Sebelum aku menginjak Desa Karangbangkal, Gempol, Pasuruan untuk kepentingan riset aksi partisipatoris akhir tahun 2007, aku nggak kenal yang namanya Dalang Sulaiman. Dalang yang kutahu paling-paling Ki Mantep Sudharsono karena sering muncul di iklan televisi. Aku memang nggak banyak mengikuti dunia pedalangan karena nggak bisa mencerna bahasanya yang halus.
Sekarang aku tahu satu dalang lagi, yakni Dalang Sulaiman. Ia bilang, ia dalang Jawa Timuran. Kendati dalang Jawa Timuran, tetap saja aku nggak bisa mencerna kata-katanya di atas pentas wayangnya yang megah di sebuah desa di Pasuruan akhir-akhir ini.
Dalang Sulaiman cukup inspiratif bagiku. Pertama, karena ia sudah sepuh, kelahiran 11 November 1939, namun masih energik dan tahan mendalang mulai malam sampai pagi. Kedua, ia menjadi sandaran hidup banyak seniman-seniman desa, baik pesinden, penabuh, penari, pemelihara alat-alat kerawitan, perajin wayang, dan sebagainya. Ketiga, ini yang bagiku sangat penting, adalah pilihannya untuk mengabdikan diri sebagai dalangnya masyarakat dan orang-orang tani. Dalangnya wong cilik. Bukan dalang yang mengejar popularitas. Padahal kalau mau, ia bisa. Sebagai dalangnya masyarakat, kliennya juga masyarakat. Ia keliling dari desa ke desa, paling tidak seminggu dua kali. Kalau musim panen bisa setiap hari mendalang.
Aku menyaksikan aura dalang wong cilik yang dimilikinya begitu kental dalam sebuah pertunjukan wayang di salah satu acara tegal desa di Pasuruan. Para petani benar-benar tersihir dihiburnya. Pertunjukan dimulai hampir tengah malam sampai pagi hari. Penonton terus betah. Usia sudah senja, tapi stamina Pak Dalang begitu tinggi.
Sekarang aku tahu satu dalang lagi, yakni Dalang Sulaiman. Ia bilang, ia dalang Jawa Timuran. Kendati dalang Jawa Timuran, tetap saja aku nggak bisa mencerna kata-katanya di atas pentas wayangnya yang megah di sebuah desa di Pasuruan akhir-akhir ini.
Dalang Sulaiman cukup inspiratif bagiku. Pertama, karena ia sudah sepuh, kelahiran 11 November 1939, namun masih energik dan tahan mendalang mulai malam sampai pagi. Kedua, ia menjadi sandaran hidup banyak seniman-seniman desa, baik pesinden, penabuh, penari, pemelihara alat-alat kerawitan, perajin wayang, dan sebagainya. Ketiga, ini yang bagiku sangat penting, adalah pilihannya untuk mengabdikan diri sebagai dalangnya masyarakat dan orang-orang tani. Dalangnya wong cilik. Bukan dalang yang mengejar popularitas. Padahal kalau mau, ia bisa. Sebagai dalangnya masyarakat, kliennya juga masyarakat. Ia keliling dari desa ke desa, paling tidak seminggu dua kali. Kalau musim panen bisa setiap hari mendalang.
Aku menyaksikan aura dalang wong cilik yang dimilikinya begitu kental dalam sebuah pertunjukan wayang di salah satu acara tegal desa di Pasuruan. Para petani benar-benar tersihir dihiburnya. Pertunjukan dimulai hampir tengah malam sampai pagi hari. Penonton terus betah. Usia sudah senja, tapi stamina Pak Dalang begitu tinggi.
Aku melihat, ruang tamu di rumah pak dalang penuh tanda penghargaan, baik itu piala maupun piagam. Itu tidak termasuk yang masih disimpan. Ia bilang, kadang merasa, bukan pendokumentasi yang baik. Banyak di antara tanda penghargaannya yang ketlisut. Di antara foto-fotonya, terdapat foto-fotonya bersama mantan presiden RI Soeharto. “Dulu saya setahun sekali diundang Pak Harto untuk mendalang di Taman Mini ataupun istana,” katanya.
Sekali waktu, pas aku ke sana, ia memintaku menemaninya mengecat wayang di belakang rumah. Sementara asisten-asistennya sedang melakukan pengecekan terhadap satu per satu dari gamelan-gamelannya. Kulihat dalang tersebut mengerjakan bagian yang paling detil dari sebuah wayang. Membubuhkan titik-titik. Sangat telaten dan dilakukan tanpa kacamata. “Sampai sekarang mata saya memang masih awas,” katanya.
Ia pun berkata waktu luangnya yang sedikit selalu ia manfaatkan sebaik-baiknya. Tidak hanya untuk jalan-jalan, namun ada kalanya mengecat wayang. “Besok saya ada tanggapan. Lusa juga. Tiga hari kemudian ada lagi. Nggak berhenti-berhenti,” ujar dalang yang bertarif maksimal Rp 10 juta ini.
Lantas, pembicaraan pun mengalir mulus sampai berjam-jam sembari aku menemaninya mengecat wayang. Membahas berbagai perubahan yang melanda tanah tempat ia dilahirkan. Tentang hilangnya tanah-tanah pertanian, tentang hilangnya seni dan tradisi adiluhung, tentang apatisme masyarakat untuk hal-hal mendasar. “Kini semua diukur dengan uang,” katanya prihatin.
**
Dalang Sulaiman merupakan salah satu saksi kunci sejarah perubahan Dusun Karangbangkal, Gempol, Pasuruan. Ia lahir, besar, dan menjadi tenar lantaran Desa Karangbangkal juga. Ia bilang padaku, mencintai dengan kesungguhan dusun tersebut. Kalaupun kini, menurut versinya, Karangbangkal carut-marut – karena, kehilangan jatidiri -- cintanya tidak berubah. “Karena saya menghargai kesejarahan yang membentuk saya,” ujarnya.
Apakah semua moyangnya adalah dalang, dia tidak tahu. Yang ia tahu, kakeknya, yakni Mbah Sarman adalah dalang tenar. Ayah Sulaiman, yakni Draham yang juga dalang kenamaan pada zamannya mengisahkan padanya bahwa Mbah Sarman punya kebiasaan adus bengi ning Segara Kidul (mandi malam di Pantai Selatan).
Spirit dan jiwa seni Mbah Sarman yang senang tirakat, menurun pada Draham. Tidak itu saja, Ayah Sulaiman juga mewarisi bakat gemi. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan uang. Cita-citanya hanya agar bisa beli gamelan terbaik. Dan itu tercapai.
“Dulu, orang-orang tani di sini dan dusun-dusun sekitar sini kaya-kaya. Mereka sering nanggap wayang. Sejak di sekolah rakyat (sekarang SD), saya sudah diajak keliling ke mana pun untuk mendalang. Mungkin karena itu saya jadi cinta wayang. Sejak kecil saya bercita-cita menjadi penerus orangtua dan harus lebih baik darinya,” ujarnya.
Ada nuansa semangat dalam kata-katanya. “Saya bisa mendalang karena punya semangat belajar tinggi. Kalau dimarahi Bapak, tidak ngambek tapi justru methentheng. Bapak nggojlog saya terus-menerus. Saya disuruh mengamen terus. Biar tahu bagaimana itu rasa malu. Semua yang dilakukan Bapak pada saya, biar saya jadi dalang yang pinunjul. Sama halnya bila orang berniat puasa. Ben ketemu riyoyo (biar bertemu hari raya),” ujarnya.
Tidak puas sampai mendalang saja, Sulaiman juga belajar mengarang gendhing-gendhing. Lama-lama, kepiawaiannya ini terdengar sampai di Jakarta. Sampai akhirnya, ia menjadi dalang yang setiap tahun manggung di Jakarta. Di taman mini, istana negara, atau di tempat-tempat lain di Jakarta.
Sekalipun telah mencapai puncak ketenaran, Sulaiman berupaya terus untuk menjaga hati. Ia tidak ingin mengingkari panggilan hatinya sebagai dalang masyarakat. Sebagai dalangnya masyarakat, ia berupaya mengabdi pada masyarakat. Ia merasa tidak nyaman bila memasang tarif tinggi atau sekadar menjadi dalang proyek. “Ojo ngajeni wong-wong pangkat. Ajenono kabeh wong (jangan hanya menghargai orang berpangkat. Semua orang harus dihargai),” pesannya.
Panggilan hatinya menjadi dalang masyarakat senantiasa memanggilnya untuk membawakan lakon-lakon yang berhubungan dengan pertanian. “Saya memang melulu mendalang, tidak seperti bapak saya yang di samping mendalang, juga bertani. Namun saya merasa, sebagai anaknya orang tani, tidak pantas saya mengabaikan pertanian. Apalagi, masa kecil saya juga dekat dengan pertanian,” katanya.
Lakon-lakonnya pada saat manggung, misalnya, Pendowo Tani ataupun Anoman Tani. Dikisahkan bahwa Pandowo sengaja membabat hutan untuk tanah pertanian. Seno, tokoh Pandawa berkeinginan agar masyarakat makan secara bersama-sama. Susah dan senang dipikul sama-sama.
Dalam pergelaran-pergelarannya, Sulaiman juga banyak menampilkan ironi-ironi tentang masyarakat sekarang yang abai terhadap hal-hal yang mendasar dalam hidup. Bahkan hilangnya tanah-tanah pertanian yang berarti pula punahnya kebudayaan bercocok tanam di berbagai dusun, juga selalu ia singgung dalam pertunjukan.
Dalam berbagai kesempatan, ia senantiasa bertutur tentang pentingnya kita untuk setiap saat kembali kepada hati. “Anoman yang hidup di padepokan, semata-mata ingin bertapa. Pertapaan pasti di tempat sepi. “Topo itu ada kaitannya dengan “tapak”. Itu merupakan sarana bertobat karena setiap detik kita berdosa. Tobat itu jangan hanya pas puasa. Tidak peduli bulan apa saja, kita semestinya senantiasa minta maaf pada Tuhan,” katanya.
**
Selama dua kali pertemuan denganku, tanpa diminta, ia senantiasa menyinggung-nyinggung tentang hilangnya tanah-tanah pertanian di Karangbangkal. “Bathine mung sak kebyaran, rugine puluhan tahun,” ujarnya mengibaratkan.
“Uang itu ibarat lar. Suwiwi. Sewaktu punya uang, pikiran pasti tergoda. Maka dari itu, sebaiknya semuanya dikembalikan pada rasa. Duwit akhire entek. Sinauo maneh. Tobato.”
Kini tanah pertanian di dusunnya, Karangbangkal semakin menyusut. Mungkin sebentar lagi habis sama sekali dibeli pabrik-pabrik atau tuan tanah yang ingin menjadikannya perumahan.
Pengaruh pabrik, menurut ayah dua putra ini, tidak hanya pada jatuhnya kepemilikan tanah pada pabrik, namun pengaruh pabrik membuat warga kini tidak lagi guyup.
Tapi Sulaiman tidak patah arang. Ia tetap bersemangat menciptakan kemajuan di tengah serbuan kapitalisme yang membenamkan akar-akarnya di Karangbangkal. Di matanya, kemunduran adalah tantangan berkreativitas. “karena, dalang itu obornya rakyat,” ujarnya.
Bolak-balik ia menyerukan agar tradisi-tradisi lama yang telah pudar di Karangbangkal direvitalisasi. Ia juga bahkan bersedia menjadi motor penggerak revitalisasi itu. “Tapi selalu saja kalau berkaitan dengan uang, biar sedikit, petinggi desa di Karangbangkal bilang nggak ada dana. Untuk seni dan budaya mereka sulit mengeluarkan, namun untuk yang lain mereka mau,” katanya.
Untuk diajak berkesenian pun orang-orang setengah hati. Para pembantu Sulaiman, baik waranggono maupun yang mempersiapkan alat berasal dari luar dusun. “Karena dunia pedalangan perlu ditangani orang-orang khusus. Tidak ada orang Karangbangkal yang tergerak di bidang pedalangan. Saya terpaksa ambil orang dari daerah-daerah laim,” katanya.
