Monday, September 01, 2008

Selamat Siang Pak Tani

Meskipun belum sebulan menanam padi, baik di pot maupun di sepetak kecil tanah di kebun kantorku Pusdakota, namun aku sudah khawatir tentang tikus atau burung yang nantinya bisa saja berebut untuk memakan biji-biji padi itu (bila padiku tumbuh bagus, sih). Soalnya, kala pagi, begitu banyak burung yang mampir di kebun Pusdakota yang menyejukkan untuk cari makan. Tikus yang besar-besar pun tak jarang kulihat di lahan (termasuk ular).

Tugasku banyak demi menyelamatkan padi. Misalnya, membuat barikade agar selamat dari dua binatang itu. Tapi itu nanti saja karena untuk itu aku memerlukan bahan dan alat yang kini belum kupunyai. Yang bisa kukerjakan duluan aku kerjakan, yakni membuat orang-orangan sawah.

Aku pun membuat orang-orangan sawah apa adanya dari barang-barang bekas pakai yang ada di kantorku, yakni plastik-plastik, bambu-bambu, jaket usang, tali rafia bekas pakai, kawat yang sudah teyengan. Oh ya, aku juga melengkapinya dengan topi bundar yang biasa dipakai pak tani kalau lagi ke swah. Pokoknya semuanya dari barang bekas.

Aku membuatnya dalam waktu cukup singkat. Cuma setengah jam. Wah, hebat juga, aku, pekikku dalam hati, agak narsis. Orang-orangan pun kupasang di petakku dan kuikat dengan kawat di tiang agar tidak terbawa angin. Kawanku, Mas Ade yang melihat pak tani jadi-jadian tersebut langsung nyeletuk,” Wah, Mbak, burung di kota itu IQ-nya tinggi. Indeks Prestasinya 3,94. Mereka pasti ketawa terkekeh-kekeh liat orang-oranganmu,” ujarnya. Aku ikut tertawa dan berpikir, jangan-jangan iya. IP mereka 3,94. Iya, ya, benar juga. Tapi nggak apa-apalah. Namanya juga usaha.
Mas Koko, kawanku yang lain, jauh lebih dahsyat komentarnya. "Mbak Vitri nggak usah kerja di kantor. Kerja saja di dekat petak padi ini. Nanti saya sediakan meja untuk naruh laptop. Jadi kalau ada burung, langsung bisa diusir," katanya. "Hmmm, kata-katamu itu nggak cocok dengan wajah bijakmu, Mas," ujarku.
Nggak tahulah, kenapa pas aku sudah selesai pasang orang-orangan, banyak kawan yang berdatangan ke dekat petak sawah itu. (Kok nggak tadi sih, saat aku pas sibuk-sibuknya). Jadinya, lingkungan dekat petak padiku persis arena meeting. Kerjaan ditinggal sampai lamaaa, sekali. (he, he, he, bisa puyeng bos kantorku kalau pada saat jam kerja, para staf sering duduk-duduk dan ngobrol ngalor-ngidul. Tapi yang ini di luar kebiasaan, kok. Sungguuuuuhhhh. Cuma sekali itu).
Saat menyiram tanah tempat tinggal padi tidak lama setelah orang-orangan tersebut kuberdirikan dengan gagah, aku terbayang, sebaiknya orang-orangan tersebut tidak sekadar orang-orangan. Dia harus bisa menjadi penyampai pesan. Dia kuibaratkan petani. Tapi bukan petani yang nggak ngerti apa-apa. Dia bukan petani yang mudah dibohongi. Ya, dia itu petani pintar. Dia melakukan perjuangan untuk melepaskan para petani negeri ini dari ketertindasan.

Aku lantas ingat tentang headline kompas hari ini: Indonesia Masuk ”Perangkap Pangan”. Judul yang cukup provokatif. Dan isi beritanya, lebih provokatif lagi karena disertai data-data yang kuat. Intinya, tujuh komoditas pangan utama non beras yang kini dikonsumsi masyarakat sangat tergantung pada impor.”

Memang, untuk urusan makanan pokok, kapitalisme global telah memerangkap kita mulai dari hulu sampai hilir. Benih, pupuk, pestisida, mereka yang kuasai. Industri pengolahan makanan, mereka juga yang berjaya. Lantas mereka pun menguasai sektor hilir lewat hypermarketnya. Petani kita cuma buruh. Pemerintah kita juga bisa diperintah sekehendak hati.

Orang-orangan yang kutancapkan tadi harus bercerita tentang itu semua. Aku pun lantas menempelkan koran Kompas yang memuat grafik-grafik dan diagram tentang kerawanan pangan di negara kita pada sehelai karton bekas. Grafik-grafik tersebut sangat provokatif menurutku. Aku melapisinya dengan plastik agar nggak cepat lapuk oleh panas dan hujan. Setelah ujung-ujungnya kupasangi tali, aku mengalungkannya ke orang-orangan sawah itu. Selamat siang, pak tani yang berdaya,” ujarku saat mengalungkan pesan tentang kerawanan pangan itu di lehernya. (Alpha Savitri)

No comments: