Sunday, August 31, 2008

Seandainya Tinja Orang Sedesa untuk Pupuk Organik


Belum lama ini aku cuti dan singgah di rumah kawan suamiku di Desa Sumberjati, Kademangan, Blitar. Wilayah berkapur itu sungguh sejuk. Tuan rumah adalah petani, sekaligus peternak.
Di desa itu aku sempat merasakan buang air besar di jumbleng, istilahnya orang Jawa. Tuan rumah tidak memiliki WC. Jumbleng itu lubang tempat buang air besar di kebun. Letaknya relatif jauh karena aku diantar tuan rumah melewati dua rumah dengan jarak yang relatif berjauhan satu sama lain. Jumbleng itu ada di kebun yang sangat luas.

Tempat itu kecil saja. Sekelilingnya ditutupi batu-bata yang sudah lumutan. Di dalamnya, kita menginjak tegel semen. Cuma tersisa lubang sebesar satu bata untuk kotoran. Aku ngepas-paskan agar kotoranku bisa masuk lubang. Cukup khawatir juga. Untung tinja itu sukses masuk lubang.

Saat ada di "toilet" itu, aku tidak membaui tinja. Padahal isinya jelas tinja. Apa karena ada di kebun terbuka atau karena di daerah yang tanahnya berkapur? Entahlah. Tapi aku ingat waktu kecil pernah pula pergi ke Mojokerto dan buang air di jumbleng. Baunya, sampai sekarang masih kukenang.

Aku berpikir-pikir, apa yang membuatnya tidak berbau sedangkan jumbleng serupa di kebun di sebuah desa di Mojokerto berbau. Aku melihat sekelilingku. Mungkinkah karena di sekitar jumbleng banyak pohon? Di antara berbagai macam pohon yang menyejukkan dan membawa damai di hati ini, aku hanya kenal beberapa. Selebihnya tidak. Apakah mungkin salah satu atau beberapa pohon ini yang menetralkan bau tak sedap? Aku langsung ingat kompleks pekuburan di Trunyan, Bali, tempat mayat-mayat digeletakkan begitu saja. Mayat-mayat di pekuburan ini tidak berbau busuk karena di sekitarnya terdapat pohon yang bisa menetralkan bau tidak sedap. Mungkinkah di pekarangan tempat aku buang air besar itu ada pohon sebagaimana yang ada di Trunyan? Mungkinkah ada treatment khusus dengan cara organik yang membuat juglangan tersebut ter-manage sehingga tidak pernah meledak meskipun lubangnya kecil?

Hasrat untuk bertanya-tanya soal jumbleng dan nasib tinja di dalamnya ini sesungguhnya begitu kuat dalam diriku. Namun untuk mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada si tuan rumah aku sungkan. Soalnya, kulihat, tuan rumahku juga sungkan karena aku harus pakai juglangan itu. Beberapa kali dia minta maaf soal ini padaku. Padahal aku nggak masalah. Malah bersyukur bisa mengalami sesuatu di luar kebiasaan. Pengalaman berharga seperti ini jarang kudapatkan.

Oh ya, aku kepikiran tentang jumbleng tersebut sampai sekarang. Aku agak menyesal sebenarnya, kenapa itu nggak kupotret padahal aku membawa kamera. Tinja yang ada di dalam jumbleng yang masih banyak di desa itu, sesungguhnya bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, sebagaimana yang dilakukan kantorku. Dengan sedikit instalasi, pupuk-pupuk yang berasal dari tinja bisa dipanen untuk sawah mereka. Di desa itu banyak terdapat sawah. Sayangnya, dari hasil obrolan dengan tuan rumah, mereka masih memakai metode konvensional untuk mengolah lahan. Mereka tidak bercocok tanam dengan cara-cara organik. Padahal yang organik di samping menyehatkan juga sangat irit dan arif terhadap lingkungan. Tuan rumah sesungguhnya tahu itu, namun dia bilang belum melakukan cocok tanam organik karena semua keperluan sawah adalah hasil drop-dropan.
Tinja manusia, di samping kotoran hewan, menurutku merupakan salah satu solusi kelangkaan pupuk yang kini benar-benar membawa petani di jurang kehancuran. Aku sesungguhnya ingin ngobrol lebih dalam tentang hal ini dengan tuan rumah. Aku juga pengen mendapat ilmu pertanian darinya karena separo hidupnya didedikasikan pada pertanian. Pastilah ia sangat ahli dan bisa membagikan ilmunya padaku. Sebaliknya, aku, mungkin bisa membagikan sedikit pengetahuanku tentang pupuk urine dan tinja manusia.

Sesungguhnya, alam telah menyediakan segalanya untuk semua makhluk ciptaan-Nya. Tinja pun bisa jadi berkah asal tahu pengelolaan dan pemanfaatannya. Kantorku, Pusdakota, telah mempraktikkan pengolahan urine dan tinja manusia dan hasilnya dipakai untuk menyuburkan tanah di kebun Pusdakota. Untuk tanah-tanah di desa yang subur, sebetulnya nggak perlu khawatir tentang organisme yang merugikan kesehatan, yang dibawa tinja ataupun urine. Memang ada sih, macam E-Coli. Tapi, bila bersentuhan dengan tanah subur, mereka kemungkinan besar nggak bisa hidup lama. Asal dikelola dengan baik, pasti oke.

Dari yang aku pernah baca, pemanfaatan tinja manusia sesungguhnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Tapi manusia kini sudah melupakannya. Sebagaimana kini, para petani di desa seringkali tidak tahu cara membuat kompos dari kotoran hewan maupun daun-daunan. Padahal itu warisan nenek moyang. Kini, sistem telah membuat petani terpaksa membeli pupuk sintetis atau kimia yang merusak tanah maupun ekosistem.
Kadang aku heran. Kantorku Pusdakota kebanjiran permintaan dari para petani untuk diajari membuat pupuk. Kami memfasilitasi banyak training pertanian organik untuk wilayah pedesaan. Lo, kita di kota menularkan ilmu pertanian dan pembuatan pupuk untuk orang desa? Kayaknya dunia sudah kebalik. Tapi begitulah faktanya. Berbekal model close system budidaya yang telah kami kembangkan, baik di Surabaya maupun Blitar, permintaan training datang dari berbagai desa.
Padahal kami, staf Pusdakota, justru lebih banyak belajar dari para sesepuh desa-desa mana pun yang masih ingat tentang bagaimana membuat kompos. Kami belajar dari praktisi-praktisi pertanian organik yang mau berbagi ilmu. Apa yang kami dengar, kami rekam, praktikkan dan kami uji terus-menerus. Itu yang kemudian kami tularkan lagi ke saudara-saudara kami, petani di desa. Tidak saja secara teknis kami berbagi tentang pertanian organik, tapi juga soal spirit karena justru ini yang harus menjadi perhatian utama. (Alpha Savitri)

Saturday, August 30, 2008

Urine Kawan-kawanku untuk Bayi Padi


Tanggal 29 Agustus 2009, bayi-bayi padiku yang semakin bertumbuh, kemarin siang memperoleh "vaksin vitamin". Vaksinnya bukan dari bakteri cair hasil fermentasiku, melainkan urine manusia. Lho, kok? Hmmm, ya, urine-nya kawan-kawanku yang ditampung dalam wadah khusus dan sudah berdiam di situ selama tiga bulan. Kantorku Pusdakota memang memiliki instalasi sanitasi ekologis yang memisahkan urine dengan tinja di septictank WC. Tinja dan urine dikelola untuk dijadikan pupuk, baik pupuk padat maupun cair. Urine dan tinja tersebut oleh Mas Gunawan, Mas Koko, Mas Parwito, dan Mas Ade yang biasa mengurus tanaman, dipakai untuk memupuk sayur.

Itu terjadi secara nggak sengaja. Habis makan siang di kantor, aku cangkrukan di dekat kebun Pusdakota, cari angin segar. Aku ngobrol ngalor-ngidul tentang pembibitan tanaman. Lantas, Mas Gun punya ide untuk menambahkan urine yang telah mengendap tiga bulan itu pada tanah untuk bayi padiku. Aku pikir-pikir sejenak, akhirnya aku setuju. Ide itu menurutku luar biasa karena urine manusia, seperti halnya tinja, banyak mengandung nitrogen yang berguna untuk pertumbuhan tanaman. Siapa tahu padi-padi itu lekas besar. Setelah lahan kusiangi dengan hati-hati dan kubasahi air sumur. Hmmm, urine di wadah yang dipegang Mas Gun itu sudah tiga bulan usianya. Itu urine kawan-kawanku. Warnanya putih dan tidak berbau. Mas Gun membasahi lahan itu dengan urine. Hati-hati sekali, dari salah satu pojokan petak sempit yang kubikin sawah. Waktu itu kulihat dua kaki seribu sedang kawin di petak sawah. Mula-mula tak terusik air urine yang terus menggenang, lantas saat genangan agak tinggi, mereka mengapung-apung. Tapi satu sama lain tak terpisah. Siang-siang lagi. Kok Nggak malu ya. (Alpha Savitri)

Tuesday, August 26, 2008

Batu Ganesha Kuno yang Sendirian

Ganesha kini sendirian. Patung Kala yang biasanya menemani di sebelahnya raib dicuri.
===========
Pergi ke situs-situs Purbakala kadang jadi pengisi waktu luang yang menyenangkan bagiku. Saat tiba di lokasi, aku sering membayang-bayangkan bagaimana situs purbakala yang kukunjungi itu bermakna di masa lalu. Aku juga membayangkan bagaimana orang-orang tempo dulu memperlakukan candi, misalnya, pastilah penuh rasa hormat karena di situ bersemayam dewa-dewi yang mereka hormati.

Kota Blitar yang sering kukunjungi, kaya akan situs purbakala. Sayangnya kalau pas ke Blitar, seringkali aku nggak sempat mengunjunginya karena aku ke Blitar dengan urusan yang lain.

Suamiku yang asal Kota Blitar pernah cerita, saat dia masih kecil, rumah di kampung-kampung di Blitar banyak memiliki batu-batu yang dia tengarai peninggalan-peninggalan kuno. Barang-barang kuno itu bahkan seringkali dianggap tidak punya nilai. Tetangganya, misalnya, pernah punya batu berwujud Ganesha dengan ukiran sangat halus. Tapi batu itu mungkin hanya dianggap batu karena diletakkan begitu saja di muka pagar rumah. Semua orang menganggapnya biasa saja. Sering dikorek-korek anak-anak bila bermain. Sering pula buat mengasah pisau. Diduduki pun tidak sekali dua kali. ”Kalau tujuh belasan, jalan-jalan di kampung dan pagar-pagar dicat. Batu Ganesha itu pun ikut dicat,” kenang suamiku.

Pernah suamiku bertanya pada tetangganya, pemilik batu Ganesha itu. Jawabnya, batu itu dimilikinya turun temurun. Nggak tahu asalnya dari mana. Kini batu Ganesha itu tak lagi berdiam di depan pagar rumah, entah di mana pemiliknya menaruh. Apakah membuangnya? Entahlah.

Suamiku lebih lanjut bercerita, dulu, di sungai-sungai di sekitar Blitar, tempat bermainnya saat kecil, banyak ditemukan batu serupa reruntuhan candi. Ada yang berukir halus segala. ”Aku masih ingat, dulu sering duduk di batu berukir. Mungkin itu batunya candi,” katanya.

Aku antusias mendengar dan ingin tahu apakah batu-batu itu masih ada di tempatnya. Hmmm, siapa tahu, suatu saat, kalau sudah nggak repot, aku bisa menelusuri kali-kali itu.

Dari yang kuketahui di referensi, di kota ini, misalnya, paling tidak ada 12 candi. Maksud hati sih pengen mengunjungi semuanya. Tapi apa daya belum sempat-sempat juga. Yang pernah aku kunjungi hanya dua. Candi Penataran dan Candi Simping. Candi Penataran terakhir kali kukunjungi mungkin lima tahun lalu. Kalau Candi Simping barusan kukunjungi pada 23 Agustus 2008 lalu. Setelah mengunjungi Candi Simping di Sumberjati, Kademangan, Blitar, aku juga mengunjungi patung Ganesha di Tuliskriyo, Sanankulon.

Candi Simping persis yang kuperkirakan. Cuma berupa puing-puing sebagaimana yang pernah kubaca. Aku berkunjung ke sana bersama suamiku sekitar pukul 09.00 WIB. Candi itu dikitari tanah pekarangan yang cukup luas. Tapi beda dengan candi Hindu pada umumnya, pintu Candi Simping tidak menghadap ke Barat, namun ke Selatan. Ternyata, dulunya candi ini menghadap Barat. Tapi sekarang, berbatasan dengan pekarangan orang sehingga candi tersebut dihadapkan di Selatan.

Sesungguhnya, museum nasional sudah memiliki desain konstruksi candi tersebut, sebelum jadi reruntuhan seperti sekarang. Kendati desain tersebut sudah ada, namun toh belum juga dipugar. Ada bagian terpenting dari candi itu yang kini ada di museum nasional.

Di lokasi patung Ganesha, aku melihat patung itu berdiri sendirian di bawah rindangnya pohon sawo yang waktu itu sedang berbuah lebat. Di sebelahnya sudah tak ada lagi patung Kala yang biasa menemaninya. Beberapa bulan lalu, patung Kala dicuri dari tempatnya, di samping Patung Ganesha. Pencurinya diperkirakan dua orang, menyamar akan bersemedi. Setelah diizinkan bersemedi, patung itu dicuri.

Kejadian demi kejadian sebagaimana di atas membuatku berpikir tentang makna kesejarahan. Berbagai kejadian mengisyaratkan, kita sedang tak ambil pusing dengan sejarah. Kita lupa kalau kita manusia, pasti memiliki nenek moyang. Nenek moyang kita memiliki kebanggaan.

Sejarah memang masa lalu. Tapi masa lalu bukan berarti tak berguna. Masa lalu adalah cermin kita untuk melangkah. Kaca benggala, menurut Salman Nurdin, sobatku yang telah tiada. Ya, sejarah itu untuk menapak jalan. Meluruskan jalan kita yang mungkin agak bengkok-bengkok dikit. Sejarah itu untuk berbenah.

Yang jadi pertanyaan buat diriku sendiri, seberapa jauh aku bisa menangkap makna dari sejarah hidupku? (Alpha Savitri)

Monday, August 25, 2008

Akhirnya, Pupuk Cair Hanya untuk Padi dalam Pot


Wah, sayang meski sudah kufoto dari berbagai angle, di petak lahan kecil itu, padinya nggak bisa tampak. Ha ha ha, kamera yang kupakai cuma yang standar, jadi nggak nembus. So.. bayangkan saja di situ ada padi-padiku.


Tanggal 25 Agustus 2008. Padi-padiku di halaman depan kantor kulihat tumbuh bagus, sejak pindah dari tempat persemaian tanggal 19 Agustus 2008 lalu. Daun-daunnya lurus menantang matahari. Ada 46 buah dengan ketinggian antara 11-16 cm. Aku berharap, pertumbuhannya akan semakin baik dari hari ke hari. Oh ya, dalam tulisanku beberapa waktu lalu sudah kusebutkan kalau aku menanamnya tidak secara bergerombol sebagaimana kebanyakan petani sekarang. Aku menanamnya satu per satu dan masing-masing kuberi jarak sekitar 25 – 30 cm.

Tiga hari berturut-turut kutinggal cuti. Hari ini sebetulnya aku agak khawatir, jangan-jangan kering. Ternyata tidak. Mas Gun pasti terus menyirami sebidang tanah mini tempat tumbuhnya padiku itu biar nggak kupesan. Mas Gun punya spirit melayani yang tulus. Aku bisa merasakannya. Tidak kuminta pun dia pasti tahu.

Kulihat juga bayi padiku di dua pot di halaman belakang kantorku. Aman. Tidak kering. Pasti Ucup, Wajib, dan Bangkit terus menyiraminya. Aku memang berpesan khusus pada mereka untuk menyirami bayi-bayi padiku di halaman belakang kantor bila aku tidak masuk. Mereka menolongku.

Sebetulnya, hari ini aku sudah menyiapkan pupuk cair bikinanku untuk kualirkan di tanah-tanah tempat aku menanam padi itu. Tapi melihat pertumbuhan padiku yang menurutku lumayan, aku menimbang-nimbang. Oh, ternyata, kotoran kambing memang berkhasiat. Pikirku, lebih baik pupuk cair kuberikan untuk bayi padiku dalam pot saja. Mungkin nanti bisa kulihat perbedaannya, mana yang lebih bagus tumbuhnya, dikasih pupuk cair bikinanku atau kotoran kambing.

Untuk lahan, hari itu hanya kuairi. Ada dua batang yang tumbuhnya nggak lurus kuluruskan. Tanah-tanah di sekitarnya kusiangi dan kukorek dengan sebilah bambu agar air mudah meresap. Untuk proses ini, aku sangat berhati-hati. Takut akarnya putus.

Untuk bayi padi yang di dua pot, aku juga meluruskan batangnya karena angin telah membuat bayi padi yang masih ringkih itu tidak lagi selurus saat aku menanamnya. Aku menyiangi tanah-tanah di seputar padi itu. Setelah itu, pupuk cair bikinanku kuberikan dengan komposisi 1:15 sebagaimana yang dinasihatkan Pak Sobirin dalam blognya. (Penggunaan pupuk cair organik bikinan sendiri sudah menjadi tradisiku untuk tanamanku di rumah, namun dengan perbandingan yang lebih kental. Ini ada resep yang sudah dibuktikan keampuhannya oleh pemiliknya yakni 1:15. Aku ingin mencobanya).

Bayi padi dalam pot tersebut, masing-masing 11 dan 19 cm. Pertumbuhan keduanya begitu njomplang. Mungkin karena penyinaran juga. Untuk bayi padi yang tingginya 11 cm mungkin penyinarannya tidak sebagus yang 19 cm. Aku mau memindahkan tapi nggak kuat. Mungkin besok kuminta bantuan kawan-kawan yang berotot kawat untuk memindahnya di tempat yang memiliki sinar bagus. (Alpha Savitri)

Artikelnya Iman

Artikel tentang Wahana Bina Patria (Wana Patria) ini ditulis Iman D Nugroho dan dimuat di The Jakarta Post. Iman itu jurnalis di The Jakarta Post. Dia kawan lamaku pas aku jadi jurnalis di sebuah tabloid. Waktu Grand Launching Wana Patria pada 23 Juli 2007 lalu, dia telepon aku dengan formal,” Mbak Vitri, aku dapat penugasan untuk meliput Wana Patria.” Aku tertawa dalam hati. AKu tahu dia Iman tapi dia nggak tahu yang ditelepon adalah kawannya juga. Aku pun lantas menjawab secara formal,” Silakan, Mas, nanti kita ketemu di sana. Perkenalkan, saya Vitri.” Setelah ketemu, dia hanya bisa bilang,” Wah.. wah.. wah..” Kepalanya yang bulat digeleng-gelengkannya. Ini artikelnya:
Environmental Awareness Project: Blitar, East Java

A new effort is underway in Blitar, East Java, to improve the environmental awareness of residents through an environmental teaching project called Rumah Belajar Kearifan Lingkungan.
Spearheaded by the Yosep Foundation and the Urban Community Empowerment Center (Pusdakota) at Surabaya University, the facility, officially inaugurated on July 23, is envisioned as a place where people from all walks of life can come and learn about the environment.
The project has existed in embryonic form since 2005, when the idea was first proposed for establishing an environmentally based program.
At the time, however, there were not enough qualified people to get the project off the ground.
Pusdakota, which is concerned with similar issues, revived the idea.
“We discussed the matter with Pusdakota and we both agreed to realize the program,” Yosep Foundation chairwoman Sister Anastasia said.
They conducted in-depth studies and ultimately found a location for the facility, at the Santa Maria Catholic elementary school in Blitar. The school, founded in 1927, was chosen because it has sufficient land. “There is a 1.5 hectare park at our disposal,” said Anastasia.It took Pusdakota two years to get Rumah Belajar Kearifan Lingkungan launched.
Under the shade of some trees, beyond the Catholic school, sit a new compost and waste management building, areas for organic farm cultivation and livestock breeding, as well as facilities for outdoor activities.
Several older trees in the area were removed because they were at risk of toppling, and were replaced by a lawn and plots for cultivating plants. The facility is seen as an opportunity to bring a new level of environmental awareness to the people of the city. “The older generation in Blitar is less aware of the environment, that’s why the only hope we have is the younger generation,” Blitar Mayor Djarot Saiful Hidayat said.

Djarot believes the amount of waste produced by the city can be cut in half if residents implement waste management programs like the ones taught at the new facility. “Conditions could gradually improve in the long run because the younger generation will grow up to be adults who are aware of the environment,” he said.

The city has attempted to introduce environmental issues into local schools but has had little success, partly due to the inflexibility of the education system.
Pusdakota vice director Nila Mardiana said the group introduced a program to state-run schools in Surabaya but it was not well received by those in the education bureaucracy. “Unfortunately, the schools lacked the commitment to continue with the program after we left,” said Nila, adding that a fresh mind-set is key to introducing environmentally based education to students.
Santa Maria principal Sister Elfrida said the school had introduced environmental education even before the arrival of the new facility. “It’s actually simple … we will ask the students to go to the park to learn about flowers, the soil and other things during biology lessons,” she said.
Some students may initially shun the lessons, she said, but eventually they will learn to appreciate the “wonders” of nature. “I’ve seen a student quietly plant a seed in the garden in front of the class. He watered the seed every day until it finally sprouted. It’s simple yet something which we can be proud of,” Elfrida said.

Sunday, August 24, 2008

Kuntul di Pohon Beringin Kota Blitar

Kota Blitar yang sering kukunjungi masih menyisakan banyak situs hijau yang tidak dimiliki kota-kota lain di Jawa, seperti Surabaya dan Jakarta. Di antara situs hijau di kota ini yang kusukai di Kota ini adalah pohon-pohon beringin masih dibiarkan tumbuh, berkembang, dan menjadi dewasa, di jalan-jalan utama di kota ini. Pohon-pohon itu penuh akar-akar yang di mataku sangat eksotik. Lokasi pohon beringin yang kusukai adalah di Alun-alun Kota Blitar. Di lingkungan ini, tidak cuma ada satu beringin, namun lebih dari sepuluh. Empat di antaranya berdiam di pinggir jalan utama, tidak di dalam pagar alun-alun.
Aku benar-benar merasa homey bila melintasi pohon-pohon beringin di alun-alun. Menurutku, seharusnya, begitulah sebuah kota dikelola. Tetap memperhitungkan keberadaan pohon-pohon. Tidak mengalahkannya demi kepentingan manusia yang seringkali tidak berpikir secara berkelanjutan.
Pohon-pohon beringin di alun-alun merupakan rumah yang nyaman bagi para burung. Yang sangat banyak berteduh di sini adalah para serangga. Banyak pula burung yang kata orang Jawa adalah kuntul (burung bangau). Kuntul-kuntul ini, dengan jumlah, mungkin ribuan, menjelang maghrib pulang berbondong-bondong. Yang terbanyak dari arah barat. Sungguh pemandangan yang elok. Saking banyaknya burung-burung yang bermukim di pohon beringin dekat alun-alun, hidung kita akan merespon bau alami burung dan kotorannya. Aku tidak terganggu dengan bau burung dan kotorannya. Di Surabaya, aku justru jarang mencium karunia Allah berupa bau burung. Yang kucium di jalanan di kota pahlawan adalah sisa asap kendaraan yang sangat menyesakkan.
Maka, bila aku melintasi pohon-pohon beringin dan mencium bau khas burung dan kotorannya, seringkali aku disekap perasaan takjub. Oh ya, bila kita melongok ke atas, ke arah daun-daun beringin, sebagian daun itu tampak berwarna pucat. Tidak hijau. Ya, daun yang pucat tersebut pastinya pernah atau sering menjadi tempat kotoran burung-burung. Kotoran-kotoran itu bahkan tidak saja hinggap di daun yang lebat, ranting, atau batang dan sulur-sulur beringin, namun juga sampai ke jalan-jalan. Untungnya, jalan-jalan yang terkena tai burung tersebut selalu lekas dibersihkan oleh petugas sehingga tidak sampai terkesan jorok.
Pohon-pohon beringin itu, entah berapa kini usianya, kuharap tetap berdiam di situ, tidak ditebangi atas nama pembangunan. Kuharap beringin-beringin itu tetap jadi tempat yang nyaman bagi para burung. Para burung tidak risau karena tempat tinggal mereka hilang ataupun mereka terancam bedil-bedil perusak lingkungan.
Sungguh, sekali lagi aku katakan, aku nyaman berada di Kota Blitar, salah satunya karena beringin-beringinnya yang melindungi hewan-hewan yang kini semakin langka, seperti burung kuntul. Di seputaran Surabaya, burung kuntul ditembaki. Malahan, pernah ada restoran burung kuntul yang kini, entah kenapa telah tutup.
Apa Kota Blitar masih senyaman sekarang bila nantinya pohon-pohon besarnya telah tiada (Alpha Savitri)*

Dalang Sulaiman Penghibur Kaum Tani


Sebelum aku menginjak Desa Karangbangkal, Gempol, Pasuruan untuk kepentingan riset aksi partisipatoris akhir tahun 2007, aku nggak kenal yang namanya Dalang Sulaiman. Dalang yang kutahu paling-paling Ki Mantep Sudharsono karena sering muncul di iklan televisi. Aku memang nggak banyak mengikuti dunia pedalangan karena nggak bisa mencerna bahasanya yang halus.

Sekarang aku tahu satu dalang lagi, yakni Dalang Sulaiman. Ia bilang, ia dalang Jawa Timuran. Kendati dalang Jawa Timuran, tetap saja aku nggak bisa mencerna kata-katanya di atas pentas wayangnya yang megah di sebuah desa di Pasuruan akhir-akhir ini.

Dalang Sulaiman cukup inspiratif bagiku. Pertama, karena ia sudah sepuh, kelahiran 11 November 1939, namun masih energik dan tahan mendalang mulai malam sampai pagi. Kedua, ia menjadi sandaran hidup banyak seniman-seniman desa, baik pesinden, penabuh, penari, pemelihara alat-alat kerawitan, perajin wayang, dan sebagainya. Ketiga, ini yang bagiku sangat penting, adalah pilihannya untuk mengabdikan diri sebagai dalangnya masyarakat dan orang-orang tani. Dalangnya wong cilik. Bukan dalang yang mengejar popularitas. Padahal kalau mau, ia bisa. Sebagai dalangnya masyarakat, kliennya juga masyarakat. Ia keliling dari desa ke desa, paling tidak seminggu dua kali. Kalau musim panen bisa setiap hari mendalang.

Aku menyaksikan aura dalang wong cilik yang dimilikinya begitu kental dalam sebuah pertunjukan wayang di salah satu acara tegal desa di Pasuruan. Para petani benar-benar tersihir dihiburnya. Pertunjukan dimulai hampir tengah malam sampai pagi hari. Penonton terus betah. Usia sudah senja, tapi stamina Pak Dalang begitu tinggi.
Aku melihat, ruang tamu di rumah pak dalang penuh tanda penghargaan, baik itu piala maupun piagam. Itu tidak termasuk yang masih disimpan. Ia bilang, kadang merasa, bukan pendokumentasi yang baik. Banyak di antara tanda penghargaannya yang ketlisut. Di antara foto-fotonya, terdapat foto-fotonya bersama mantan presiden RI Soeharto. “Dulu saya setahun sekali diundang Pak Harto untuk mendalang di Taman Mini ataupun istana,” katanya.

Sekali waktu, pas aku ke sana, ia memintaku menemaninya mengecat wayang di belakang rumah. Sementara asisten-asistennya sedang melakukan pengecekan terhadap satu per satu dari gamelan-gamelannya. Kulihat dalang tersebut mengerjakan bagian yang paling detil dari sebuah wayang. Membubuhkan titik-titik. Sangat telaten dan dilakukan tanpa kacamata. “Sampai sekarang mata saya memang masih awas,” katanya.

Ia pun berkata waktu luangnya yang sedikit selalu ia manfaatkan sebaik-baiknya. Tidak hanya untuk jalan-jalan, namun ada kalanya mengecat wayang. “Besok saya ada tanggapan. Lusa juga. Tiga hari kemudian ada lagi. Nggak berhenti-berhenti,” ujar dalang yang bertarif maksimal Rp 10 juta ini.

Lantas, pembicaraan pun mengalir mulus sampai berjam-jam sembari aku menemaninya mengecat wayang. Membahas berbagai perubahan yang melanda tanah tempat ia dilahirkan. Tentang hilangnya tanah-tanah pertanian, tentang hilangnya seni dan tradisi adiluhung, tentang apatisme masyarakat untuk hal-hal mendasar. “Kini semua diukur dengan uang,” katanya prihatin.

**

Dalang Sulaiman merupakan salah satu saksi kunci sejarah perubahan Dusun Karangbangkal, Gempol, Pasuruan. Ia lahir, besar, dan menjadi tenar lantaran Desa Karangbangkal juga. Ia bilang padaku, mencintai dengan kesungguhan dusun tersebut. Kalaupun kini, menurut versinya, Karangbangkal carut-marut – karena, kehilangan jatidiri -- cintanya tidak berubah. “Karena saya menghargai kesejarahan yang membentuk saya,” ujarnya.

Apakah semua moyangnya adalah dalang, dia tidak tahu. Yang ia tahu, kakeknya, yakni Mbah Sarman adalah dalang tenar. Ayah Sulaiman, yakni Draham yang juga dalang kenamaan pada zamannya mengisahkan padanya bahwa Mbah Sarman punya kebiasaan adus bengi ning Segara Kidul (mandi malam di Pantai Selatan).

Spirit dan jiwa seni Mbah Sarman yang senang tirakat, menurun pada Draham. Tidak itu saja, Ayah Sulaiman juga mewarisi bakat gemi. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan uang. Cita-citanya hanya agar bisa beli gamelan terbaik. Dan itu tercapai.

“Dulu, orang-orang tani di sini dan dusun-dusun sekitar sini kaya-kaya. Mereka sering nanggap wayang. Sejak di sekolah rakyat (sekarang SD), saya sudah diajak keliling ke mana pun untuk mendalang. Mungkin karena itu saya jadi cinta wayang. Sejak kecil saya bercita-cita menjadi penerus orangtua dan harus lebih baik darinya,” ujarnya.

Ada nuansa semangat dalam kata-katanya. “Saya bisa mendalang karena punya semangat belajar tinggi. Kalau dimarahi Bapak, tidak ngambek tapi justru methentheng. Bapak nggojlog saya terus-menerus. Saya disuruh mengamen terus. Biar tahu bagaimana itu rasa malu. Semua yang dilakukan Bapak pada saya, biar saya jadi dalang yang pinunjul. Sama halnya bila orang berniat puasa. Ben ketemu riyoyo (biar bertemu hari raya),” ujarnya.

Tidak puas sampai mendalang saja, Sulaiman juga belajar mengarang gendhing-gendhing. Lama-lama, kepiawaiannya ini terdengar sampai di Jakarta. Sampai akhirnya, ia menjadi dalang yang setiap tahun manggung di Jakarta. Di taman mini, istana negara, atau di tempat-tempat lain di Jakarta.

Sekalipun telah mencapai puncak ketenaran, Sulaiman berupaya terus untuk menjaga hati. Ia tidak ingin mengingkari panggilan hatinya sebagai dalang masyarakat. Sebagai dalangnya masyarakat, ia berupaya mengabdi pada masyarakat. Ia merasa tidak nyaman bila memasang tarif tinggi atau sekadar menjadi dalang proyek. “Ojo ngajeni wong-wong pangkat. Ajenono kabeh wong (jangan hanya menghargai orang berpangkat. Semua orang harus dihargai),” pesannya.