Kendati masyarakat Karangbangkal apatis di bidang kesenian, namun di lubuk hatinya, Sulaiman tetap memiliki keinginan agar seni dan budaya tidak punah begitu saja dari dusun ini. Karena orang-orang dusun belum tergerak untuk dikader, ia mengkader mulai lingkup keluarga. Ia mengkader dua anak dan menantunya. Kini anaknya yang bernama Sugeng mengikuti jejaknya menjadi seniman di bidang pedalangan. Demikian pula anaknya yang nomor 2 yakni Dwi kini bergerak di manajemen pertunjukan wayang. Menantunya pun menjadi guru tari. “Saya sudah tua. Demi kemajuan kesenian di Karangbangkal, Saya berharap pada anak-anak saya,” ujarnya.
**
Karangbangkal, menurut Sulaiman berasal dari kata: “Karang” artinya pinter ngarang dan “Bangkal” berasal dari kata bakal, yakni kawitan. Jadi, Karangbangkal berarti kepandaian dan kreativitas untuk memulai sesuatu yang baru. “Tapi kepandaian dan kreativitas itu ada di masa lalu. Kini, bahkan mengajak orang untuk cinta budayanya sendiri saja sulit. Mungkin, manusia sekarang jauh dari rasa bening,” ujar Sulaiman.
Sampai dengan tahun 1965, Karangbangkal merupakan pusat kreativitas. Lebih menonjol dari desa-desa sekitarnya. Karangbangkal bahkan dijadikan kliblat budaya. Pada semua puncak penanggalan, digelar even kebudayaan. Entah itu Bada maulud, maulud, syawal, setelah syawal. Yang datang untuk menyaksikan pergelaran-pergelaran di Krangbangkal berasal dari Babat, Lamongan, Gresik, Malang, Lumajang. Kencong, bahkan sampai Jember. Dalang Sulaiman tidak pernah berhenti mendalang sampai ke daerah-daerah lain.
Gelar budaya yang biasa diadakan di Karangbangkal lewat Tegaldeso sudah dihapus pasca peristiwa pembunuhan demi pembunuhan pada G30S/PKI tahun 1965. “Orang-orang yang fanatik mendapat angin pada tahun 1965. Akibatnya, kesenian-kesenian adiluhung di desa ini hilang. Orang tidak lagi berani berkesenian karena takut,” katanya. (Alpha Savitri)*
Sekali waktu, pas aku ke sana, ia memintaku menemaninya mengecat wayang di belakang rumah. Sementara asisten-asistennya sedang melakukan pengecekan terhadap satu per satu dari gamelan-gamelannya. Kulihat dalang tersebut mengerjakan bagian yang paling detil dari sebuah wayang. Membubuhkan titik-titik. Sangat telaten dan dilakukan tanpa kacamata. “Sampai sekarang mata saya memang masih awas,” katanya.
Ia pun berkata waktu luangnya yang sedikit selalu ia manfaatkan sebaik-baiknya. Tidak hanya untuk jalan-jalan, namun ada kalanya mengecat wayang. “Besok saya ada tanggapan. Lusa juga. Tiga hari kemudian ada lagi. Nggak berhenti-berhenti,” ujar dalang yang bertarif maksimal Rp 10 juta ini.
Lantas, pembicaraan pun mengalir mulus sampai berjam-jam sembari aku menemaninya mengecat wayang. Membahas berbagai perubahan yang melanda tanah tempat ia dilahirkan. Tentang hilangnya tanah-tanah pertanian, tentang hilangnya seni dan tradisi adiluhung, tentang apatisme masyarakat untuk hal-hal mendasar. “Kini semua diukur dengan uang,” katanya prihatin.
**
Dalang Sulaiman merupakan salah satu saksi kunci sejarah perubahan Dusun Karangbangkal, Gempol, Pasuruan. Ia lahir, besar, dan menjadi tenar lantaran Desa Karangbangkal juga. Ia bilang padaku, mencintai dengan kesungguhan dusun tersebut. Kalaupun kini, menurut versinya, Karangbangkal carut-marut – karena, kehilangan jatidiri -- cintanya tidak berubah. “Karena saya menghargai kesejarahan yang membentuk saya,” ujarnya.
Apakah semua moyangnya adalah dalang, dia tidak tahu. Yang ia tahu, kakeknya, yakni Mbah Sarman adalah dalang tenar. Ayah Sulaiman, yakni Draham yang juga dalang kenamaan pada zamannya mengisahkan padanya bahwa Mbah Sarman punya kebiasaan adus bengi ning Segara Kidul (mandi malam di Pantai Selatan).
