku, Ratih Anggrahesti yang memiliki rumah di wilayah itu. Sejak kenal pertama beberapa waktu lalu, aku pasti menyempatkan diri ke sana, beberapa bulan sekali. Sehari dua hari cuti hanya untuk mandi, berenang, minum, dan meditasi, pikiran ini jernih kembali. Kalau nggak ke sana agak lama, rasanya mata air itu memanggil-manggilku. Sudah terlanjur cinta sih. Di sini, aku juga menyertakan fotoku pas berenang. Dipotret Ratih pake kamera yang ada di HP.
Selalu, Tak ada yang menggangguku saat berenang dan mandi. Tak ada yang memelototi tubuhku. Orang yang lewat pastilah penduduk setempat dan mereka satu dua saja. Itu pun kalau pagi sekali. Bahkan kini mereka mengenalku. Bila aku turun ke mata air agak siang sedikit, sekitar pukul 7.30, misalnya, tidak ada seorang pun di situ.
Keluarga Ratih dan para tetangganya beruntung memiliki kekayaan alam kolektif yang melimpah. Tanah subur, hewan-hewan liar termasuk kera, aneka spesies tanaman, juga sumber air yang melimpah. Ini luar biasa dan warga setempat mestinya bisa menghargai dan melakukan konservasi atas potensi yang luar biasa ini demi kemaslahatan mereka bersama.
Saat berenang-renang di kolam-kolam alami tersebut, saat berada di bawah air terjun kecil-kecil, saat memandikan kepalaku di pancuran di atasku, aku bertanya-tanya, apakah sepuluh, dua puluh, atau empat puluh tahun ke depan mata air ini masih alami? Apakah penduduk setempat masih menjadi tuan dan nyonya atas mata airnya sendiri? Dalam hati aku diliputi kekhawatiran, mata air ini akan jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha air minum. Jangan-jangan mereka nanti harus bayar ke pengusaha air, bahkan untuk air minum yang diambil dari desa mereka ini.
Ya, sumber-sumber air di negeri ini dari tahun ke tahun memang terus menyusut dan kotor kena limbah. Tak cuma itu, warga di sekitar sumber air seringkali telah kehilangan hak kolektif untuk mengelolanya.
Wilayah ini masih tersembunyi dan belum disentuh iklim pariwisata sekalipun potensi untuk ini sangat besar. Namun aku bisa memastikan, tak lama lagi banyak orang terkesan dengan wilayah yang indah dengan penduduk ramah dan memiliki beraneka budaya dan agama ini. Sebagaimana aku yang sudah jatuh cinta sejak pandangan pertama. Dalam hati aku berkata, kalau nantinya iklim pariwisata menghampiri tempat ini, semoga pariwisatanya bersifat budaya dan spiritual. Sehingga, sumber alam dan budaya yang melimpah di wilayah ini tetap terjaga utuh. Dan semua mata air di situ pun akan selamat.
Kini aku mulai ngompori Ratih untuk lebih dalam berpikir tentang desanya, kendati ia sehari-hari hidup di Surabaya. Dari mata air dewa dewi itu Ratih dan moyangnya berasal.
”Kamu harus bangga dengan desamu yang punya mata air dewa-dewi. Jangan lupakan sejarahmu, Tih. ,” ujarku terus-menerus. Sampai sekarang aku terus ngompori agar ia beraksi demi desanya. (Alpha Savitri)
1 comment:
mbak aq juga mau mandi disitu........ajak-ajak mbak klo pergi lagi!
Post a Comment