Thursday, September 25, 2008

Hikmah dari Partisipan Pelatihan Pengelolaan Sampah

Bapak Aziz sudah lumayan sepuh. Usianya 70 tahun. Tapi kulihat semangatnya untuk mengikuti pelatihan teknososial pengelolaan sampah di Pusdakota sangat tinggi. Dalam permainan-permainan untuk mendukung pemahaman bahwa sampah harus diolah, misalnya, ia sangat bersemangat. Dalam praktik-praktik pengelolaan sampah, dengan napasnya yang tersengal-sengal, ia berupaya melesat, sebagaimana partisipan muda usia. Pengambilan sampah di kampung pun ia lakoni dengan kesungguhan. Para fasilitator dari Pusdakota jadi semakin bersemangat karena semangat Pak Aziz mampu menular ke sekelilingnya. Pelatihan pun semakin heboh.

Saat ia istirahat siang, aku dan dia punya kesempatan sharing. Aku membagikan padanya pengalamanku membuat pupuk cair dan mengurus kebun rumahku. Dia takjub saat kutunjukkan berbotol-botol pupuk cair yang kubikin di halaman belakang kantor. Kutunjukkan pula bakteri cair bikinanku untuk menggelontor tempat cuci piring dan WC. Kutunjukkan fungsi-fungsinya antara lain agar septictank kita tidak lekas penuh. Kutunjukkan cara-cara pembuatannya yang gampang. Kubilang bahwa kita nggak perlu beli di toko untuk kepentingan yang begituan. Tuhan telah menyediakan semuanya di alam ini. Kita tinggal mempelajari dan mempraktikkan.

Ia catat tips-tips dariku. Pelan-pelan dan teliti. Aku menangkap spirit pembelajarannya yang demikian besar.

Pak Aziz bilang, ia sekarang mengurusi rumah retret satu hektar. ”Biar cuma satu hektar, saya ingin produktivitas lahannya tinggi. Untuk tanaman organik dan kompos,” katanya.

Ia bilang pernah mengelola lahan seluas 20 hektar miliknya para jendral Jakarta di Cisarua. Bisnis tanaman organik itu berjalan baik. ”Tapi waktu itu saya memage. Perintah-perintah saja dan tidak turun ke bawah. Bahkan bertahun-tahun di situ saya nggak tuntas jalan-jalan ke lahan,” katanya tertawa.

Kini setelah sepuh ia ”pulang kampung” ke Batu, Malang. Ia mengelola lahan yang ”hanya” satu hektar. Namun, justru, ia ingin sungguh-sungguh menekuni. Dengan tenaga yang masih tersisa. Untuk itu ia merasa harus sungguh-sungguh belajar. ”Belum terlambat, kan,” katanya.

Aku terharu kesungguhannya. Ada rasa malu. Benar-benar mengingatkanku untuk senantiasa terjaga untuk tetap berkarya dan memanfaatkan waktu-waktu yang dipersembahkan Tuhan padaku, dalam situasi dan kondisi bagaimana pun. Dan usia, bukan hambatan untuk berkarya. (Alpha Savitri)

No comments: