Monday, September 29, 2008

Pak Tulus Wuliata Sang Bunga Semesta

Pak Tulus Wuliata adalah salah satu di antara para mitra Pusdakota yang intens berkontak via email sejak dua tahun lalu. Ia mantan presiden Rotary Club Bali. Ia juga pemilik sekolah musik kenamaan di Denpasar. Kenal nama Pusdakota dari kawan-kawannya sesama rotarian.

Semula ia bertanya-tanya soal pelatihan teknososial pengelolaan sampah rumah tangga yang difasilitasi Pusdakota. Lantas hubungan pun semakin intens saat ia membeli Keranjang Takakura. Ia senantiasa meng-update perkembangannya pada aku yang memang bertugas membalas surat-surat dari para mitra Pusdakota. Aku senang, di tengah kesibukan-kesibukannya ia melakukan pengomposan bersama istrinya. “Ms Vitri, biarpun manula, saya masih ingin berkontribusi pada kehidupan,” begitu dalam salah satu emailnya.

Email-email pun akhirnya tidak hanya membahas seputar keranjang takakura, namun juga soal-soal metode pengomposan yang lain, soal community development, charity yang biasa dilakukannya. Aku mengiriminya publikasi-publikasi kantorku. Ia bilang senang dikirimi media-media demikian dan ia mengaku memajangnya di sekolah musik yang dimilikinya.

Sekali waktu ia pernah mengeluh padaku, agak ribet melakukan pengomposan. Aku pun menyemangatinya. “Pak Tulus, ini bukan masalah ribet atau tidak ribet. Tapi saya dan kawan-kawan di Pusdakota meyakini, berjuta-juta mikroorganisme yang ada dalam Keranjang Takakura adalah makhluk Tuhan yang perlu makanan dari sampah-sampah kita. Mereka adalah mikroorganisme baik yang membantu manusia untuk mengurai sampah menjadi kompos,” itu antara lain bunyi balasan emailku.

Aku juga melayangkan tips-tips bagaimana membuat praktik mengompos menjadi pekerjaan yang ringan.

Esoknya, di email ia mengaku mulai tahu kenapa ia harus mengomposkan sampah-sampah dapurnya. Ia mengaku beruntung karena istrinya pun mendukungnya.

Pernah ia mengirimiku daftar makanan yang harus dihindari dan yang direkomendasikan untuk golongan darah O (Golongan darahku). Katanya, ia dan istri sudah menjajal dan badannya terbukti fit. Duh, dalam daftar kiriman itu ada mie, seafood dan makanan-makanan kegemaranku. “Mana mungkin saya bisa mencobanya, Pak,” protesku. Tapi ia menyemangatiku untuk mencoba.

Pernah, ia lama tidak ber-email. Sekitar tiga atau empat bulanan. Aku melakukan kontak padanya. Menanyakan kabar aksi pengelolaan lingkungan yang dilakukannya. Esoknya ia membalas begini,” saya begitu terkesan dengan cara Pusdakota memelihara relasi. Lantas ia cerita tentang relasinya di Australia yang mengompos dengan cara vermikomposting. Ia bertanya tentang vermikomposting dan teknis pelaksanaannya.

Aku membalas dan bilang padanya bahwa tali silaturrahmi harus ditegakkan selalu. Juga, jaringan dan gerakan penyelamatan lingkungan harusnya dibangun dari orang-orang yang peduli menekuni penyelamatan lingkungan lewat perbuatan-perbuatan kesehariannya. Karena, banyak sekali orang mengklaim dirinya sebagai sahabat dari lingkungan, tapi tidak bersikap dan berpraktik ramah lingkungan.

Lantas, suatu kali Pak Tulus bilang, ingin mengundangku ke lokasi di mana ia aktif melakukan kegiatan community development di sebuah kampung miskin di sekitar Bedugul. Aku berterima kasih pada undangannya dan kubilang, kelak aku mengagendakan diri untuk ke sana kalau semua pekerjaanku benar-benar kelar. Sudah lama aku nggak ke Bali dan kangen nasi jenggo. (Pak Tulus bilang nasi jenggo nggak bagus buat kesehatannya karena ada mienya. Menurut diet golongan darah, ia harus menghindari mie).

Itu suratnya yang terakhir. Lama sekali ia tak berkabar lagi. Tapi aku merasa biasa-biasa saja. Siapa tahu ia sedang sibuk, tak ingin diganggu, atau apa pun. Aku pun meng-email dia sebagaimana yang pernah kulakukan.

Tapi kemarin, pas aku browsing internet, entah kenapa kepikiran terus pada Pak Tulus. Seolah ada yang menggerakkanku untuk mengetahui kabarnya. Lantas, aku mengetikkan ”Tulus Wuliata”, Bali pada search engine google. Wow, aku melihat kiprah-kiprah Pak Tulus yang sangat banyak untuk kemajuan Bali. Sekali lagi aku kagum. Begitu banyak yang tidak kutahu darinya karena dia tidak pernah menyebut kiprah-kiprahnya yang teramat besar. Benar-benar rendah hati si bapak.

Sampai tibalah aku ngeklik situs salah satu surat kabar di Bali. Surat kabar itu lead-nya berbunyi: ”Bertepatan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008, tutup usia seorang tokoh masyarakat yang kiprahnya tak bisa dipisahkan dengan proses pembauran bangsa di Bali. Dia adalah Drs. Josephus Damianus Tulus Wuliata, Apt (71).”

Aku langsung lemas dan merasa tak berdaya. Mataku berkaca-kaca. Aku memang tak mengenalnya secara langsung. Tapi dari email-emailnya, aku kenal kegigihannya. Aku kenal sikap rendah hatinya. Ini cukup membuatku terinspirasi dan tidak melupakannya.

Browsing-browsing lagi, aku melihat foto kematiannya. Ia menghuni peti. Wajahnya segar. Ya Tuhan, aku baru tahu wajahnya di saat ia tutup usia. Mataku basah. Aku nggak tahu, apa yang menyebabkan dia tutup usia. Sakitkah atau apa? Dalam hati kuberucap selamat menempuh kehidupan tahap selanjutnya. Kuharap konsistensinya pada nilai-nilai adikodrati yang pernah ia jalani pada kehidupannya terus mengharumi semesta ini. (Alpha Savitri)

No comments: