Wednesday, August 20, 2008

Daur Ulang Anorganik, Timbal Balik Perusahaan - Masyarakat

Tulisan ini lahir setelah aku omong-omong dengan salah satu kawan. Lebih dari setahun lalu aku ngobrol dengan dia tentang daur ulang sampah anorganik. Ini saripatinya.

Saat ini pembuatan kerajinan dari bahan-bahan bekas, seperti bekas bungkus minyak goreng dan mie instan sedang naik daun. Bisa dibuat dompet, payung, dan hiasan-hiasan yang lain. Luar biasa karya kerajinan daur ulang warga, terutama para ibu. Dan nilai jualnya lumayan juga. Mungkin karena prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle sedang naik dauni tengah hangatnya isu sampah di negeri ini.

Aku sendiri membeli satu buah dompet yang bahan asalnya bungkus mie instan. Jahitannya rapi dan tampak unik. Aku menunjukkan itu pada salah satu kawanku. Aku memuji-muji dompetku itu sebagai karya peduli lingkungan yang dipersembahkan kaum ibu. Lantas apa komentarnya?

“Bukannya aku nggak setuju adanya jahit-menjahit barang-barang bekas. Aku menghargani karya ibu-ibu. Mereka sangat tulus dalam berkarya demi menyelesaikan masalah sampah di kota ini. Tapi aku khawatir, masyarakat lebih tertarik menyelesaikan permasalahan sampah lewat jalur anorganik sedangkan yang organik dibiarkan. Padahal penyelesaian sampah organik seharusnya jadi prioritas. Sampah organik, apalagi sampah dapur, mengundang lalat dan kalau tidak diselesaikan, akan ada masalah-masalah kesehatan,” katanya.

Aku langsung ingat kondisi tempat Penampungan Akhir (TPA) sampah Benowo, satu-satunya TPA di Surabaya. Karena tidak dikelola dengan baik, mencemari areal sekitar sehingga para petani ikan di sekitarnya tidak bisa panen optimal. Sampah di Surabaya, sekitar 70 persen adalah sampah organik.

“Ini tengaraku, Vit. Mudah-mudahan tidak terjadi. Orang cenderung tertarik dengan hal-hal yang bisa memberi keuntungan finansial jauh lebih tinggi. Jangan-jangan nantinya, popularitas pengelolaan sampah anorganik lebih tinggi dibanding sampah organik. Padahal yang organik itu , menurut kondisi Surabaya, urgen diselesaikan.

Hmmm, aku mikir lagi. Memang, faktanya, telah bertahun-tahun kantorku bersama warga sekitar mengelola sampah organik rumah tangga. Hasil komposnya dalam hitungan ton per bulan. Namun kalau keuntungan dihitung secara finansial, yaaaaa, gitu deh. Kalau niatnya cari keuntungan, mendingan kantorku cari bidang lain. Nggak usah susah-susah utak-atik sampah organik.

Tapi kalau yang dicari keuntungan non materi, jelas melimpah. Kesadaran dan kesehatan warga lebih baik. Modal sosial di warga juga tumbuh pesat. Tapi yang non materi seperti ini seringkali tidak dihitung. Orang sering mengabaikan begitu saja.

Soal sampah anorganik itu, aku jadi ingat kawanku Arief. Setahun lalu membawa payung yang bahannya adalah bekas bungkus pewangi cucian. Dia membelinya dengan harga Rp 100.000. Aku sendiri pernah membeli celengan sederhana yang dirakit dari botol air mineral plus bungkus mie instan. Harganya Rp 6000. Kata yang empunya barang dagangan, kawanku sendiri, bahan dasarnya tidak lebih dari Rp 1000. Ia juga menjual pula dompet dari bungkus-bungkus kopi. Satu dompet dihargai Rp 15 ribu. Bahan dasarnya tidak lebih dari 7000. Dagangan-dagangannya laris manis.

“Ibu-ibu di Surabaya sekarang banyak yang giat mendaur ulang bungkus sabun cuci, mie instan, minyak goreng dll. Itu artinya, perusahaan mie instan, sabun cuci, minyak goreng, dan lain-lain juga diuntungkan dengan kondisi ini. Padahal semestinya tanggung jawab utama untuk mendaur ulang, ada pada perusahaan-perusahaan tersebut. Harusnya, partisipasi masyarakat di bidang lingkungan hidup ini dihargai perusahaan. Banyak cara perusahaan untuk menghargai partisipasi masyarakat ini. Aku pernah nulis opini di media massa besar untuk pemikiranku ini. Aku punya jalan keluarnya. Bagaimana agar ada timbal balik yang adil antara perusahaan dan masyarakat sehubungan dengan masalah daur ulang ini. Tapi nggak dimuat. Kata redakturnya, tulisanku kelewat keras,” ujar kawanku ini.

“Hmmm, biarpun wajahmu tampak nggak cerdas, otakmu encer juga ya,” ujarku mencandainya.

1 comment:

Yanto@megan said...

Hallo mba,

Salam hijau, saya yanto dari DML-JKT, saya pernah ketemu dengan mas Gatot dari Pusdakota waktu ada seminar di jakarta.

Mengenai tanggung jawab produsen, saya setuju banget, DML sudah mulai melakukan sejak tahun 1992, yakni Aqua, dan sekarang Tetra Pak.

Idealnya bekas kemasan yang sudah di buat oleh masyarakat di beli kembali oleh produsen. konsep ini yang kemudian di kenal dengan EPR (extended producer Responsibilities )