Panggilan hatinya menjadi dalang masyarakat senantiasa memanggilnya untuk membawakan lakon-lakon yang berhubungan dengan pertanian. “Saya memang melulu mendalang, tidak seperti bapak saya yang di samping mendalang, juga bertani. Namun saya merasa, sebagai anaknya orang tani, tidak pantas saya mengabaikan pertanian. Apalagi, masa kecil saya juga dekat dengan pertanian,” katanya.

Lakon-lakonnya pada saat manggung, misalnya, Pendowo Tani ataupun Anoman Tani. Dikisahkan bahwa Pandowo sengaja membabat hutan untuk tanah pertanian. Seno, tokoh Pandawa berkeinginan agar masyarakat makan secara bersama-sama. Susah dan senang dipikul sama-sama.

Dalam pergelaran-pergelarannya, Sulaiman juga banyak menampilkan ironi-ironi tentang masyarakat sekarang yang abai terhadap hal-hal yang mendasar dalam hidup. Bahkan hilangnya tanah-tanah pertanian yang berarti pula punahnya kebudayaan bercocok tanam di berbagai dusun, juga selalu ia singgung dalam pertunjukan.

Dalam berbagai kesempatan, ia senantiasa bertutur tentang pentingnya kita untuk setiap saat kembali kepada hati. “Anoman yang hidup di padepokan, semata-mata ingin bertapa. Pertapaan pasti di tempat sepi. “Topo itu ada kaitannya dengan “tapak”. Itu merupakan sarana bertobat karena setiap detik kita berdosa. Tobat itu jangan hanya pas puasa. Tidak peduli bulan apa saja, kita semestinya senantiasa minta maaf pada Tuhan,” katanya.

**

Selama dua kali pertemuan denganku, tanpa diminta, ia senantiasa menyinggung-nyinggung tentang hilangnya tanah-tanah pertanian di Karangbangkal. “Bathine mung sak kebyaran, rugine puluhan tahun,” ujarnya mengibaratkan.

“Uang itu ibarat lar. Suwiwi. Sewaktu punya uang, pikiran pasti tergoda. Maka dari itu, sebaiknya semuanya dikembalikan pada rasa. Duwit akhire entek. Sinauo maneh. Tobato.”

Kini tanah pertanian di dusunnya, Karangbangkal semakin menyusut. Mungkin sebentar lagi habis sama sekali dibeli pabrik-pabrik atau tuan tanah yang ingin menjadikannya perumahan.

Pengaruh pabrik, menurut ayah dua putra ini, tidak hanya pada jatuhnya kepemilikan tanah pada pabrik, namun pengaruh pabrik membuat warga kini tidak lagi guyup.

Tapi Sulaiman tidak patah arang. Ia tetap bersemangat menciptakan kemajuan di tengah serbuan kapitalisme yang membenamkan akar-akarnya di Karangbangkal. Di matanya, kemunduran adalah tantangan berkreativitas. “karena, dalang itu obornya rakyat,” ujarnya.

Bolak-balik ia menyerukan agar tradisi-tradisi lama yang telah pudar di Karangbangkal direvitalisasi. Ia juga bahkan bersedia menjadi motor penggerak revitalisasi itu. “Tapi selalu saja kalau berkaitan dengan uang, biar sedikit, petinggi desa di Karangbangkal bilang nggak ada dana. Untuk seni dan budaya mereka sulit mengeluarkan, namun untuk yang lain mereka mau,” katanya.

Untuk diajak berkesenian pun orang-orang setengah hati. Para pembantu Sulaiman, baik waranggono maupun yang mempersiapkan alat berasal dari luar dusun. “Karena dunia pedalangan perlu ditangani orang-orang khusus. Tidak ada orang Karangbangkal yang tergerak di bidang pedalangan. Saya terpaksa ambil orang dari daerah-daerah laim,” katanya.

Kendati masyarakat Karangbangkal apatis di bidang kesenian, namun di lubuk hatinya, Sulaiman tetap memiliki keinginan agar seni dan budaya tidak punah begitu saja dari dusun ini. Karena orang-orang dusun belum tergerak untuk dikader, ia mengkader mulai lingkup keluarga. Ia mengkader dua anak dan menantunya. Kini anaknya yang bernama Sugeng mengikuti jejaknya menjadi seniman di bidang pedalangan. Demikian pula anaknya yang nomor 2 yakni Dwi kini bergerak di manajemen pertunjukan wayang. Menantunya pun menjadi guru tari. “Saya sudah tua. Demi kemajuan kesenian di Karangbangkal, Saya berharap pada anak-anak saya,” ujarnya.


**

Karangbangkal, menurut Sulaiman berasal dari kata: “Karang” artinya pinter ngarang dan “Bangkal” berasal dari kata bakal, yakni kawitan. Jadi, Karangbangkal berarti kepandaian dan kreativitas untuk memulai sesuatu yang baru. “Tapi kepandaian dan kreativitas itu ada di masa lalu. Kini, bahkan mengajak orang untuk cinta budayanya sendiri saja sulit. Mungkin, manusia sekarang jauh dari rasa bening,” ujar Sulaiman.

Sampai dengan tahun 1965, Karangbangkal merupakan pusat kreativitas. Lebih menonjol dari desa-desa sekitarnya. Karangbangkal bahkan dijadikan kliblat budaya. Pada semua puncak penanggalan, digelar even kebudayaan. Entah itu Bada maulud, maulud, syawal, setelah syawal. Yang datang untuk menyaksikan pergelaran-pergelaran di Krangbangkal berasal dari Babat, Lamongan, Gresik, Malang, Lumajang. Kencong, bahkan sampai Jember. Dalang Sulaiman tidak pernah berhenti mendalang sampai ke daerah-daerah lain.

Gelar budaya yang biasa diadakan di Karangbangkal lewat Tegaldeso sudah dihapus pasca peristiwa pembunuhan demi pembunuhan pada G30S/PKI tahun 1965. “Orang-orang yang fanatik mendapat angin pada tahun 1965. Akibatnya, kesenian-kesenian adiluhung di desa ini hilang. Orang tidak lagi berani berkesenian karena takut,” katanya. (Alpha Savitri)*

Saturday, August 23, 2008

Menanam dengan Hati


Apa pun yang ditanam oleh kawan-kawan tim Wahana Bina Patria (Wana Patria) Blitar pasti tumbuh subur, entah itu sayuran, tanaman hias, ataupun buah-buahan. Bahkan Kota Blitar yang kata orang-orang pertanian, tidak bagus untuk bertanam sayur semacam bunga kol, kailan dan wortel, ketiganya justru tumbuh subur di Wana Patria, baik di musim hujan maupun musim kemarau.

Wortel Wana Patria, kata pelanggan sayuran organik yang fanatik dengan sayur-sayuran yang dihasilkan rumah Belajar Kearifan Lingkungan di Blitar tersebut manis dan gurih. Lebih berasa daripada wortel yang dibeli di pasar. Baik yang besar maupun yang kecil, wortel-wortel tersebut langsung ludes bila Wana Patria mengumumkan panen wortel.

Kailan Wana Patria pun punya kualitas yang tidak kalah dengan kailan yang dihasilkan di daerah dingin. Aku sangat fanatik dengan kailannya Wana Patria. Rasanya kremes-kremes dan kalau dimasak tidak cepat layu. Aku paling suka kalau Kailan dipotong tipis-tipis, digule. Lebih-lebih kalau yang masak Mbak Tantri, istri Pak Alex. Suami istri ini sama sepertiku, menjadi simpatisan dan relawan di rumah belajar ini. Makanya, kalau pulang ke Surabaya aku pasti bawa kailan. (Hee… nggak kailan tok, yang kubawa. Aku biasanya juga memboyong sawi daging putih dan hijau).

Aku jadi ingat. Pernah aku melayani pembeli sayur yang ingin beli kangkung. Ini kali pertama dia ke Wana Patria. Dia tanya harga dan aku menyebutkan.

“Lo, Mbak, kok lebih mahal dari harga di pasar,” katanya. Kubilang, nanti kalau harga sayur di pasar naik, harga sayur di Wana Patria nggak ikut naik. Aku jelaskan pula kalau sayur yang ditanam secara organik, di samping sehat, awet, juga enak di lidah.

Dia menyatakan ingin membeli sayuran dua kilo. Jenisnya bervariasi.

“Kok banyak sekali, Pak?” tanyaku.

“Ya, keluarga saya suka sayuran,” jawabnya.

Beberapa bulan kemudian, pas aku ke Blitar, bertemu dengannya. Rupanya dia sekarang jadi penggemar fanatik sayuran organik. Dia bilang,” Wah, Mbak benar juga. Meskipun harga sayuran di pasar naik banyak, sayur di Wana Patria nggak ikut naik. Rasanya juga kremes-kremes seperti yang Mbak bilang. Kalau dimasak, nggak cepat layu. Beli sedikit saja sudah cukup buat keluarga saya. Kami jadi kecanduan,” katanya.

Oh ya, aku pernah bertanya pada Mas Albert, penanggung jawab kebun sayuran Wana Patria. Apa sih resepnya hingga sayur mayur di Wana Patria, satu pohonnya sangat berat. Bahkan ada yang beratnya sekilo segala.

Apa jawabnya?
Cuma senyum dan bilang,” Menanam sayur harus dengan hati agar hasilnya baik.”

Ya, untuk terjun di bidang pangan organik, yang perlu kita siapkan, mungkin, pikiran yang organik pula, ya, Mas. Pikiran yang selaras dengan keinginan alam semesta. Pikiran yang bersih, sesuai dengan kata hati. Kalau sudah begitu, kita selalu ingin berbuat yang terbaik. Apa pun kita lakukan. tangan kita pun jadi dingin. Dan tanaman apa pun yang kita tanam pasti tumbuh dan berkembang dengan baik. (Alpha Savitri) *





Saudara-saudaraku, Bidan Wana Patria Blitar


Foto di atas merupakan lahan Wahana Bina Patria (Wana Patria) pada masa awal-awal penggarapan. Sampai kini konsep mandala pada lahan tetap dipertahankan.


Wahana Bina Patria biasa disingkat Wana Patria. Kok masih terlalu panjang ya, biar sudah disingkat? Karena masih juga terlalu panjang, kami singkat lagi jadi WP atau Wana untuk sebutan lisan. Kalau sebutan tertulis, tetap saja ditulis Wahana Bina Patria atau Wana Patria.