Spirit dan jiwa seni Mbah Sarman yang senang tirakat, menurun pada Draham. Tidak itu saja, Ayah Sulaiman juga mewarisi bakat gemi. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan uang. Cita-citanya hanya agar bisa beli gamelan terbaik. Dan itu tercapai.
“Dulu, orang-orang tani di sini dan dusun-dusun sekitar sini kaya-kaya. Mereka sering nanggap wayang. Sejak di sekolah rakyat (sekarang SD), saya sudah diajak keliling ke mana pun untuk mendalang. Mungkin karena itu saya jadi cinta wayang. Sejak kecil saya bercita-cita menjadi penerus orangtua dan harus lebih baik darinya,” ujarnya.
Ada nuansa semangat dalam kata-katanya. “Saya bisa mendalang karena punya semangat belajar tinggi. Kalau dimarahi Bapak, tidak ngambek tapi justru methentheng. Bapak nggojlog saya terus-menerus. Saya disuruh mengamen terus. Biar tahu bagaimana itu rasa malu. Semua yang dilakukan Bapak pada saya, biar saya jadi dalang yang pinunjul. Sama halnya bila orang berniat puasa. Ben ketemu riyoyo (biar bertemu hari raya),” ujarnya.
Tidak puas sampai mendalang saja, Sulaiman juga belajar mengarang gendhing-gendhing. Lama-lama, kepiawaiannya ini terdengar sampai di Jakarta. Sampai akhirnya, ia menjadi dalang yang setiap tahun manggung di Jakarta. Di taman mini, istana negara, atau di tempat-tempat lain di Jakarta.
Sekalipun telah mencapai puncak ketenaran, Sulaiman berupaya terus untuk menjaga hati. Ia tidak ingin mengingkari panggilan hatinya sebagai dalang masyarakat. Sebagai dalangnya masyarakat, ia berupaya mengabdi pada masyarakat. Ia merasa tidak nyaman bila memasang tarif tinggi atau sekadar menjadi dalang proyek. “Ojo ngajeni wong-wong pangkat. Ajenono kabeh wong (jangan hanya menghargai orang berpangkat. Semua orang harus dihargai),” pesannya.
Panggilan hatinya menjadi dalang masyarakat senantiasa memanggilnya untuk membawakan lakon-lakon yang berhubungan dengan pertanian. “Saya memang melulu mendalang, tidak seperti bapak saya yang di samping mendalang, juga bertani. Namun saya merasa, sebagai anaknya orang tani, tidak pantas saya mengabaikan pertanian. Apalagi, masa kecil saya juga dekat dengan pertanian,” katanya.
Lakon-lakonnya pada saat manggung, misalnya, Pendowo Tani ataupun Anoman Tani. Dikisahkan bahwa Pandowo sengaja membabat hutan untuk tanah pertanian. Seno, tokoh Pandawa berkeinginan agar masyarakat makan secara bersama-sama. Susah dan senang dipikul sama-sama.
Dalam pergelaran-pergelarannya, Sulaiman juga banyak menampilkan ironi-ironi tentang masyarakat sekarang yang abai terhadap hal-hal yang mendasar dalam hidup. Bahkan hilangnya tanah-tanah pertanian yang berarti pula punahnya kebudayaan bercocok tanam di berbagai dusun, juga selalu ia singgung dalam pertunjukan.
Dalam berbagai kesempatan, ia senantiasa bertutur tentang pentingnya kita untuk setiap saat kembali kepada hati. “Anoman yang hidup di padepokan, semata-mata ingin bertapa. Pertapaan pasti di tempat sepi. “Topo itu ada kaitannya dengan “tapak”. Itu merupakan sarana bertobat karena setiap detik kita berdosa. Tobat itu jangan hanya pas puasa. Tidak peduli bulan apa saja, kita semestinya senantiasa minta maaf pada Tuhan,” katanya.
**
Selama dua kali pertemuan denganku, tanpa diminta, ia senantiasa menyinggung-nyinggung tentang hilangnya tanah-tanah pertanian di Karangbangkal. “Bathine mung sak kebyaran, rugine puluhan tahun,” ujarnya mengibaratkan.
