Hari ini aku memperingati sebulan membibit dan bertanam padi organik pandanwangi. Ini spesial buatku karena baru pertama kalinya aku menanam padi. Oh ya, dalam tulisan-tulisan sebelumnya telah kuceritakan, bibit-bibit yang bersemi itu akhirnya kutanam di tiga tempat. Pertama: di pot, kedua di karung, dan ketiga di petak mini kebun depan kantorku Pusdakota.
Yang di karung memuaskanku. Genap sebulan daunnya hijau segar, berujumlah 10 batang, sedangkan tinggi daunnya 32 cm.
Yang di petak mini juga segar-segar. Malah ada yang tinggi daunnya sampai 40 cm. Lebih 40 bayi padi yang kutanam, ada dua yang sampai saat ini pertumbuhannya lambat, entah kenapa. Mereka berdua masih belum besar-besar sebagaimana yang lain. Bahkan aku sempat deg-degan karena salah satunya kupikir hampir mati ketika dua dari tiga daunnya berwarna kuning. Namun hari ini kulihat ada daun baru yang kulihat tumbuh dan itu berwarna hijau segar. Doakan ya agar yang ini tumbuh sehat sebagaimana rekan-rekannya.
Sedangkan yang di pot, menurutku pertumbuhannya lambat. Daun terpanjangnya kini 24 cm dan helaiannya hanya tiga. Padahal sewaktu masih belum kupindah ke pot, benih itu tampak kukuh dan lebih sehat dibandingkan yang kutanam di karung. Kini kondisinya justru sebaliknya. Yang di karung lebih baik. Padahal dua bayi itu kuperlakukan sama kendati tempatnya berbeda. Setiap pagi dan sore kusiram dan lima hari sekali kuberi pupuk cair native microorganism (MOL). Tanah tempat tumbuh keduanya juga kusiangi dan kugemburkan hati-hati agar tidak merusak akar yang baru beradaptasi.
Apakah karena padi dalam pot setiap hari daunnya digoyang angin kencang sedangkan yang di karung tidak? Yang di karung memang dari segi tempat memungkinkan lebih tenang. Tidak banyak angin yang melintas.
Ah, ini kan rekaan secara akal sehat. Nggak tahu dari segi ilmiahnya bagaimana aku tunggu saja perkembangannya.
Untuk padi yang kutanam di lahan mini, aku tidak memberinya pupuk cair. Di sini aku memberi tanah tersebut kompos kotoran kambing beberapa hari sebelum bayi padi kupindah dari tempat pembibitan. Pernah sekali lahan mini tersebut kuberi urine dari toilet ecosan Pusdakota yang telah dinetralkan. Dua minggu lagi rencanaku akan kuberikan lagi urine pada tanah tersebut.
Kini yang jadi perhatianku adalah bagaimana agar nantinya, bila padi-padi itu berbulir (mudah-mudahan nggak ada aral melintang, ya nggak), nggak dipanen tikus ataupun burung. Sementara ini aku sudah bikin orang-orangan sawah. Tapi benarkah burung-burung bakal takut dengan orang-orangan sawah itu atau justru mereka menertawakan aku, pembuat orang-orangan itu?
Aku pun lantas membayangkan zaman dulu di saat semua makhluk saling tergantung. Tidak ada yang dianggap jahat dan harus diusir kalau ekosistemnya berjalan dengan baik. Pangan dan kebutuhan semua makhluk terpenuhi dengan baik. Inilah sesungguhnya tugas kita di zaman ini. Merawat dan memperbaiki yang telah rusak. (Alpha Savitri)
Yang di karung memuaskanku. Genap sebulan daunnya hijau segar, berujumlah 10 batang, sedangkan tinggi daunnya 32 cm.
Yang di petak mini juga segar-segar. Malah ada yang tinggi daunnya sampai 40 cm. Lebih 40 bayi padi yang kutanam, ada dua yang sampai saat ini pertumbuhannya lambat, entah kenapa. Mereka berdua masih belum besar-besar sebagaimana yang lain. Bahkan aku sempat deg-degan karena salah satunya kupikir hampir mati ketika dua dari tiga daunnya berwarna kuning. Namun hari ini kulihat ada daun baru yang kulihat tumbuh dan itu berwarna hijau segar. Doakan ya agar yang ini tumbuh sehat sebagaimana rekan-rekannya.
Sedangkan yang di pot, menurutku pertumbuhannya lambat. Daun terpanjangnya kini 24 cm dan helaiannya hanya tiga. Padahal sewaktu masih belum kupindah ke pot, benih itu tampak kukuh dan lebih sehat dibandingkan yang kutanam di karung. Kini kondisinya justru sebaliknya. Yang di karung lebih baik. Padahal dua bayi itu kuperlakukan sama kendati tempatnya berbeda. Setiap pagi dan sore kusiram dan lima hari sekali kuberi pupuk cair native microorganism (MOL). Tanah tempat tumbuh keduanya juga kusiangi dan kugemburkan hati-hati agar tidak merusak akar yang baru beradaptasi.
Apakah karena padi dalam pot setiap hari daunnya digoyang angin kencang sedangkan yang di karung tidak? Yang di karung memang dari segi tempat memungkinkan lebih tenang. Tidak banyak angin yang melintas.
Ah, ini kan rekaan secara akal sehat. Nggak tahu dari segi ilmiahnya bagaimana aku tunggu saja perkembangannya.
Untuk padi yang kutanam di lahan mini, aku tidak memberinya pupuk cair. Di sini aku memberi tanah tersebut kompos kotoran kambing beberapa hari sebelum bayi padi kupindah dari tempat pembibitan. Pernah sekali lahan mini tersebut kuberi urine dari toilet ecosan Pusdakota yang telah dinetralkan. Dua minggu lagi rencanaku akan kuberikan lagi urine pada tanah tersebut.
Kini yang jadi perhatianku adalah bagaimana agar nantinya, bila padi-padi itu berbulir (mudah-mudahan nggak ada aral melintang, ya nggak), nggak dipanen tikus ataupun burung. Sementara ini aku sudah bikin orang-orangan sawah. Tapi benarkah burung-burung bakal takut dengan orang-orangan sawah itu atau justru mereka menertawakan aku, pembuat orang-orangan itu?
Aku pun lantas membayangkan zaman dulu di saat semua makhluk saling tergantung. Tidak ada yang dianggap jahat dan harus diusir kalau ekosistemnya berjalan dengan baik. Pangan dan kebutuhan semua makhluk terpenuhi dengan baik. Inilah sesungguhnya tugas kita di zaman ini. Merawat dan memperbaiki yang telah rusak. (Alpha Savitri)
No comments:
Post a Comment