Wana Patria merupakan rumah belajar kearifan lingkungan di Kota Blitar yang digagas tahun 2005 tapi baru diperkenalkan ke publik tahun 2007. Bidannya adalah Suster Stefani SSpS dan Mas Cahyo Suryanto, kolegaku di Pusdakota, juga Mas Eddy Suhermanto, yang biasa kupanggil Mas Tanto. Ini memang kesepakatan antardua lembaga. Sr Stefani SSpS – kini bertugas di Roma – menginginkan agar lahan SSpS di kota Blitar seluas kurang lebih 2 hektar (satu kompleks dengan Biara Roh Kudus dan TK/SDK Santa Maria Blitar) didayagunakan. Biara di Blitar menurut Sr. Stephani sangat bersejarah bagi SSpS karena kesejarahan pertama SSpS Provinsi Jawa ya di Blitar. Visi lingkungan hidup pada waktu itu sudah ditanamkan di sana dan alangkah baiknya bila ada revitalisasi visi itu kembali. Dia pun berdiskusi dengan Mas Cahyo. Kami dari Pusdakota pun mewujudkan visi lingkungan hidup yang mulia itu.

Aku dan beberapa kawan lain ikut juga jadi relawan kelahiran si jabang bayi. Aku mendokumentasikan semua hal yang berkaitan dengan sejarah kelahirannya. Maka dari itu, mulai rapat-rapat, perdebatan-perdebatan, pembangunan dll aku ikuti dan kudokumentasikan (sayangnya ada beberapa catatan penting yang hilang akibat virus di komputer).

Kini Wana Patria boleh dikata mulai jadi rujukan pembelajaran kearifan lingkungan. Kendati di bawah naungan lembaga keagamaan, Wana Patria terbuka untuk umum dan berdiri di atas semua golongan.

Wana Patria menciptakan model pertanian organik dan budidaya sayur organik, pembuatan pupuk organik, peternakan organik dan representatif untuk berbagai training yang bersifat lingkungan. Tak heran, semakin banyak saja permintaan untuk jadi fasilitator training.

Kalau ingat semua yang pernah dilakukan semua pihak untuk Wana Patria sampai Wana Patria jadi seperti sekarang, terkadang aku merasa bersyukur. Aku nggak suka berkata yang ndakik-ndakik untuk mengucap syukurku. Tapi sungguh, bisa terlibat, kusyukuri. Ini anugerah. karena dengan begitu aku bisa belajar bagaimana dekat dengan alam perbuatan yang kita lakoni sehari-hari.

Aku bersyukur karena bisa menemukan mutiara dari Tuhan. Lahan yang inspiratif, kerja yang inspiratif, dan kawan-kawan yang terbiasa merawat bumi lewat keseharian mereka. Mereka berkarya nyata untuk bumi ini.

Izinkan aku berterima kasih pada orang-orang yang membentuk kesejarahan Wana Patria. Mas Tanto dan Mas Cahyo, aku berterima kasih pada mereka. Tanpa ide-ide yang brilian dari keduanya, dan tanpa perdebatan-perdebatan seru keduanya, tanpa konsistensi mereka untuk memberi yang terbaik, biarpun dengan “berdarah-darah”, Wana Patria tidak mungkin jadi seperti sekarang. Ya, aku belajar untuk menjaga konsistensi. Aku belajar juga untuk terus mengaktifkan “mata ketiga”, melihat tanda-tanda zaman. Bahwa zaman mengharuskan kita untuk tidak bicara ndakik-ndakik, tapi berbuat dan berbuat. Memberi contoh, mengembangkan model yang inspiratif sungguh keutamaan di zaman ini.

Aku juga berterima kasih pada para suster: Sr Stefani SSpS, Kristina Wahyu yang saat itu masih di SSpS. Aku melihat keterlibatan sejati, keterlibatan yang tanpa syarat. Tidak semua pihak setuju dengan adanya Wana Patria. Tapi mereka teguh bertahan bahwa Wana Patria, rumah belajar kearifan lingkungan yang bakalan dikembangkan, merupakan karya yang luar biasa. Dan mereka telah membuktikannya.

Mas Nono, Mas Albert, Mas Suba, Mas Isnawan, Mbak Anna. Mereka juga pembabat alas Wana Patria. Aku ingat benar bagaimana Mas Nono dan Mas Albert mengeprasi pohon-pohon yang sudah tidak produktif, dengan cekatan. Mas Suba dan Mas Isnawan dulu berkarya penuh di Biara Roh Kudus dan mereka cabut untuk berkarya di Wana Patria. Mas Suba nggak jadi ke Malaysia untuk jadi TKI. Padahal dia sudah bayar uang mukanya lho. Kini Mas Suba punya keahlian di bidang composting dan sudah memfasilitasi berbagai macam training pengomposan di kota Blitar. Mas Isnawan, kini memang tak lagi bergabung di Wana Patria. Tapi taman-taman garapannya di Wana Patria menunjukkan bahwa dia bekerja dengan sepenuh hati untuk menampilkan siapa dirinya. Mbak Anna adalah dokter hewan cantik yang merancang area peternakan dan perikanan di Wana Patria. Dia menggambar desain pet area ramah lingkungan. Aku sering melihat Mbak Anna melakukan presentasi hasil pemikirannya di hadapan para suster di Biara Roh Kudus. Terkadang ia harus mendatangi satu per satu dari para suster untuk meyakinkan bahwa apa yang dipikirkannya tentang peternakan ramah lingkungan sebaiknya dijalankan.

Ada lagi dua orang penting di balik sejarah Wana Patria yang juga ingin kusebutkan di sini. Yakni Mas Jojo dan Suster Helena. Keduanya memegang keuangan Wana Patria sejak Wana Patria masih jadi jabang bayi. Kalau Wana Patria bisa jadi seperti sekarang, memiliki infrastruktur yang memadai dan keuangannya ter-manage secara baik, itu pasti hasil kerja keras mereka. Padahal mereka masih memiliki pekerjaan rutin.

Mas Marno, sering mengantar Mas Cahyo, Mas Tanto, dan aku ke sana-sini, terutama trayek Surabaya - Blitar pas lagi ribet-ribetnya pembangunan Wana Patria. Terima kasih.

Hmmm, siapa lagi? Masih banyak, termasuk. Mas Agus, Pak Mayar, Pak Bardi.

Penghargaan sedalam-dalamnya juga kusampaikan pada alm. Pak Suyoso, yang menghembuskan napas terakhirnya di saat ia sedang giat-giatnya berkarya membangun rumah kompos Wana Patria. Semoga arwah beliau diterima di sisi Allah SWT.


Ya Allah Yang Maha Kasih, berikan kemudahan jalan bagi semuanya. (Alpha Savitri)*



Wednesday, August 20, 2008

Botol Pupuk Cair yang Mbledos


Pupuk cair yang kubikin seminggu yang lalu sudah jadi dan kupindah di satu botol air mineral 600 ml dan satu botol menuman berenergi. Penampilannya seperti sirup jambu merah, tapi baunya seperti tape. Bahan dasarnya terasi dan tape. Aku menaruhnya di meja kerjaku. Rencanaku mau kubawa pulang. Akan kuberikan pada pohon mangga, jambu, dan belimbing di halaman rumahku. Karena mungkin penampilannya cukup mengundang selera, salah satu kawanku, Sari, ingin membuka botolnya. Belum sampai selesai membuka botol itu, tutupe mencelat (tutupnya melompat) dan pupuk cairku semburat ke mana-mana. Melengketi muka Saru, meja kerjaku dan keramik di sekitarnya. “Waduh, apa ini,” jerit Sari. Dia kira sirup. Muka Sari memerah dan langsung mengambil kain pel. Ha…ha..ha.. Nggak tahu, dia, keampuhan bakteri yang bekerja di pupuk cair itu. *

Bibit Padiku Tegak Berdiri

Sudah kuceritakan di blog ini beberapa waktu lalu proses-prosesku membibit padi. Nah, tanggal 19 Agustus 2008 aku memindah dua bibit padi dari persemaianku, dua pot, lebih dari seminggu lalu. Harusnya aku berhitung, sudah dua hari lalu kupindahkan. Tapi karena harus mengawal adikku yang melahirkan, dan aku nggak masuk kantor, aku barusan memindahnya hari ini.

Waktu aku nggak masuk, anak-anak belakang: Wajib ku-sms untuk melakukan pengawalan. Dalam arti menyiraminya. “Siap, Mak,” kata mereka. Tidak Cuma kalau kumintai tolong, tapi setiap sore pun kalau aku telat menyiram, mereka sudah langsung menyirami calon padi itu.

Aku sudah mempersiapkan dua tempat untuk dua bibit padi. Pertama karung goni yang kutempatkan di keranjang bambu. Kedua pot bekas dari semen.

Oh ya, sehari sebelum kupindahkan ke dua tempat tersebut, bibit-bibit itu kuletakkan di bawah sinar matahari. Tapi aku tetap memperhatikan pengairannya. Kenapa aku taruh di bawah sinar matahari, biar mereka beradaptasi dulu barang sehari dulu, di bawah sinar matahari langsung. Nantinya kalau sudah kupindah ke karung dan pot, mereka harus terus di bawah matahari langsung. Kedua media tersebut kuletakkan di bawah sinar matahari.

Bibit-bibit padiku tumbuh dengan baik. Daunnya menjulur ke atas. Kata Mas Gun, staf urban farming di kantorku, bibit-bibit di tempat persemaianku tumbuh dengan bagus. “Batangnya lurus-lurus,” katanya. Aku cuma bisa manggut-manggut dan bilang,” Oh, begitu.”

Lantas Mas Gun bertanya padaku, bagaimana cara aku membibit. Aku bilang, nggak pakai nampan kedap air, tapi pakai nampan bolong-bolong yang kualasi daun, terus kupakai kompos bikinan Pusdakota di situ (Kompos Pusdakota kebanyakan materinya berasal dari sampah rumah tangga warga). Aku mengairi bibitku dengan air ledeng setiap pagi dan sore.

Dua bibit padi kupindahkan ke dua tempat yang kusiapkan. Aku memilih berdasarkan feeling-ku, mana di antara bibit-bibit di pembibitanku itu yang akan kutaruh di pot dan karung. Sementara bibit-bibit yang lain kurencanakan bersama Mas Gun untuk memindahnya di sepetak tanah di kebun kami.

Aku pindahkan bibit itu dengan hati-hati dan akarnya tidak kubenamkan dalam-dalam di tanah dalam pot dan karung itu. Aku berdoa mudah-mudahan bibit itu bersemai dengan baik.

Tanggal 20 Agustus 2008, sisa bibit kupindah bersama Mas Gun.

Kulihat Mas Gun sudah menyiapkan lahan yang akan ditanami padi. Dia memberinya dengan kotoran kambing yang telah kering dan sedikit kapur dolomit agar tanah tidak terlalu asam. Setengah bibit padi bahkan sudah dia pindah sesuai dengan hasil diskusi kami sebelumnya bahwa rencananya jarak antara satu bibit dengan bibit yang lain, paling tidak 30 cm. Aku ikut menanam yang separonya sampai lahan terisi semua. Tapi bibit yang ada di persemaian masih ada delapan buah. Aku dan Mas Gun sepakat untuk menaruhnya di tengah-tengah beberapa bagian, untuk nantinya kami lihat apakah jarak tanam sangat berpengaruh terhadap perkembangan padi.

Oh ya, dari 100 buah biji padi yang kutebar, hanya separonya yang tumbuh dengan tinggi bervariasi. Aku nggak tahu kenapa separonya nggak tumbuh. Mungkin kurang kuairi, atau bagaimana? Atau mungkin dimakan tikus? Nggak tahulah. Namanya juga masih amatir. Pertumbuhkan bibit padiku bervariasi, mulai dari 1 cm sampai 17 cm. *



Daur Ulang Anorganik, Timbal Balik Perusahaan - Masyarakat

Tulisan ini lahir setelah aku omong-omong dengan salah satu kawan. Lebih dari setahun lalu aku ngobrol dengan dia tentang daur ulang sampah anorganik. Ini saripatinya.

Saat ini pembuatan kerajinan dari bahan-bahan bekas, seperti bekas bungkus minyak goreng dan mie instan sedang naik daun. Bisa dibuat dompet, payung, dan hiasan-hiasan yang lain. Luar biasa karya kerajinan daur ulang warga, terutama para ibu. Dan nilai jualnya lumayan juga. Mungkin karena prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle sedang naik dauni tengah hangatnya isu sampah di negeri ini.

Aku sendiri membeli satu buah dompet yang bahan asalnya bungkus mie instan. Jahitannya rapi dan tampak unik. Aku menunjukkan itu pada salah satu kawanku. Aku memuji-muji dompetku itu sebagai karya peduli lingkungan yang dipersembahkan kaum ibu. Lantas apa komentarnya?

“Bukannya aku nggak setuju adanya jahit-menjahit barang-barang bekas. Aku menghargani karya ibu-ibu. Mereka sangat tulus dalam berkarya demi menyelesaikan masalah sampah di kota ini. Tapi aku khawatir, masyarakat lebih tertarik menyelesaikan permasalahan sampah lewat jalur anorganik sedangkan yang organik dibiarkan. Padahal penyelesaian sampah organik seharusnya jadi prioritas. Sampah organik, apalagi sampah dapur, mengundang lalat dan kalau tidak diselesaikan, akan ada masalah-masalah kesehatan,” katanya.

Aku langsung ingat kondisi tempat Penampungan Akhir (TPA) sampah Benowo, satu-satunya TPA di Surabaya. Karena tidak dikelola dengan baik, mencemari areal sekitar sehingga para petani ikan di sekitarnya tidak bisa panen optimal. Sampah di Surabaya, sekitar 70 persen adalah sampah organik.

“Ini tengaraku, Vit. Mudah-mudahan tidak terjadi. Orang cenderung tertarik dengan hal-hal yang bisa memberi keuntungan finansial jauh lebih tinggi. Jangan-jangan nantinya, popularitas pengelolaan sampah anorganik lebih tinggi dibanding sampah organik. Padahal yang organik itu , menurut kondisi Surabaya, urgen diselesaikan.

Hmmm, aku mikir lagi. Memang, faktanya, telah bertahun-tahun kantorku bersama warga sekitar mengelola sampah organik rumah tangga. Hasil komposnya dalam hitungan ton per bulan. Namun kalau keuntungan dihitung secara finansial, yaaaaa, gitu deh. Kalau niatnya cari keuntungan, mendingan kantorku cari bidang lain. Nggak usah susah-susah utak-atik sampah organik.

Tapi kalau yang dicari keuntungan non materi, jelas melimpah. Kesadaran dan kesehatan warga lebih baik. Modal sosial di warga juga tumbuh pesat. Tapi yang non materi seperti ini seringkali tidak dihitung. Orang sering mengabaikan begitu saja.

Soal sampah anorganik itu, aku jadi ingat kawanku Arief. Setahun lalu membawa payung yang bahannya adalah bekas bungkus pewangi cucian. Dia membelinya dengan harga Rp 100.000. Aku sendiri pernah membeli celengan sederhana yang dirakit dari botol air mineral plus bungkus mie instan. Harganya Rp 6000. Kata yang empunya barang dagangan, kawanku sendiri, bahan dasarnya tidak lebih dari Rp 1000. Ia juga menjual pula dompet dari bungkus-bungkus kopi. Satu dompet dihargai Rp 15 ribu. Bahan dasarnya tidak lebih dari 7000. Dagangan-dagangannya laris manis.

“Ibu-ibu di Surabaya sekarang banyak yang giat mendaur ulang bungkus sabun cuci, mie instan, minyak goreng dll. Itu artinya, perusahaan mie instan, sabun cuci, minyak goreng, dan lain-lain juga diuntungkan dengan kondisi ini. Padahal semestinya tanggung jawab utama untuk mendaur ulang, ada pada perusahaan-perusahaan tersebut. Harusnya, partisipasi masyarakat di bidang lingkungan hidup ini dihargai perusahaan. Banyak cara perusahaan untuk menghargai partisipasi masyarakat ini. Aku pernah nulis opini di media massa besar untuk pemikiranku ini. Aku punya jalan keluarnya. Bagaimana agar ada timbal balik yang adil antara perusahaan dan masyarakat sehubungan dengan masalah daur ulang ini. Tapi nggak dimuat. Kata redakturnya, tulisanku kelewat keras,” ujar kawanku ini.

“Hmmm, biarpun wajahmu tampak nggak cerdas, otakmu encer juga ya,” ujarku mencandainya.

Mencangkul demi Tirakatan Malam 17 Agustus

Tanggal 16 Agustus 2008 pagi sampai menjelang siang, aku harus kerja bakti sendirian, membersihkan rumput-rumput liar di petak berem depan dan samping rumah. Suamiku ke Gresik sejak pagi-pagi sekali. Katanya dia jadi official pertandingan persahabatan futsal.

Aku ngguethuuuu (apa ya kalau dibahasaindonesiakan. Mungkin konsentrasi penuh) bersih-bersih karena nanti malam, jalan depan rumahku persis dipakai tirakatan tujuh belasan. Oh ya, rumahku adalah rumah pojok. Tiga rumah pojok lain juga melakukan aktivitas yang sama denganku pagi itu. Mereka berpikiran sama. Malu dianggap jorok.

Kalau kubanding-bandingkan di antara empat rumah pojok yang beremnya punya rumput paling gondrong, ya rumahku. Berem di samping rumahku pun tak kalah gondrong rumputnya. Padahal, sampai tahun lalu, berem samping rumahku jadi kebanggaan karena tampak terawat. Banyak tanaman obat keluarga yang kutanam di situ. Para tetangga bisa memanfaatkannya. Itu juga mengilhami mereka untuk berbuat yang sama di halamannya. Entah kenapa semangat kami, tahun ini lagi redup. Alasannya, semakin banyak kerja. (Apa iya, sih?)

Sampai menjelang siang, kerjaanku macul belum juga kelar. Rencananya macul depan dan samping rumah. Tapi separuhnya saja belum ada. Lama nggak olahraga, napasku terengah-engah terus. Kerja rasanya lambaaaat banget. Ya sudah, inilah akibatnya kalau baik aku maupun suamiku nggak mau membersihkan rutin. Akhirnya aku stop pekerjaan itu menjelang dhuhur, karena aku harus ke Ngagel Madya, menengok adikku yang mau babaran.

Kendati capek, kerjaan macul pagi hingga siang itu, cukup menghiburku. Soalnya, aku ingat ada yang pernah omong begini: Cangkullah ladang hatimu. Gemburkan hatimu. Cabuti rumput-rumputnya yang tak berguna.

Ya, kalau kita abai memelihara ladang hati kita, akibatnya memang fatal. Nantinya, kalau kita ingin membersihkan, akan memakan waktu karena memang banyak yang harus dibersihkan. Banyak energi yang terserap. Dan pastinya, kita akan capek dan mungkin habis stamina.

Saturday, August 16, 2008

“Bunda, Katanya Makanan Sehat, Kok Pakai MSG?”

Peristiwa menggelikan terjadi di sebuah kampung padat penduduk beberapa waktu lalu. Ada panggung yang memenuhi jalan. MC bercuap-cuap promosi kehebatan suatu MSG. Para ibu dari kampung setempat berjoged-joged memakai aksesoris bungkus MSG yang diproduksi sebuah perusahaan multinasional terkenal. Ada yang pakai kalung, rompi, topi. Meriah sih suasananya, tapi aku nggak sreg.. Apalagi yang dipromosikan adalah MSG sebagai bahan campuran untuk memasak. Padahal, tahu sendiri, kan, bagaimana dampak MSG untuk kesehatan.

Oleh perusahaan multinasional tersebut, MSG dipromosikan melalui lomba memasak makanan sehat. Ibu-ibu kampung mengikuti lomba. Masing-masing mengeluarkan resep andalan. Tapi syaratnya, masakan tersebut harus ditambahi MSG produksi perusahaan tersebut.

“Bunda, kata Bunda makanan sehat itu nggak pakai MSG, kok di sini boleh pakai?” celetuk salah satu bocah yang menyaksikan acara tersebut pada bundanya. Kulihat sang Bunda yang menyaksikan lomba senyum-senyum mendengar kekritisan buah hatinya.

Kampung yang dipakai berpromosi merupakan kampung yang baru saja memenangi penghargaan kampung hijau dan memperoleh beberapa juta sebagai hadiahnya. Yang bikin lomba kampung hijau itu, juga perusahaan yang memproduksi MSG tersebut dan kini sedang naik daun. Perusahaan itu bebas bergerak ke mana saja dan seolah bisa berafiliasi dengan siapa saja termasuk aparat pemerintahan. Sehingga, ketika ingin sebuah kampung menjadi target promosi, ia nggak kesulitan. Pak lurah saja nggak berani menampik, apalagi Pak RW.

Ada warga yang bilang bahwa demi menjahit topi, kalung, rumbai-rumbai, dan aksesoris pendukung promo MSG tersebut, warga mengeluarkan uang pribadi untuk membeli MSG itu demi mendapatkan bungkus-bungkusnya. Bisa dibayangkan berapa bungkus yang mereka beli demi aksesoris sekali pakai itu. Apa dampaknya? Pertama, bikin sampah anorganik tambah banyak. Kedua, isi dari MSG tersebut, dikemanakan? Dibuang atau dipakai? Kalau dibuang, ibu-ibu seperti membakar duit sendiri. Kalau dipakai, berisiko terhadap kesehatan.