“Uang itu ibarat lar. Suwiwi. Sewaktu punya uang, pikiran pasti tergoda. Maka dari itu, sebaiknya semuanya dikembalikan pada rasa. Duwit akhire entek. Sinauo maneh. Tobato.”
Kini tanah pertanian di dusunnya, Karangbangkal semakin menyusut. Mungkin sebentar lagi habis sama sekali dibeli pabrik-pabrik atau tuan tanah yang ingin menjadikannya perumahan.
Pengaruh pabrik, menurut ayah dua putra ini, tidak hanya pada jatuhnya kepemilikan tanah pada pabrik, namun pengaruh pabrik membuat warga kini tidak lagi guyup.
Tapi Sulaiman tidak patah arang. Ia tetap bersemangat menciptakan kemajuan di tengah serbuan kapitalisme yang membenamkan akar-akarnya di Karangbangkal. Di matanya, kemunduran adalah tantangan berkreativitas. “karena, dalang itu obornya rakyat,” ujarnya.
Bolak-balik ia menyerukan agar tradisi-tradisi lama yang telah pudar di Karangbangkal direvitalisasi. Ia juga bahkan bersedia menjadi motor penggerak revitalisasi itu. “Tapi selalu saja kalau berkaitan dengan uang, biar sedikit, petinggi desa di Karangbangkal bilang nggak ada dana. Untuk seni dan budaya mereka sulit mengeluarkan, namun untuk yang lain mereka mau,” katanya.
Untuk diajak berkesenian pun orang-orang setengah hati. Para pembantu Sulaiman, baik waranggono maupun yang mempersiapkan alat berasal dari luar dusun. “Karena dunia pedalangan perlu ditangani orang-orang khusus. Tidak ada orang Karangbangkal yang tergerak di bidang pedalangan. Saya terpaksa ambil orang dari daerah-daerah laim,” katanya.
Kendati masyarakat Karangbangkal apatis di bidang kesenian, namun di lubuk hatinya, Sulaiman tetap memiliki keinginan agar seni dan budaya tidak punah begitu saja dari dusun ini. Karena orang-orang dusun belum tergerak untuk dikader, ia mengkader mulai lingkup keluarga. Ia mengkader dua anak dan menantunya. Kini anaknya yang bernama Sugeng mengikuti jejaknya menjadi seniman di bidang pedalangan. Demikian pula anaknya yang nomor 2 yakni Dwi kini bergerak di manajemen pertunjukan wayang. Menantunya pun menjadi guru tari. “Saya sudah tua. Demi kemajuan kesenian di Karangbangkal, Saya berharap pada anak-anak saya,” ujarnya.
**
Karangbangkal, menurut Sulaiman berasal dari kata: “Karang” artinya pinter ngarang dan “Bangkal” berasal dari kata bakal, yakni kawitan. Jadi, Karangbangkal berarti kepandaian dan kreativitas untuk memulai sesuatu yang baru. “Tapi kepandaian dan kreativitas itu ada di masa lalu. Kini, bahkan mengajak orang untuk cinta budayanya sendiri saja sulit. Mungkin, manusia sekarang jauh dari rasa bening,” ujar Sulaiman.
Sampai dengan tahun 1965, Karangbangkal merupakan pusat kreativitas. Lebih menonjol dari desa-desa sekitarnya. Karangbangkal bahkan dijadikan kliblat budaya. Pada semua puncak penanggalan, digelar even kebudayaan. Entah itu Bada maulud, maulud, syawal, setelah syawal. Yang datang untuk menyaksikan pergelaran-pergelaran di Krangbangkal berasal dari Babat, Lamongan, Gresik, Malang, Lumajang. Kencong, bahkan sampai Jember. Dalang Sulaiman tidak pernah berhenti mendalang sampai ke daerah-daerah lain.
Gelar budaya yang biasa diadakan di Karangbangkal lewat Tegaldeso sudah dihapus pasca peristiwa pembunuhan demi pembunuhan pada G30S/PKI tahun 1965. “Orang-orang yang fanatik mendapat angin pada tahun 1965. Akibatnya, kesenian-kesenian adiluhung di desa ini hilang. Orang tidak lagi berani berkesenian karena takut,” katanya. (Alpha Savitri)*
No comments:
Post a Comment