Wah, sayang meski sudah kufoto dari berbagai angle, di petak lahan kecil itu, padinya nggak bisa tampak. Ha ha ha, kamera yang kupakai cuma yang standar, jadi nggak nembus. So.. bayangkan saja di situ ada padi-padiku.
Tanggal 25 Agustus 2008. Padi-padiku di halaman depan kantor kulihat tumbuh bagus, sejak pindah dari tempat persemaian tanggal 19 Agustus 2008 lalu. Daun-daunnya lurus menantang matahari. Ada 46 buah dengan ketinggian antara 11-16 cm. Aku berharap, pertumbuhannya akan semakin baik dari hari ke hari. Oh ya, dalam tulisanku beberapa waktu lalu sudah kusebutkan kalau aku menanamnya tidak secara bergerombol sebagaimana kebanyakan petani sekarang. Aku menanamnya satu per satu dan masing-masing kuberi jarak sekitar 25 – 30 cm.
Tiga hari berturut-turut kutinggal cuti. Hari ini sebetulnya aku agak khawatir, jangan-jangan kering. Ternyata tidak. Mas Gun pasti terus menyirami sebidang tanah mini tempat tumbuhnya padiku itu biar nggak kupesan. Mas Gun punya spirit melayani yang tulus. Aku bisa merasakannya. Tidak kuminta pun dia pasti tahu.
Kulihat juga bayi padiku di dua pot di halaman belakang kantorku. Aman. Tidak kering. Pasti Ucup, Wajib, dan Bangkit terus menyiraminya. Aku memang berpesan khusus pada mereka untuk menyirami bayi-bayi padiku di halaman belakang kantor bila aku tidak masuk. Mereka menolongku.
Sebetulnya, hari ini aku sudah menyiapkan pupuk cair bikinanku untuk kualirkan di tanah-tanah tempat aku menanam padi itu. Tapi melihat pertumbuhan padiku yang menurutku lumayan, aku menimbang-nimbang. Oh, ternyata, kotoran kambing memang berkhasiat. Pikirku, lebih baik pupuk cair kuberikan untuk bayi padiku dalam pot saja. Mungkin nanti bisa kulihat perbedaannya, mana yang lebih bagus tumbuhnya, dikasih pupuk cair bikinanku atau kotoran kambing.
Untuk lahan, hari itu hanya kuairi. Ada dua batang yang tumbuhnya nggak lurus kuluruskan. Tanah-tanah di sekitarnya kusiangi dan kukorek dengan sebilah bambu agar air mudah meresap. Untuk proses ini, aku sangat berhati-hati. Takut akarnya putus.
Untuk bayi padi yang di dua pot, aku juga meluruskan batangnya karena angin telah membuat bayi padi yang masih ringkih itu tidak lagi selurus saat aku menanamnya. Aku menyiangi tanah-tanah di seputar padi itu. Setelah itu, pupuk cair bikinanku kuberikan dengan komposisi 1:15 sebagaimana yang dinasihatkan Pak Sobirin dalam blognya. (Penggunaan pupuk cair organik bikinan sendiri sudah menjadi tradisiku untuk tanamanku di rumah, namun dengan perbandingan yang lebih kental. Ini ada resep yang sudah dibuktikan keampuhannya oleh pemiliknya yakni 1:15. Aku ingin mencobanya).
Bayi padi dalam pot tersebut, masing-masing 11 dan 19 cm. Pertumbuhan keduanya begitu njomplang. Mungkin karena penyinaran juga. Untuk bayi padi yang tingginya 11 cm mungkin penyinarannya tidak sebagus yang 19 cm. Aku mau memindahkan tapi nggak kuat. Mungkin besok kuminta bantuan kawan-kawan yang berotot kawat untuk memindahnya di tempat yang memiliki sinar bagus. (Alpha Savitri)
Tiga hari berturut-turut kutinggal cuti. Hari ini sebetulnya aku agak khawatir, jangan-jangan kering. Ternyata tidak. Mas Gun pasti terus menyirami sebidang tanah mini tempat tumbuhnya padiku itu biar nggak kupesan. Mas Gun punya spirit melayani yang tulus. Aku bisa merasakannya. Tidak kuminta pun dia pasti tahu.
Kulihat juga bayi padiku di dua pot di halaman belakang kantorku. Aman. Tidak kering. Pasti Ucup, Wajib, dan Bangkit terus menyiraminya. Aku memang berpesan khusus pada mereka untuk menyirami bayi-bayi padiku di halaman belakang kantor bila aku tidak masuk. Mereka menolongku.
Sebetulnya, hari ini aku sudah menyiapkan pupuk cair bikinanku untuk kualirkan di tanah-tanah tempat aku menanam padi itu. Tapi melihat pertumbuhan padiku yang menurutku lumayan, aku menimbang-nimbang. Oh, ternyata, kotoran kambing memang berkhasiat. Pikirku, lebih baik pupuk cair kuberikan untuk bayi padiku dalam pot saja. Mungkin nanti bisa kulihat perbedaannya, mana yang lebih bagus tumbuhnya, dikasih pupuk cair bikinanku atau kotoran kambing.
Untuk lahan, hari itu hanya kuairi. Ada dua batang yang tumbuhnya nggak lurus kuluruskan. Tanah-tanah di sekitarnya kusiangi dan kukorek dengan sebilah bambu agar air mudah meresap. Untuk proses ini, aku sangat berhati-hati. Takut akarnya putus.
Untuk bayi padi yang di dua pot, aku juga meluruskan batangnya karena angin telah membuat bayi padi yang masih ringkih itu tidak lagi selurus saat aku menanamnya. Aku menyiangi tanah-tanah di seputar padi itu. Setelah itu, pupuk cair bikinanku kuberikan dengan komposisi 1:15 sebagaimana yang dinasihatkan Pak Sobirin dalam blognya. (Penggunaan pupuk cair organik bikinan sendiri sudah menjadi tradisiku untuk tanamanku di rumah, namun dengan perbandingan yang lebih kental. Ini ada resep yang sudah dibuktikan keampuhannya oleh pemiliknya yakni 1:15. Aku ingin mencobanya).
Bayi padi dalam pot tersebut, masing-masing 11 dan 19 cm. Pertumbuhan keduanya begitu njomplang. Mungkin karena penyinaran juga. Untuk bayi padi yang tingginya 11 cm mungkin penyinarannya tidak sebagus yang 19 cm. Aku mau memindahkan tapi nggak kuat. Mungkin besok kuminta bantuan kawan-kawan yang berotot kawat untuk memindahnya di tempat yang memiliki sinar bagus. (Alpha Savitri)
No comments:
Post a Comment