Benarkah keputusan warga ini merupakan keputusan yang didasari sikap dan perilaku ramah lingkungan? Padahal kampung tersebut baru saja memenangi kampung hijau.

Sebelum dan setelah peristiwa promo MSG tersebut, pro dan kontra terjadi di kalangan warga. Biarlah mereka berefleksi tentang makna kedaulatan sebuah kampung. Biarlah mereka memutuskan tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya mereka lakukan. Untuk sampai pada kedaulatan penuh memang tidak gampang. Butuh pertengkaran-pertengkaran. Butuh adu argument. Butuh akal sehat. Dan yang paling penting, butuh nurani.

Tamu-Tamu Diajari Buang Sampah Ditempatnya

Kantorku banyak menerima tamu, terutama agen atau calon agen pemberdaya masyarakat yang ingin belajar ilmu pengomposan. Mereka bisa belajar banyak hal di kantorku setiap Rabu atau Sabtu karena dua hari itu kami open house, membuka sharing dengan siapa pun. Silakan menengok rumah pengomposan kami dan bertanya apa pun, baik tentang teknologinya, maupun pengorganisian masyarakatnya.

Untuk tamu yang datang berombongan, kami juga menerima mereka untuk sharing pengalaman. Mereka tidak saja berasal dari Surabaya, namun dari berbagai kota di Indonesia, termasuk dari luar negeri segala.

Kadang kami tertawa geli. Katanya ingin jadi agen pemberdaya masyarakat dan belajar mengatasi masalah sampah, namun diri sendiri masih memiliki perilaku nyampah. Setelah minum air mineral, misalnya, tidak berinisiatif membuangnya di tempat sampah. Sampah-sampah bekas minuman dan makanan dibiarkan saja tergeletak di pendopo dan mereka pulang tanpa sungkan. Kami sebagai tuan rumah yang bersih-bersih sampah tersebut.

Padahal kami menyediakan 3 bak sampah besar-besar di dekat pendopo. Satu untuk sampah organik, satu untuk sampah plastik, satunya lagi untuk sampah kertas. Tapi tetap saja hati mereka nggak tergerak. Wah, bagaimana mungkin bisa memberdayakan orang lain kalau diri sendiri belum mau berdaya?

Akhirnya, kami pun rutin mengingatkan para tamu bahwa sebelum pulang, wajib hukumnya untuk menaruh sampah-sampah yang mereka hasilkan di tempat sampah yang telah disediakan. Mereka tidak tersinggung apalagi marah, malah mengangguk-angguk maklum. Bagaimana pun perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Iya kan

Go Organic 1: Kenapa Harus Menanam Sayur di Kebun Sendiri?


Menanam sayur sendiri? Pengin, tapi aku nggak punya lahan kebun. Begitu kata banyak orang. Padahal, sayuran bisa tumbuh di pot. Nggak percaya? Lihat foto ini. Aku mengambil foto hasil karya sayuran dalam pot yang ditanam kawan-kawan di Wana Patria, Blitar. Sebaiknya, kita menanam sayuran yang kita konsumsi, karena:

► Kita tidak tahu dari mana asal sayuran yang kita makan. Membelinya di pasar atau supermarket, hasilnya sama saja. Kita tak tahu apakah sayuran itu tanpa atau mengandung pestisida.

► Mungkin kita membeli sayuran dengan label organik. Tapi apakah sayuran itu benar-benar organik atau setengah organik? Bisa saja benihnya memang organik. Tapi lingkungan tempatnya bertumbuh, sebagian besar mengembangkan budidaya sayuran non organik. Nah, apa nggak ketularan, tanaman sayuran yang katanya organik itu?

► Mengembangkan kebun organik akan menghemat belanja. Paling tidak pengeluaran untuk membeli sayuran bisa ditekan.

► Berkebun itu rekreasi dan olahraga yang mengasyikkan. Tidak saja badan, pikiran pun menjadi sehat bila kita dekat alam.

► Bila bersahabat dengan alam, kita melestarikan tanah, tumbuhan, dan hewan-hewan yang diberikan semesta untuk kepentingan manusia.

Lantas, sayuran apa yang sebaiknya kita tanam? Tentu saja:
1. Sayuran yang disukai oleh keluarga.
2. Sayuran yang cukup mahal untuk dibeli
3. Sayuran yang susah didapatkan di pasar atau supermarket
4. Sayuran yang tidak memerlukan lahan luas dan cocok dengan udara lingkungan kebun kita.

Go Organic 2: Beda Sayur Organik dan Non Organik

Sayuran organik ditanam sesuai kaidah-kaidah alam. Sedangkan sayuran non organik umumnya ditanam untuk memenuhi permintaan pasar. Berikut ini beda keduanya:


tabel2

Go Organic 3: Sintetis dan Bahan Bakar Fosil

Banyak risiko yang akan kita peroleh seandainya kita berkeras untuk memakai pupuk sinetis. Tidak hanya mencemari tanah, meninggalkan risidu sintetis pada sayur, dan buah-buahan, namun pembuatan pupuk sintetis mengurangi persediaan bahan bakar fosil.

Padahal kita tahu, bahan bakar fosil jumlahnya sangat terbatas di bumi. Sebagai gambaran, untuk membuat satu ton pupuk nitrogen saja, kita perlu sejumlah energi yang dilepas dari 5 ton batubara.

Pupuk kimia juga meracuni air tanah yang kita konsumsi sehari-hari. Bayangkan, apa yang terjadi bila tubuh kita tercemar racun kimia.

Menambahkan materi-materi semacam pupuk nitrogen non organik untuk tanah cenderung menghancurkan materi organik yang terkandung dalam tanah. Tanah menjadi tidak subur dan meningkatkan kecenderungan erosi.

Dalam sistem yang alami, nutrisi-nutrisi tanaman berasal dari daur ulang dan pengolahan bahan-bahan organik di tanah. Pupuk kimia hanya akan membuat sampah organik tidak lagi penting untuk didaur ulang untuk lahan produktif. Pada gilirannya, ini menimbulkan perilaku untuk menumpuk saja sampah-sampah kita pada lahan kosong, atau membuangnya di sungai (menyebabkan polusi air), atau membakar (menyebabkan polusi udara). Padahal, kita semestinya mencoba untuk bijak dalam hal pemakaian pupuk untuk kebun organik kita. Caranya adalah:

Uraian di atas sebaiknya sebaiknya kita:
o Meminimalkan pemakaian energi bahan bakar fosil
o Mendaur ulang sampah organik untuk kebun organik
o Tidak menyebabkan polusi
o Memberi nutrisi pada tanaman pada saat tanaman membutuhkan.
Mengupayakan tanah kebun kita memelihara keutuhannya sebagai zat organik penyangga kehidupan.

Friday, August 15, 2008

Bakteri Cairnya Pusdakota dan Molnya Pak Sobirin

10 Agustus. Ini hari Minggu tapi aku harus piket di kantor. Di tengah kesepian, aku kepikiran menanam padi di pot. Sudah lama sih, kepikirannya. Sejak aku lihat padi dalam potnya Mas Nono dan Mas Albert (tim Wana Patria Blitar) beberapa bulan lalu. Wah, padinya panjang-panjang dan bagus. Pasti lumayan bila halaman rumahku punya padi dalam pot, seperti yang ada di kebun Wana Patria.

Dulu-dulu cuma kepikiran tapi hari ini pengiiiin banget. Apalagi aku juga barusan buka blognya Pak Sobirin (www.clearwaste.blogspot.com) dari Bandung. Dia tanam padi di pot dengan metode System Rice Intensification (SRI). Aku sempat juga tahu metode ini pas riset di perusahaan rokok terbesar negeri ini. Dari satu bulir padi saja, anakannya, bisa lebih dari 100. Aku juga sempat tertarik metode ini. Tapi, lagi-lagi cuma kepikiran.

Kalau terus kepikiran, kapan bisa maju? Nah! Aku harus mulai. Aku akan mengembangbiakkan bakteri cair dulu. Nantinya bakteri itu akan kupakai sebagai pupuk cair.

Di kulkas kantor ada yogurt, tempe, dan tape. Aku ambil tape dan beberapa tetes yogurt. Ada gula yang tinggal sedikit kuambil juga. Tapi tempenya nggak kuambil. Lantas aku membeli terasi dan gula. Harusnya aku nggak beli gula. Air tebu di pinggir jalan cukup. Tapi lagi malas keluar jauh-jauh. Jadi kubeli gula satu kilo.

Kantorku, Pusdakota, rutin bikin bakteri cair / native microorganism untuk keperluan sanitasi dan pengomposan. Bakteri cair ala kantor kami telah kami tularkan pembuatannya ke mana-mana – sampai ke Sumatra dan Kalimantan segala. Memang, sesungguhnya kita nggak usah beli mikroorganisme komersial. Di sekitar kita telah tersedia bahan-bahan untuk membuatnya. Bahannya ya itu tadi: Tape, tempe, yogurt, air gula.

Bakteri cair tersebut oleh Pak Sobirin disebut MOL. Mikroorganisme Lokal. Dari Pak Sobirin aku juga dapat ilmu, terasi bisa dipakai MOL. Pak Sobirin mencampur antara tape dan terasi, lantas ditambahkan air. Kalau kantorku biasa pakai tempe, tape, yogurt, air tebu. Aku coba gabungkan saja keduanya, siapa tahu berhasil. Aku pakai cara yang anaerob. Usai membuat, drum kandidat bakteri cairku aku tutup rapat dengan plastic agar bisa terfermentasi. (Aku kepikiran juga, Pak Sobirin kayaknya membuka botol air mineral yang berisi MOL. Apa aku salah baca? Kenapa ya? Mungkin aku harus tanya pada beliau).

Setelah bikin MOL, aku telepon kawanku di Wana Patria Blitar Mas Nono tentang tatacara membenih yang baik. Oh, ternyata lain dengan cara Pak Sobirin membenih. Baiklah, aku akan praktikkan keduanya. Mana yang lebih baik akan ketahuan kelak.

MOL kuperkirakan bisa kupakai 4 hari lagi. Maka, 3 hari lagi aku harus mulai membenih.

