Tuesday, September 23, 2008

Iming-iming Duit dalam Gerakan Pengelolaan Lingkungan? No Way


Gerakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan para ibu
di RW 14 Rungkut Lor Surabaya lewat program Tandur Katresnan.
Foto: Pusdakota

Ini lagi-lagi kisah tentang para tamu yang datang ke Pusdakota dan meninjau Graha Kompos kami. Sebagian pertanyaan yang pertama kali sampai padaku adalah tentang aspek ekonomi dari pengelolaan sampah berbasis komunitas. “Menurut pengalaman Anda, berapa total pendapatan dari pengolahan kompos yang sampai menggunung begini?” Atau, mereka bertanya begini,” Wah, kalau saja semua kampung mengolah sampah, pasti kaya-kaya. Soalnya lahan-lahan perkotaan membutuhkan kompos yang banyak. Bisa dong, dijual ke dinas kebersihan dan pertamanan.”

Jadi ingat lagunya Nicky Astria (kalau nggak salah). ”Uang bisa bikin orang senang tiada kepalang. Uang bikin mabuk kepayang....

Ya, di zaman ini, uanglah yang berkuasa. Semua serba diukur dengan uang. Sampai-sampai pesan-pesan lingkungan hidup ataupun pemberdayaan masyarakat akan lebih eksotis dan menarik minat bila dihubungkan dengan rupiah.

Benarkah demikian? Menurut hematku, tidak sama sekali. Untuk mempublikasikan gerakan lingkungan hidup, iming-iming finansial justru jangan sekali-kali jadi alternatif.
Karena ini tidak mendidik.

Aku membayangkan seandainya fasilitator masyarakat, pada saat melakukan fasilitasi berkata seperti ini,” Coba bayangkan Bapak-bapak, dengan mengolah sampah, kita bisa mendapat keuntungan sekian, sekian, sekian.”

Pastinya, akan banyak yang tertarik pada omongan model begini. Namun, tidakkah ini telah keluar dari esensi untuk apa sampah diolah?

Kita semua nyampah dan kita harus bertanggung jawab atas sampah-sampah yang kita hasilkan agar bumi ini usianya semakin panjang. Nggak ada hubungannya apakah kita bakal dapat keuntungan finansial atau tidak. Kita tak bisa membebankan semua tanggung jawab pengelolaan sampah ke pihak lain. Meskipun kita sudah bayar tukang sampah. Kita harusnya malu, membuat mobil kita terjaga kebersihannya dengan jalan melempar sampah yang kita hasilkan ke jalanan. Itu namanya egois. Kita nggak bisa dong, setelah nyapu-nyapu halaman, sampah-sampah kita buang ke sungai. Halaman kita memang bersih, namun sungainya yang kasihan. Itu sikap tidak terpuji. Egois.

Aku jadi ingat cerita kawan-kawanku, fasilitator pemberdayaan masyarakat di wilayah Rungkut Surabaya. Pada tahun 2000 mereka menawari 11 RT di sekitar Rungkut untuk melakukan pengelolaan sampah bersama-sama mereka. Ternyata yang mau bekerjasama hanyalah satu RT. Yang lain ragu-ragu. Atau, banyak yang menginginkan kejelasan, apa yang didapat dari program pengelolaan lingkungan hidup? Berapa uang yang bakal didapat dari program pengelolaan sampah?

Akhirnya, benar-benar mereka berangkat dari satu RT saja. Dan, RT tersebut telah mampu membuktikan kepada RT-RT sekitarnya bahwa banyak manfaat yang mereka peroleh dari pengelolaan sampah berbasis komunitas ini. Terutama, modal sosial terbangun dan berkembang dengan sendirinya. Nilainya melebihi takaran-takaran ekonomi. Spirit pengelolaan lingkungan RT tersebut akhirnya menular ke sekitarnya. Kini, RT-RT di sekitarnya pun ikut berlomba menjadi yang terbaik di bidang lingkungan hidup. Materi bukan lagi alasan mereka untuk menjamin suksesnya gerakan pengelolaan sampah berbasis komunitas. Mereka membiayai keperluan-keperluan kampungnya sendiri demi gerakan menuju lingkungan bersih dan sehat. Dan saat mereka tidak matre, kulihat justru materi itu datang sendiri di komunitas mereka lewat program-program mereka sendiri yang sudah ”layak jual”. (Alpha Savitri)

No comments: