Kisah-kisah yang datang dari dunia pertanian di Indonesia hampir sebagian besar bukan kisah manis. Belakangan ini kisah-kisah tersebut kembali muncul di berbagai macam surat kabar di negeri ini.
Di sini, aku ingin pula berbagi kisah risetku bersama kawan-kawan tahun 2007. Yakni tentang lahan-lahan pertanian di wilayah industrial Gempol, Pasuruan. Sawah-sawah, terutama yang berbatasan dengan jalan raya di Gempol hanya beberapa. Itu pun terhimpit pabrik-pabrik.
Saat menelusuri wilayah target riset, kami melihat sawah yang airnya berwarna-warni. Ada yang dominan kuning, ada pula yang merah, biru, hijau. Pokoknya nano-nano. Jadi, tidak hanya sumur-sumur yang airnya berwarna-warni. Bahkan sawah demikian pula.
Pak tani, di mana-mana tampil bersahaja dan ramah. Menyapa kami, yang belum mereka kenal. Aku bertanya pada mereka satu per satu secara terpisah, bagaimana perasaannya menggarap sawah mereka yang berwarna-warni.
Mereka bilang, ini merupakan konsekuensi dari berdirinya pabrik-pabrik yang ada di wilayah Gempol, termasuk pabrik tekstil. Kata mereka akan percuma untuk mempermasalahkan karena biaya emosionalnya justru akan tinggi karena mereka harus berhadapan dengan pusat-pusat kekuasaan, baik yang ada di perusahaan ataupun pemerintahan. “Bisa panen saja, sudah bagus,” ujar mereka.
Ada pula kisah yang menurutku menggemaskan sekaligus memprihatinkan. Di beberapa blok persawahan, para petani merasa bersyukur, justru dengan kiriman air limbah dari sebuah perusahaan pengalengan ikan ke sawah-sawah mereka. Ini terjadi sejak tahun 1990-an. Sehingga, panen yang semula dua kali menjadi tiga kali berkat pengairan yang cukup.
Beberapa petani yakin, air limbah menyuburkan tanaman padi. Mereka yakin karena diinformasikan oleh perusahaan bahwa air limbah tersebut masih aman secara baku mutu untuk dipakai. Pengolahan air limbah dalam pabrik tersebut memasukkan urea atau mes.
Kendati bersyukur dengan kiriman air limbah pada lahan pertanian, mereka mengakui, sejak diairi air limbah, kualitas padi tersebut menurun. Padi hasil panen berwarna keruh dan bulirnya mudah pecah.
Air limbah perusahaan juga menyebabkan gatal-gatal pada kulit petani penggarap. Masalah lain adalah, tanah sawah jadi labil karena mengandung endapan-endapan yang membuat bibit tidak kokoh bila ditanam.
Saat peristiwa gagal panen dua kali berturut-turut, mencurigai, limbah pabrik yang menjadi sebab. Namun menurut pabrik, limbah tersebut masih aman. Petugas penyuluh menyarankan para petani untuk mengistirahatkan sebulan tanah mereka setelah dua kali panen. Direkomendasikan, petani melakukan dua kali penanaman padi dan satu kali palawija.
Ya, ketahanan pangan negeri ini memang diuji habis-habisan. Para petani yang ada di garda depan ketahanan pangan demikian diperdayakan. Apatis dan tidak tahu harus berbuat apa. Limbah yang diolah dengan pupuk urea pun dipercaya sebagai berkah.
Kisah ini pada akhirnya semakin memantapkan beberapa kawanku untuk hadir di jalur advokasi pada pak tani. (Alpha Savitri)
Di sini, aku ingin pula berbagi kisah risetku bersama kawan-kawan tahun 2007. Yakni tentang lahan-lahan pertanian di wilayah industrial Gempol, Pasuruan. Sawah-sawah, terutama yang berbatasan dengan jalan raya di Gempol hanya beberapa. Itu pun terhimpit pabrik-pabrik.
Saat menelusuri wilayah target riset, kami melihat sawah yang airnya berwarna-warni. Ada yang dominan kuning, ada pula yang merah, biru, hijau. Pokoknya nano-nano. Jadi, tidak hanya sumur-sumur yang airnya berwarna-warni. Bahkan sawah demikian pula.
Pak tani, di mana-mana tampil bersahaja dan ramah. Menyapa kami, yang belum mereka kenal. Aku bertanya pada mereka satu per satu secara terpisah, bagaimana perasaannya menggarap sawah mereka yang berwarna-warni.
Mereka bilang, ini merupakan konsekuensi dari berdirinya pabrik-pabrik yang ada di wilayah Gempol, termasuk pabrik tekstil. Kata mereka akan percuma untuk mempermasalahkan karena biaya emosionalnya justru akan tinggi karena mereka harus berhadapan dengan pusat-pusat kekuasaan, baik yang ada di perusahaan ataupun pemerintahan. “Bisa panen saja, sudah bagus,” ujar mereka.
Ada pula kisah yang menurutku menggemaskan sekaligus memprihatinkan. Di beberapa blok persawahan, para petani merasa bersyukur, justru dengan kiriman air limbah dari sebuah perusahaan pengalengan ikan ke sawah-sawah mereka. Ini terjadi sejak tahun 1990-an. Sehingga, panen yang semula dua kali menjadi tiga kali berkat pengairan yang cukup.
Beberapa petani yakin, air limbah menyuburkan tanaman padi. Mereka yakin karena diinformasikan oleh perusahaan bahwa air limbah tersebut masih aman secara baku mutu untuk dipakai. Pengolahan air limbah dalam pabrik tersebut memasukkan urea atau mes.
Kendati bersyukur dengan kiriman air limbah pada lahan pertanian, mereka mengakui, sejak diairi air limbah, kualitas padi tersebut menurun. Padi hasil panen berwarna keruh dan bulirnya mudah pecah.
Air limbah perusahaan juga menyebabkan gatal-gatal pada kulit petani penggarap. Masalah lain adalah, tanah sawah jadi labil karena mengandung endapan-endapan yang membuat bibit tidak kokoh bila ditanam.
Saat peristiwa gagal panen dua kali berturut-turut, mencurigai, limbah pabrik yang menjadi sebab. Namun menurut pabrik, limbah tersebut masih aman. Petugas penyuluh menyarankan para petani untuk mengistirahatkan sebulan tanah mereka setelah dua kali panen. Direkomendasikan, petani melakukan dua kali penanaman padi dan satu kali palawija.
Ya, ketahanan pangan negeri ini memang diuji habis-habisan. Para petani yang ada di garda depan ketahanan pangan demikian diperdayakan. Apatis dan tidak tahu harus berbuat apa. Limbah yang diolah dengan pupuk urea pun dipercaya sebagai berkah.
Kisah ini pada akhirnya semakin memantapkan beberapa kawanku untuk hadir di jalur advokasi pada pak tani. (Alpha Savitri)
No comments:
Post a Comment