Aku selesaikan pekerjaanku dengan pencatatan untuk keperluan penelitian kecil-kecilanku ini. *

Bayi Padi Naik Pick-up

10 Agustus. Dari dalam kantor aku tak sengaja memandang keluar. Aku lihat pick-up-nya arek-arek Pusdakota sepertinya berisi tanaman hijau kecil-kecil. Mungkin bibit tanaman hias, pikirku. Kantor kami memang membibit banyak tanaman, baik toga maupun tanaman hias. Kami memiliki divisi eco-office: sebuah divisi yang menggalang gerakan cinta lingkungan hidup lewat kantor. Staf Eco-office Pusdakota tidak hanya merawat tanaman agar kantor semakin hijau, tapi juga melakukan monitoring pemakaian energi di kantor, mendaur ulang sampah kantor, mengurus makanan sehat, sampai membuat peraturan untuk hemat pemakaian kertas. Kalau ngeprint harus bolak-balik. Amplop bekas harus dipakai. Pokoknya, tugasnya banyak.


Aku penasaran dan keluar. Ya ampun, bibit padi dalam nampan-nampan segi empat. Baby Rice di atas pickup. Lucu-lucu.

“Wah, Mbak, mereka ini masih baby sudah keliling-keliling naik pick-up,” kata Devi padaku, cekikikan.

Kutanya pada Devi dan Heri yang membibit, usianya masih dua minggu. Mereka membibit padi jenis lokal itu, untuk ditanam di petak-petak sawah di sekitar Rungkut. Sore itu Devi, Heri, dan Anton mau turun ke sawah.

Luar biasa hasil karya kawan-kawanku ini. Mereka benar-benar prihatin nasib petani. Mereka tak kenal lelah mengajak para petani untuk kembali ke cara-cara alami. Untuk bertanam secara organik. Satu atau dua petani yang mau ikut, itu bagus, daripada tidak ada sama sekali.

Tapi, wow, kawan-kawan yang aneh. Mereka mau turun ke sawah, tapi pakai celana jeans dan baju bagus. Untuk menghormati Dewi Sri, ibu bumi, barangkali, batinku.

Minggu hari libur. Anak-anak muda ini akan melewatinya di sawah. Demi saudara-saudaranya yang menderita.

Sudah Dua Minggu Masih Segar

Dua minggu lalu aku dikasih Suba sayuran organik dari kebun Rumah Belajar Kearifan Lingkungan, Wana Patria Blitar. Dua kilo. Sawi daging hijau, sawi daging putih, dan Kailan. Orang serumah: Aku, suamiku, dan Budheku paling doyan sayur organik. Rasanya lebih nikmat. Kremes-kremes karena kumasak setengah matang. Nggak sampai ngendon di kulkas selama tiga hari, biasanya langsung habis.
Tapi kali ini aku sibuuuuuuk banget. Nggak sempat masak di rumah. Sayuran baru habis kira-kira sekilo. Yang sekilo masih ngendon di kulkas. Bisa dibayangkan, dua minggu masih disimpan. Seperti apa? Layukah? Ternyata tidak. Masih bugar. Ya, inilah beda antara sayur non organik dan sayur organik. Yang organik lebih awet. Lebih sehat. Ditanam dengan kasih sayang oleh tim Wana Patria Blitar.

Anak-anak Lebih Suka Makan Snack

Ini survey kecil-kecilanku bersama Nita, rekan sekantor, tentang kegemaran anak-anak makan snack dalam kemasan. Kami melihat anak-anak yang tinggal di dekat kantor Pusdakota paling suka snack seharga Rp 500-an. Kata mereka, rasanya gurih. Ibu-ibu mereka sering mengeluh satu sama lain, anak-anak nggak suka makan nasi. Setiap hari minta jajan snack.

Duh, padahal ibu-ibu setahuku punya banyak kreasi menu. Apalagi negara kita kaya hasil-hasil pertanian. Pastinya makanan pun aneka ragam dan sehat-sehat. Tapi ya itu tadi, tetap saja anak-anak di sekitar kantorku lebih suka ngemil snack dalam kemasan. Ibu-ibunya, kami tanya tentang kandungan gizi dan bahaya snack dalam kemasan mengaku tidak tahu. Mereka tidak tahu, MSG sintetis di dalamnya bisa menyebabkan gangguan kesehatan termasuk bisa memicu kanker. Belum lagi bila ada zat pewarna buatan macam rhodamin B yang warnanya mencolok dan lazim dipakai di industri tekstil. Ini bisa menyebabkan kerusakan hati. Sanck yang beredar di sekitar wilayah Rungkut Lor Surabaya, dari survey kecil-kecilanku bersama Nita, tidak mencantumkan jenis zat pewarna dan pengawet, takarannya, dan semacamnya.

Oh ya, pernah ada penyuluhan di pendopo kantorku, untuk para ibu di Rungkut Lor Surabaya. Penyuluhnya, ibu dokter anak (duh, aku lupa namanya). Dia bilang, kalau anak-anak nggak suka makan sayur dan menu-menu yang disajikan ibunya, itu pasti ada sebabnya. Katanya, sejak bayi, mereka sudah diperkenalkan makanan yang manis dan gurih. Jadi, mereka nggak suka makan sayur.

Mungkin ada benarnya. Aku sering lihat, para orangtua kini nggak lagi mau memasak bubur untuk bayinya. Kan ada yang instan. Cepet, mudah, dan murah. Wah, kalau semua orangtua punya sikap seperti itu, perusahaan pemasok pangan instan bisa semakin kaya raya.

Ini bahan-bahan dari 8 snack yang kami ambil sebagai sampel.

Photobucket



Keranjang Takakuraku Merana

8 Agustus 2008. Sudah seminggu aku tidak menengok alat pengomposanku yakni Keranjang Takakura. Alasannya klasik: sibuk. Nggak pernah di rumah. Pagi sudah berangkat, malam baru pulang. Setelah pulang siram-siram tanaman sebentar, nulis-nulis sebenar, makan-makan, terus tidur.

Wah, nggak bisa dibiarkan begitu. Toleran terhadap diri sendiri itu seringkali menyesatkan. Kini aku sedang toleran terhadap diriku dan aku merasa di ambang kesesatan.

Aku bangun pagi-pagi sekali lantas nengok Takakura. Astaga, benar feeling-ku. Takakura merana. Komposnya basah sekali. Waduh, pasti kebanyakan makan jambu. Benar saja. Setelah kutanyakan kenapa Takakura sakit, Budheku bilang, tiga hari lalu memasukkan buah jambu lumayan banyak. Walah, walah…. Ini kali kedua Takakura sakit sejak kupakai tiga tahun lalu. Kalau dulu, aku kebanyakan memasukkan udang ke keranjang itu. Lumayan bau. Lantas aku obati dengan menambahkan bekatul di starternya.

Untuk kasus kebanyakan makan jambu, aku juga yang salah, nggak ngasih keterangan komplit tentang apa yang bisa dan tidak bisa dimasukkan. Berapa banyak harus dimasukkan. Padahal, aku tahu detail tentang teknologi pengomposan Takakura karena aku kantorku Pusdakota, bersama Pak Takakura, Pak Ishida, dan pihak Pemerintahan Kota Surabaya meriset teknologi pengomposan yang akhirnya dinamakan Keranjang Takakura. Setiap hari aku juga melayani para costumer yang ingin bertanya tentang apa pun yang menyangkut Keranjang Takakura. Ya sudah, diambil hikmahnya saja.

Dulu, waktu Takakuraku sakit karena kebanyakan makan kepala dan kulit udang mentah, aku lantas mikir bagaimana agar Takakura tidak neg makan sea food. Kali lain, sisa kepala dan kulit udang kubilas dengan air panas sebentar, lantas kubilas dengan air biasa, baru kumasukkan keranjang pengomposan itu. Dan horeeee, berhasil. Tidak berbau. Nah, ketemu rumusnya.

Sekarang, pun aku harus bisa belajar sesuatu. Kalau dulu aku menambah bekatul di starter, kini aku ingin cara yang lain. Daun jambu, belimbing, dan mangga di halamanku yang sudah coklat karena mengering kukumpulkan, kuremat-remat halus dan kukasukkan dalam starter Takakura dan kuaduk-aduk. Daun-daun yang sudah mengering, kan banyak mengandung karbon. Takakuraku butuh di-treatment dengan bahan berkarbon.

Aku melihat Takakuraku berangsur sembuh. Saat aku memberi makan dengan sisa nasi dan daun-daun, Takakura kembali hangat seperti biasanya

Thursday, August 14, 2008

Persemaian Padiku

11 Agustus 2008. Siang hari pukul 13.30 aku mulai memindah 35 benih padi ke tempat persemaian di atas daun-daun yang kuberi tanah basah. Sebanyak 15 butir ada di tempat persemaian A dan 20 butir di persemaian B.

Nggak pakai bakteri cair karena belum jadi. Lagian, tanahnya sudah mengandung bakteri cair. Dalam berproses aku dibantu Mas Gun kawan sekantorku. Mas Gun. tanya sedang apa aku dan kujawab, aku lagi praktik menyemai padi. Dia langsung bantu, membawakan gembor dari Graha Kompos di kantor dan ikut menyiram tanah persemaian. Trims Mas.
Aku mulai ragu-ragu dengan persemaianku, benarkah hasilnya akan bagus. Tapi sudahlah, kuserahkan saja pada waktu.

Aku mulai mempersiapkan media tanam untuk padiku. Di gudang kantor aku melihat keranjang bambu agak reot nganggur. Keranjang itu kualasi karung goni. Kedua, ada pot di depan Graha Kompos Pusdakota yang cukup besar dan tak berfungsi. Pada keranjang goni, aku campur tanah, kompos, blotong (ampas tebu). Pada pot, campuran aku tambahi dengan kotoran kambing yang sudah kering. Beruntung semua bahan tersedia di kantor. Tinggal izin ke Wajib, Bangkit, Ucup, para relawan kantorku yang maniz-maniz. Kedua media tanam itu kusiram sampai lumayan basah. Pakainya masih tujuh hari lagi, sudah disiapkan sekarang. Aku benar-benar bersemangat, memang.

Anak-Anak Hijau

8 Agustus 2008. Di festival kampung hijau, anak-anak kampung di di sekitar kantorku hebat-hebat. Para juri sudah tahu, kampung itu sejak tahun 2000 telah memilah sampah dan mengolahnya. Mungkin mereka ingin tahu juga, apakah “perilaku hijau” benar-benar dibadankan dan dijiwai oleh warga, sampai anak-anaknya.

Orang-orang di kantorku menyaksikan adegan yang eksotik. Diam-diam juri dan panitia memberi permen kepada anak-anak. Anak-anak pun berebutan mengambil permen itu. Mereka membuka bungkusnya. Ke mana bungkusnya dibuang? Tidak dijalanan, tapi mereka mencari tempat sampah anorganik di sekitar mereka. Nah, lho, bagaimana dewan juri?