Saturday, August 23, 2008

Saudara-saudaraku, Bidan Wana Patria Blitar


Foto di atas merupakan lahan Wahana Bina Patria (Wana Patria) pada masa awal-awal penggarapan. Sampai kini konsep mandala pada lahan tetap dipertahankan.


Wahana Bina Patria biasa disingkat Wana Patria. Kok masih terlalu panjang ya, biar sudah disingkat? Karena masih juga terlalu panjang, kami singkat lagi jadi WP atau Wana untuk sebutan lisan. Kalau sebutan tertulis, tetap saja ditulis Wahana Bina Patria atau Wana Patria.

Wana Patria merupakan rumah belajar kearifan lingkungan di Kota Blitar yang digagas tahun 2005 tapi baru diperkenalkan ke publik tahun 2007. Bidannya adalah Suster Stefani SSpS dan Mas Cahyo Suryanto, kolegaku di Pusdakota, juga Mas Eddy Suhermanto, yang biasa kupanggil Mas Tanto. Ini memang kesepakatan antardua lembaga. Sr Stefani SSpS – kini bertugas di Roma – menginginkan agar lahan SSpS di kota Blitar seluas kurang lebih 2 hektar (satu kompleks dengan Biara Roh Kudus dan TK/SDK Santa Maria Blitar) didayagunakan. Biara di Blitar menurut Sr. Stephani sangat bersejarah bagi SSpS karena kesejarahan pertama SSpS Provinsi Jawa ya di Blitar. Visi lingkungan hidup pada waktu itu sudah ditanamkan di sana dan alangkah baiknya bila ada revitalisasi visi itu kembali. Dia pun berdiskusi dengan Mas Cahyo. Kami dari Pusdakota pun mewujudkan visi lingkungan hidup yang mulia itu.

Aku dan beberapa kawan lain ikut juga jadi relawan kelahiran si jabang bayi. Aku mendokumentasikan semua hal yang berkaitan dengan sejarah kelahirannya. Maka dari itu, mulai rapat-rapat, perdebatan-perdebatan, pembangunan dll aku ikuti dan kudokumentasikan (sayangnya ada beberapa catatan penting yang hilang akibat virus di komputer).

Kini Wana Patria boleh dikata mulai jadi rujukan pembelajaran kearifan lingkungan. Kendati di bawah naungan lembaga keagamaan, Wana Patria terbuka untuk umum dan berdiri di atas semua golongan.

Wana Patria menciptakan model pertanian organik dan budidaya sayur organik, pembuatan pupuk organik, peternakan organik dan representatif untuk berbagai training yang bersifat lingkungan. Tak heran, semakin banyak saja permintaan untuk jadi fasilitator training.

Kalau ingat semua yang pernah dilakukan semua pihak untuk Wana Patria sampai Wana Patria jadi seperti sekarang, terkadang aku merasa bersyukur. Aku nggak suka berkata yang ndakik-ndakik untuk mengucap syukurku. Tapi sungguh, bisa terlibat, kusyukuri. Ini anugerah. karena dengan begitu aku bisa belajar bagaimana dekat dengan alam perbuatan yang kita lakoni sehari-hari.

Aku bersyukur karena bisa menemukan mutiara dari Tuhan. Lahan yang inspiratif, kerja yang inspiratif, dan kawan-kawan yang terbiasa merawat bumi lewat keseharian mereka. Mereka berkarya nyata untuk bumi ini.

Izinkan aku berterima kasih pada orang-orang yang membentuk kesejarahan Wana Patria. Mas Tanto dan Mas Cahyo, aku berterima kasih pada mereka. Tanpa ide-ide yang brilian dari keduanya, dan tanpa perdebatan-perdebatan seru keduanya, tanpa konsistensi mereka untuk memberi yang terbaik, biarpun dengan “berdarah-darah”, Wana Patria tidak mungkin jadi seperti sekarang. Ya, aku belajar untuk menjaga konsistensi. Aku belajar juga untuk terus mengaktifkan “mata ketiga”, melihat tanda-tanda zaman. Bahwa zaman mengharuskan kita untuk tidak bicara ndakik-ndakik, tapi berbuat dan berbuat. Memberi contoh, mengembangkan model yang inspiratif sungguh keutamaan di zaman ini.

Aku juga berterima kasih pada para suster: Sr Stefani SSpS, Kristina Wahyu yang saat itu masih di SSpS. Aku melihat keterlibatan sejati, keterlibatan yang tanpa syarat. Tidak semua pihak setuju dengan adanya Wana Patria. Tapi mereka teguh bertahan bahwa Wana Patria, rumah belajar kearifan lingkungan yang bakalan dikembangkan, merupakan karya yang luar biasa. Dan mereka telah membuktikannya.

Mas Nono, Mas Albert, Mas Suba, Mas Isnawan, Mbak Anna. Mereka juga pembabat alas Wana Patria. Aku ingat benar bagaimana Mas Nono dan Mas Albert mengeprasi pohon-pohon yang sudah tidak produktif, dengan cekatan. Mas Suba dan Mas Isnawan dulu berkarya penuh di Biara Roh Kudus dan mereka cabut untuk berkarya di Wana Patria. Mas Suba nggak jadi ke Malaysia untuk jadi TKI. Padahal dia sudah bayar uang mukanya lho. Kini Mas Suba punya keahlian di bidang composting dan sudah memfasilitasi berbagai macam training pengomposan di kota Blitar. Mas Isnawan, kini memang tak lagi bergabung di Wana Patria. Tapi taman-taman garapannya di Wana Patria menunjukkan bahwa dia bekerja dengan sepenuh hati untuk menampilkan siapa dirinya. Mbak Anna adalah dokter hewan cantik yang merancang area peternakan dan perikanan di Wana Patria. Dia menggambar desain pet area ramah lingkungan. Aku sering melihat Mbak Anna melakukan presentasi hasil pemikirannya di hadapan para suster di Biara Roh Kudus. Terkadang ia harus mendatangi satu per satu dari para suster untuk meyakinkan bahwa apa yang dipikirkannya tentang peternakan ramah lingkungan sebaiknya dijalankan.

Ada lagi dua orang penting di balik sejarah Wana Patria yang juga ingin kusebutkan di sini. Yakni Mas Jojo dan Suster Helena. Keduanya memegang keuangan Wana Patria sejak Wana Patria masih jadi jabang bayi. Kalau Wana Patria bisa jadi seperti sekarang, memiliki infrastruktur yang memadai dan keuangannya ter-manage secara baik, itu pasti hasil kerja keras mereka. Padahal mereka masih memiliki pekerjaan rutin.

Mas Marno, sering mengantar Mas Cahyo, Mas Tanto, dan aku ke sana-sini, terutama trayek Surabaya - Blitar pas lagi ribet-ribetnya pembangunan Wana Patria. Terima kasih.

Hmmm, siapa lagi? Masih banyak, termasuk. Mas Agus, Pak Mayar, Pak Bardi.

Penghargaan sedalam-dalamnya juga kusampaikan pada alm. Pak Suyoso, yang menghembuskan napas terakhirnya di saat ia sedang giat-giatnya berkarya membangun rumah kompos Wana Patria. Semoga arwah beliau diterima di sisi Allah SWT.


Ya Allah Yang Maha Kasih, berikan kemudahan jalan bagi semuanya. (Alpha Savitri)*



No comments: