Friday, September 12, 2008

Infrastruktur dan Teknologi Pengomposan Saja Tak Cukup


Rumah kompos Pusdakota dan komunitas yang berkunjung.
Foto-foto: Dokumentasi Pusdakota
Para tamu yang datang ke kantorku untuk berkunjung ke Graha Kompos, senantiasa menganggap tempat komposting kami lumayan megah dengan fasilitas lengkap . Tidak hanya dari bentuk bangunannya secara fisik, namun isinya lengkap. Ada sampah organik yang siap olah, ada mesin pencacah, dan instalasi yang baik. Sampah rumah tangga yang diolah pun nggak berbau busuk. “Terang saja, Pusdakota dan kampung RW 14 bisa mengolah sampah dengan baik. La wong semuanya serba tersedia. Tapi bagaimana dengan kampung kami? Kami belum punya tempat kompos,” itu pertanyaan umum dari para tokoh kampung yang studi banding di Graha Kompos Pusdakota.

Aku pun selalu menjawab begini,” Misalkan Bapak memiliki tempat pengelolaan sampah seperti yang dimiliki Pusdakota, apakah menjamin warga mau memilah sampah dari rumah masing-masing, kemudian mengolah sampah organiknya di tempat pengolahan?”

Umumnya, para tamu tokoh kampung langsung berpikir dan menggeleng. “Wah, mereka sudah tidak terbiasa memilah sampah. Mereka sulit disadarkan. Alasannya sudah ada tukang sampah dan sudah bayar. Kenapa harus pilah-pilah?”

Ada pula tamu yang langsung bilang begini,” bagaimana kalau milah sampahnya di rumah kompos saja kalau warga nggak mau memilah sampah. Mungkin kami bisa menggaji orang untuk memilah sampah.

Pertanyaan para bapak ini menurutku wajar saja. Para warga kampung bisa saja berpikir mendirikan tempat pengomposan dan menggaji orang untuk memilah sampah. Namun menurutku ini tidak sejalan dengan spirit gerakan pengelolaan sampah berbasis komunitas. Apa gunanya rumah kompos yang telah berdiri bila tidak disertai kesadaran warga untuk memilah sampah? Juga, dari pengalaman kantorku, pemilahan, bila dilakukan di lokasi pengomposan di samping berbiaya juga memerlukan waktu yang panjang. Kantorku pernah meriset itu. Untuk memilah sampah yang datang dari 200 keluarga saja, diperlukan waktu sekitar tujuh jam.

Pertanyaan-pertanyaan para tokoh kampung yang menganggap bahwa infrastruktur dan teknologi jauh lebih penting dibandingkan spirit dan kesadaran warga mengingatkanku pada seorang kawan yang suka beli piring dan mangkok. Setiap ada model ataupun motif yang menurutnya bagus, ia beli tanpa merencanakan dia pakai apa mangkok tersebut. “Nanti kapan-kapan pasti ada gunanya,” begitu selalu ia mengatakan.

Dia memang berharap suatu saat akan terpakai, tapi tak kunjung terpakai juga mangkok tersebut sampai bertahun-tahun. Sampai akhirnya lemarinya penuh mangkok tanpa guna sama sekali.

Aku juga sering melihat, di internet banyak website yang dibangun dengan desain cool, tapi bertahun-tahun under construction melulu.
Memang, seringkali kita menganggap bahwa wadah jauh lebih penting daripada isi. Desain dan kemasan lebih penting daripada isi.

Aku senantiasa bertanya-tanya, kenapa orang-orang pada umumnya berpikir bahwa infrastruktur dan teknologi menjadi prioritas dalam pengelolaan sampah berbasis komunitas? Kenapa tidak berpikir bahwa spirit perjuangan untuk cinta lingkungan lewat sarana pengelolaan sampah adalah yang mendasar untuk kita yang tinggal di bumi Indonesia? Dan kalau kita belum memiliki spirit perjuangan, ya harus ada yang menyadarkan. Itu gunanya pengorganisasian masyarakat. Aku sepakat bahwa pendekatan teknososial dalam pengelolaan sampah berbasis komunitas yang dipakai kantorku masih sangat relevan. Tidak hanya teknologi yang penting, namun juga pengorganisasian masyarakat.

Graha Kompos Pusdakota memang telah lengkap segalanya dan mengolah sampah yang berasal dari 1500 kepala keluarga. Tapi untuk mencapai tahap kelengkapan seperti sekarang, bukan sulapan. Perlu proses. Itu selalu kukatakan pada setiap tamu. Sejarahnya, pada tahun 2000 Graha Kompos masih sangat sederhana dan berbau busuk karena waktu itu kami belum tahu cara mengatasi bau sampah rumah tangga yang efektif. Tidak sebagaimana sekarang, masyarakat sekitar rumah kompos mendukung kerja-kerja kantorku, saat awal pendirian rumah kompos, kami didemo orang-orang sekitar.

Prioritas kami waktu itu adalah bagaimana mengorganisasikan komunitas di sekitar Pusdakota untuk bisa memaknai sampah sehingga mereka bisa memilah dan mengolah sampah mereka sendiri dengan kesadaran penuh. Kantorku berpendirian, masalah teknologi itu haruslah dikembangkan sesuai harapan, kemampuan dan kebutuhan masyarakat sendiri.

Beberapa tahun kemudian, saat masyarakat sudah semakin sadar dan banyak pembelajar di bidang lingkungan yang datang ke kantorku, barulah kantorku memikirkan agar rumah kompos dibikin senyaman mungkin untuk pembelajaran dan pelatihan.

Jadi, sesungguhnya rumah kompos nggak perlu dibangun megah. Yang penting, bangun dulu spirit gerakan untuk sadar mengelola sampah. Teknologinya bisa apa saja, tidak perlu seperti yang dikembangkan Pusdakota. Tidak usah pakai keranjang takakura ataupun open windrow juga bisa. Toh di dunia ini ada 1001 macam teknologi pengomposan.

Para tamu pun kebanyakan manggut-manggut dengan saranku. (Alpha Savitri)

No comments: